kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Senin, 10 Agustus 2009

FLU BABI (SWINE FLU)

Influensa babi merupakan penyakit saluran pernafasan akut yang sangat menular, disebabkan oleh virus influensa tipe A yang termasuk dalam orthomyxovirus. Babi merupakan induk semang utama virus influensa babi, namun demikian virus tersebut dapat juga menular pada manusia dan bangsa burung atau sebaliknya.
Infeksi virus influensa babi dapat menyebabkan batuk, demam, dispnu (sesak nafas), kelemahan yang sangat, dengan cepat menyebar pada sekelompok ternak babi dan dengan cepat pula sembuh.
Pada kasus komplikasi, babi akan mengalami bronchopneumonia yang dapat berakhir dengan kematian. Penyakit influensa babi belum pernah ada di Indonesia, tetapi penyakit ini harus selalu diwaspadai mengingat banyak penyakit babi baru-baru ini didiagnosis di Indonesia. Paper ini menggambarkan sejarah penyakit, penyebab, patogenesis, gejala klinis, patologi, diagnosis, diagnose banding, pengobatan dan kontrol serta masalah penyakit influensa babi di Indonesia.


PENDAHULUAN

Swine influensa swine (flu, hog flu, pig flu) atau influensa babi adalah penyakit saluran pernafasan akut pada babi yang disebabkan oleh virus influensa tipe A. Gejala klinis penyakit ini terlihat secara mendadak, yaitu berupa batuk, dispnu (sesak nafas), demam dan sangat lemah. Penyakit ini dengan sangat cepat menyebar ke dalam kelompok ternak dalam waktu 1 minggu, umumnya penyakit ini dapat sembuh dengan cepat kecuali bila terjadi komplikasi dengan bronchopneumonia, akan berakibat pada kematian (FENNER et al., 1987).

Penyakit virus influensa babi pertama dikenal sejak tahun 1918, pada saat itu didunia sedang terdapat wabah penyakit influensa secara pandemik pada manusia yang menelan korban sekitar 21 juta orang meninggal dunia (HAMPSON, 1996). Kasus tersebut terjadi pada akhir musim panas. Pada tahun yang sama dilaporkan terjadi wabah penyakit epizootik pada babi di Amerika tengah bagian utara yang mempunyai kesamaan gejala klinis dan patologi dengan influensa pada manusia. Karena kejadian penyakit ini muncul bersamaan dengan kejadian penyakit epidemik pada manusia, maka penyakit ini disebut flu pada babi. Para ahli kesehatan hewan berpendapat bahwa penyakit babi ini ditularkan dari manusia.

Selain di negara Amerika Serikat, wabah influensa babi dilaporkan terjadi di berbagai negara Canada, Amerika Selatan, Asia dan Afrika pada permulaan tahun 1968 (FENNER et al., 1987). Sementara itu, di Eropa influensa babi diketahui pada tahun 1950-an, melanda negara Cekoslovakia, Inggris dan Jerman Barat. Setelah itu, virus menghilang untuk sementara waktu sampai muncul kembali wabah tahun 1976 di bagian Itali, yang kemudian menyebar ke Belgia dan bagian selatan Perancis pada tahun 1979. Sejak itu dengan cepat penyakit menyebar ke negara Eropa yang lain.

Pada awal tahun 1976 di Amerika Serikat terjadi suatu peristiwa yang sangat menarik yaitu ditemukannya virus influensa babi yang dapat diisolasi dari manusia, selanjutnya dapat terungkap bahwa apabila manusia berhubungan dengan babi sakit, maka akan dapat menjadi terinfeksi dan menderita penyakit pernafasan akut (O’BRIAN et al., 1977; ROTA et al., 1989).

Penyakit yang disebabkan oleh virus klasik influensa babi serotipe H1N1 merupakan penyakit pernafasan pada babi yang sangat signifikan di Amerika utara, hampir seluruh Eropa dan Asia bagian barat, wabah umumnya terjadi pada musim gugur atau musim dingin. Penyakit tersebut secara klinis tidak terdeteksi di Inggris hingga tahun 1986. Sementara itu, di Australia belum pernah dilaporkan adanya penyakit baik secara klinis maupun serologis.

Dalam waktu 60 tahunan influensa babi tidak berubah secara signifikan di alam (EASTERDAY, 1986). Karena penyakit pernafasan babi selain disebabkan oleh virus influensa A juga disebabkan oleh agen lainnya maka istilah influensa babi diubah menjadi Enzootic pneumonia.

Kerugian yang disebabkan penyakit pernafasan sudah banyak dilaporkan, virus flu babi merupakan penyakit yang memicu gejalagejala atau sindrom penyakit pernafasan komplex. virus flu babi sebagai penyebab pertama dicirikan dengan adanya kematian yang rendah, derajat kesakitan tinggi dan kejadiannya sangat sebentar, jadi virus flu babi dapat dikatakan sebagai pemicu adanya infeksi bakteri sekunder.

Kerugian ekonomis yang terjadi dikarenakan infeksi virus influensa yang terus kembali berulang dan karena gejala klinis yang tidak terlihat akibat adanya respon kekebalan beberapa babi yang akan menjadi sakit kronis. Pada kelompok ternak dengan kondisi baik akan terlihat babi kerdil oleh karena laju pertumbuhan bobot badan yang lama sehingga terlambat untuk dijual. Dilaporkan juga adanya kenaikan kematian anak babi, fertilitas menurun, terjadi abortus pada kehamilan tua yang dapat diikuti wabah penyakit pada kelompok ternak yang tidak kebal.

Masuknya influenza babi di Indonesia harus diwaspadai terutama dengan telah merebaknya kasus avian influenza (AI) pada unggas yang disebabkan oleh H5N1 sejak bulan Agustus tahun 2003, yang didahului dengan dilaporkannya influensa pada itik di Indonesia (RONOHARDJO P., 1983; RONOHARDJO et al., 1985; RONOHARDJO, et al., 1986). Virus AI yang menyerang kelompok unggas disebabkan sub tipe lain, yang berbeda dengan penyebab kematian pada babi, tapi masih dalam tipe influensa A yang sama. Virus AI kemungkinan juga dapat menyerang babi.

Namun demikian karena virus AI sangat mudah bermutasi, mungkin saja sangat membahayakan, tetapi masih belum dilaporkan adanya kematian pada babi. Pada tulisan ini digambarkan penyakit influensa yang menyerang babi secara umum berdasarkan kumpulan tulisan2 mengenai influenza babi.


EPIDEMIOLOGI

Penyebaran virus influensa dari babi ke babi dapat melalui kontak moncong babi, melalui udara atau droplet. Faktor cuaca dan stres akan mempercepat penularan. Virus tidak akan tahan lama di udara terbuka. Penyakit bisa saja bertahan lama pada babi breeder atau babi anakan.

Kekebalan maternal dapat terlihat sampai 4 bulan tetapi mungkin tidak dapat mencegah infeksi, kekebalan tersebut dapat menghalangi timbulnya kekebalan aktif.

Transmisi inter spesies dapat terjadi, sub tipe H1N1 mempunyai kesanggupan menulari antara spesies terutama babi, bebek, kalkun dan manusia, demikian juga sub tipe H3N2 yang merupakan sub tipe lain dari influensa A. H1N1, H1N2 dan H3N2 merupakan ke 3 subtipe virus influenza yang umum ditemukan pada babi yang mewabah di Amerika Utara (WEBBY et al., 2000; ROTA et al., 2000; LANDOLT et al., 2003), tetapi pernah juga sub tipe H4N6 diisolasi dari babi yang terkena pneumonia di Canada (KARASIN et al., 2000).

Manusia dapat terkena penyakit influensa secara klinis dan menularkannya pada babi. Kasus infeksi sudah dilaporkan pada pekerja di kandang babi di Eropa dan di Amerika. Beberapa kasus infeksi juga terbukti disebabkan oleh sero tipe asal manusia.

Penyakit pada manusia umumnya terjadi pada kondisi musim dingin. Transmisi kepada babi yang dikandangkan atau hampir diruangan terbuka dapat melalui udara seperti pada kejadian di Perancis dan beberapa wabah penyakit di Inggris. Babi sebagai karier penyakit klasik di Denmark, Jepang, Italy dan kemungkinan Inggris telah dilaporkan. Kasus zoonosis yang dilaporkan menimpa wanita umur 32 tahun, pada bulan September 1988, orang tersebut dirawat di rumah sakit akibat pnemonia dan akhirnya meninggal 8 hari kemudian. Dari hasil pemeriksaan ditemukan virus influensa patogen yang secara antigenik berhubungan dengan virus influensa babi (ROTA et al., 1989, WELLS et al.,1991).

Setelah diselidiki ternyata pasien tersebut 4 hari sebelum sakit mengunjungi pameran babi. Sementara itu, hasil pengujian HI pada orang yang datang pada pameran babi tersebut menunjukkan sebanyak 19 orang dari 25 orang (76%) mempunyai titer antibodi =20 terhadap flu babi. Walaupun disini tidak terjadi wabah penyakit, namun terdapat petunjuk adanya penularan virus (WELLS et al., 1991).


ETIOLOGI / PENYEBAB

Penyebab influensa yang ditemukan pada babi, bersamaan dengan penyakit yang langsung menyerang manusia. Pertama kali, virus influensa babi diisolasi tahun 1930, sudah banyak aspek dari penyakit tersebut yang diungkapkan, antara lain meliputi tanda klinis, lesi, imunitas, transmisi, adaptasi virus terhadap hewan percobaan dan hubungan antigenik dengan virus influensa lainnya serta kejadian penyakit di alam.

Penyebab penyakit saluran pernafasan pada babi adalah virus influensa tipe A yang termasuk Famili Orthomyxoviridae. Virus ini erat kaitannya dengan penyebab swine influenza, equine influenza dan avian influenza (fowl plaque) (PALSE and YOUNG, 1992).Ukuran virus tersebut berdiameter 80-120 nm. Selain influensa A, terdapat influensa B dan C yang juga sudah dapat diisolasi dari babi. Sedangkan 2 tipe virus influensa pada manusia adalah tipe A dan B. Kedua tipe ini diketahui sangat progresif dalam perubahan antigenik yang sangat dramatik sekali (antigenik shift).

Pergeseran antigenik tersebut sangat berhubungan dengan sifat penularan secara pandemik dan keganasan penyakit. Hal ini dapat terjadi seperti adanya genetik reassortment antara bangsa burung dan manusia.. Ketiga tipe virus yaitu influensa A, B, C adalah virus yang mempunyai bentuk yang sama dibawah mikroskop elektron dan hanya berbeda dalam hal kekebalannya saja. Ketiga tipe virus tersebut mempunyai RNA dengan sumbu protein dan permukaan virionnya diselubungi oleh semacam paku yang mengandung antigen haemagglutinin (H) dan enzim neuraminidase (N). Peranan haemagglutinin adalah sebagai alat melekat virion pada sel dan menyebabkan terjadinya aglutinasi sel darah merah, sedangkan enzim neurominidase bertanggung jawab terhadap elusi, terlepasnya virus dari sel darah merah dan juga mempunyai peranan dalam melepaskan virus dari sel yang terinfeksi.

Antibodi terhadap haemaglutinin berperan dalam mencegah infeksi ulang oleh virus yang mengandung haemaglutinin yang sama. Antibodi juga terbentuk terhadap antigen neurominidase, tetapi tidak berperan dalam pencegahan infeksi.

Influensa babi yang terjadi di Amerika Serikat disebabkan oleh influensa A H1N1, sedangkan di banyak negara Eropa termasuk Inggris, Jepang dan Asia Tenggara disebabkan oleh influensa A H3N2. Banyak isolat babi H3N2 dari Eropa yang mempunyai hubungan antigenik sangat dekat dengan A/Port Chalmers/1/73 strain asal manusia. Peristiwa rekombinan dapat terjadi, seperti H1N2 yang dilaporkan di Jepang (HAYASHI et al., 1993) kemungkinan berasal dari rekombinasi H1N1 dan H3N2. Peristiwa semacam ini juga dilaporkan di Italy, Jepang, Hongaria, Cekoslowakia dan Perancis.

BEVERIDGE (1977) melaporkan bahwa pada tahun 1935, WILSON SMITH menemukan virus influensa yang dapat ditumbuhkan dengan cara menginokulasikannya pada telor ayam berembrio umur 10 hari. Setelah diuji dalam 2 hari, cairan alantoisnya mengandung virus sebanyak 10.000 juta (1010) partikel karena virus tersebut dapat menyebabkan aglutinasi sel darah merah, maka dari kejadian tersebut dikembangkan uji HA dan HI. Teknik ini kemudian digunakan sebagai cara yang termudah untuk digunakan di laboratorium.

Setelah penemuan tersebut banyak para peneliti tertarik untuk mempelajari virus influensa. Oleh sebab itu, sekarang banyak ilmu pengetahuan mengenai virus influensa telah diungkapkan dibandingkan dengan virus lainnya yang menyerang manusia. Virus influensa selain dapat ditumbuhkan dalam telur berembrio juga dapat ditumbuhkan pada sejumlah biakan jaringan (sel lestari) seperti chicken embryo fibroblast (CEF), canine kidney (CK), Madin-Darby canine kidney (MDCK), (FENNER et al., 1986).

Virus influensa tidak dapat tahan lebih dari 2 minggu di luar sel hidup kecuali pada kondisi dingin. Virus sangat sensitif terhadap panas, detergen, kekeringan dan desinfektan. Sangat sensitif terhadap pengenceran tinggi desinfektan mutakhir yang mengandung oxidising agents dan surfactants seperti Virkon (Antec).


PATOGENESIS

Pada penyakit influensa babi klasik, virus masuk melalui saluran pernafasan atas kemungkinan lewat udara. Virus menempel pada trachea dan bronchi dan berkembang secara cepat yaitu dari 2 jam dalam sel epithel bronchial hingga 24 jam pos infeksi. Hampir seluruh sel terinfeksi virus dan menimbulkan eksudat pada bronchiol. Infeksi dengan cepat menghilang pada hari ke 9 (ANON., 1991). Lesi akibat infeksi sekunder dapat terjadi pada paruparu karena aliran eksudat yang berlebihan dari bronkhi. Lesi ini akan hilang secara cepat tanpa meninggalkan adanya kerusakan.

Kontradiksi ini berbeda dengan lesi pneumonia enzootica babi yang dapat bertahan lama. Pneumonia sekunder biasanya karena serbuan Pasteurella multocida, terjadi pada beberapa kasus dan merupakan penyebab kematian. (BLOOD and RADOSTITS, 1989)


GEJALA KLINIS

Pada kejadian wabah penyakit, masa inkubasi sering berkisar antara 1-2 hari (TAYLOR, 1989), tetapi bisa 2-7 hari dengan rata-rata 4 hari (BLOOD dan RADOSTITS, 1989). Penyakit ini menyebar sangat cepat hampir 100% babi yang rentan terkena, dan ditandai dengan apatis, sangat lemah, enggan bergerak atau bangun karena gangguan kekakuan otot dan nyeri otot, eritema pada kulit, anoreksia, demam sampai 41,8oC. Batuk sangat sering terjadi apabila penyakit cukup hebat, dibarengi dengan muntah eksudat lendir, bersin, dispnu diikuti kemerahan pada mata dan terlihat adanya cairan mata. Biasanya sembuh secara tiba-tiba pada hari ke 5-7 setelah gejala klinis.

Terjadi tingkat kematian tinggi pada anak-anak babi yang dilahirkan dari induk babi yang tidak kebal dan terinfeksi pada waktu beberapa hari setelah dilahirkan. Tingkat kematian pada babi tua umumnya rendah, apabila tidak diikuti dengan komplikasi. Total kematian babi sangat rendah, biasanya kurang dari 1%. Bergantung pada infeksi yang mengikutinya, kematian dapat mencapai 1-4% (ANON., 1991).

Beberapa babi akan terlihat depresi dan terhambat pertumbuhannya. Anak-anak babi yang lahir dari induk yang terinfeksi pada saat hamil, akan terkena penyakit pada umur 2-5 hari setelah dilahirkan, sedangkan induk tetap memperlihatkan gejala klinis yang parah. Pada beberapa kelompok babi terinfeksi bisa bersifat subklinis dan hanya dapat dideteksi dengan sero konversi.

Wabah penyakit mungkin akan berhenti pada saat tertentu atau juga dapat berlanjut sampai selama 7 bulan. Wabah penyakit yang bersifat atipikal hanya ditemukan pada beberapa hewan yang mempunyai manifestasi akut. Influensa juga akan menyebabkan abortus pada umur 3 hari sampai 3 minggu kehamilan apabila babi terkena infeksi pada pertengahan kehamilan kedua. Derajat konsepsi sampai dengan melahirkan selama tejadi wabah penyakit akan menurun sampai 50% dan jumlah anak yang dilahirkan pun menurun.


PATOLOGI

Pada hewan yang terserang influensa tanpa komplikasi, jarang sekali terjadi kematian. Jika dilakukan pemeriksaan bedah bangkai lesi yang paling jelas terlihat pada bagian atas dari saluran pernafasan. Lesi terlihat meliputi kongesti pada mukosa farings, larings, trakhea dan bronkhus, pada saluran udara terdapat cairan tidak berwarna, berbusa, eksudat kental yang banyak sekali pada bronkhi diikuti dengan kolapsnya bagian paru-paru (BLOOD dan RADOSTITS, 1989).

Terlihat adanya lesi paru dengan tanda merah keunguan pada bagian lobus apikal dan lobus jantung, yang juga bisa terjadi pada lobus lainnya. Lesi lama biasanya terdepresi, merah muda keabu-abuan dan keras pada pemotongan. Pada sekitar atalektase paru-paru sering terjadi emphysema dan hemorhagis ptekhi. Lesi paru tersebut sama dengan lesi pada Enzootic pneumonia yang hanya bisa dibedakan dengan histopatologi (BLOOD dan RADOSTITS, 1989).

Pada pemeriksaan mikroskopik influensa babi, akan terdeteksi adanya necrotizing bronkhitis dan bronkhiolitis dengan eksudat yang dipenuhi netrofil seluler. Terjadi penebalan septa alveolar dan perubahan epithel bronchial. Bronchi dipenuhi dengan neutrophil yang kemudian dipenuhi sel mononukleal, pada akhirnya terjadi pneumonia intersisial lalu terjadi hiperplasia pada epithel bronchial.

Pada beberapa kasus hanya terlihat kongesti. Adanya pembesaran dan edema pada limfoglandula dibagian servik dan mediastinal. Pada limpa sering terlihat pembesaran dan hiperemi yang hebat terlihat pada mukosa perut. Usus besar mengalami kongesti, bercak dan adanya eksudat kathar yang ringan.


DIAGNOSIS

Diagnosis sementara terhadap penyakit influensa babi didasarkan pada gejala klinis dan perubahan patologi. Diagnosis laboratorium dapat berdasarkan isolasi virus pada alantois telur ayam berembrio dan dilihat hemaglutinasi pada cairan alantois. Spesimen yang paling baik untuk isolasi virus pada influensa babi adalah cairan hidung yang diambil sedini mungkin atau organ paru yang diperoleh dari bedah bangkai (FENNER et al., 1987) dan tonsils (SANFORD et al., 1989).

Mendiagnosis influensa babi dengan metoda imunohistokimia sudah dilaporkan HAINES et al., (1993) dengan menggunakan antibodi poliklonal kemudian VINCENT et al., (1997) menggunakan antibodi monoklonal. Kualitas pengujian dengan antibodi monoklonal tersebut lebih konsisten, karena latar belakang pewarnaan yang rendah dan tidak terbatasnya penyediaan antibibodi. Pada kasus penyakit influensa babi yang khronis, diagnosis dapat dilakukan secara serologi dengan memperlihatkan peningkatan antibodi pada serum ganda (paired sera) yang diambil dengan selang waktu 3-4 minggu.

Untuk memeriksa antibodi terhadap virus influensa dapat digunakan uji haemagglutination inhibition (HI) (BLOOD dan RADOSTITS, 1989), Immunodifusi single radial dan virus netralisasi. Kenaikan titer 4x lipatnya sudah dianggap adanya infeksi. Pada uji serologis digunakan kedua antigen H1N1 dan H3N2 (OLSEN et al., 2002).

Pada suatu percobaan, strain H1N1 (A/Swine/England/195852/92) yang diisolasi dari babi pada saat terjadi kasus wabah, dicoba disuntikkan pada babi SPF umur 6 minggu, hasil menunjukkan bahwa diantara 1 dan 4 hari setelah inokulasi terlihat adanya pireksia, batuk, bersin, anoreksia. Sero konversi dapat dideteksi 7 hari setelah infeksi. Virus dapat diisolasi dari swab hidung dan jaringan sampai 4 hari setelah infeksi tetapi tidak dari feses. Virus hanya dapat diisolasi dari serum yang diambil pada hari pertama setelah infeksi.

Perubahan patologi pneumonia intersisial dapat dilihat sampai 21 hari setelah infeksi, lesi bronchi dan bronchus sampai 7 hari setelah infeksi dan limfoglandula mengalami hemoragik. Seperti juga yang ditulis BROWN et al., (1993) bahwa sampel untuk isolasi virus dapat berasal dari swab hidung/ tonsil, trachea dan paru-paru yang diambil 2-5 hari dari sejak munculnya gejala klinis. Semua sampel disimpan dalam media transpor.

Selain isolasi virus, diagnosis juga dapat dilakukan dengan mendeteksi antigen dengan uji fluorescent antibody technique (FAT) pada sampel paruparu, tetapi mempunyai kekurangan oleh karena lesi akibat virus sangat menyebar sehingga lesi dapat mendapatkan hasil sampel yang negatif dan sampel harus benar-benar segar dengan sedikit perubahan otolisis serta FA slide tidak dapat disimpan lama, warna akan pudar sehingga ditawarkan VINCENT et al., 1997, metode deteksi swine influenza virus (SIV) pada jaringan yang difiksasi dengan metode imunohistokimia yang menggunakan antibodi monoklonal.


DIAGNOSIS BANDING

Penyakit influensa A pada babi yang ringan akan dapat menjadi parah karena penyakit lain seperti Pseudorabies (Aujeszky's disease), Haemophillus parasuis, Mycoplasma hyopneumonia, Actinobacillus (H) pleuropneumonia atau Pasteurella multocida. Keganasan dari infeksi influensa A babi dapat meningkat pula bersamaan dengan adanya infestasi cacing paru-paru, migrasi larva ascaris melalui paru-paru dan serbuan bakteria sekunder. Pada beberapa kasus penyakit mirip influensa (influenza-like illness), tidak dibarengi terisolasinya virus influensa babi ataupun organisme lain, juga terlihat adanya gejala klinis yang sama.

Hasil observasi lapangan diperkirakan bahwa terdapat kemungkinan adanya hubungan virus influensa babi (SIV) dengan porcine respiratory coronavirus (PRCV) pada letupan penyakit pernafasan. Pada observasi di tingkat laboratorium gambaran klinik akan terlihat lebih parah apabila berbarengan dengan penyakit PRCV. Adanya suhu tubuh yang lebih tinggi dari pada infeksi tunggal, juga akan terlihat bersin dan batuk pada infeksi ganda PRCV dan babi yang terinfeksi H3N2 (LANZA et al., 1992). Sedangkan gejala demam, dispnu, pernafasan perut, batuk yang terus menerus dilaporkan merupakan kombinasi penyakit porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) dan SIV (REETH et al., 1996).


SITUASI PENYAKIT DI INDONESIA

Penyakit influensa babi di Indonesia belum pernah dilaporkan, namun demikian dengan sudah ditemukannya penyakit babi seperti hog cholera yang belum pernah ada sebelumnya dan sangat merugikan, perlu dilakukan suatu survei untuk dapat membuktikan ada atau tidaknya penyakit influensa babi di Indonesia.

Mengingat kejadian pertama influensa pada itik di Indonesia sudah dilaporkan (RONOHARDJO P., 1983, RONOHARDJO P et al., 1985; RONOHARDJO P, et al., 1986), maka untuk meyakinkan ada atau tidaknya influensa babi di Indonesia harus diadakan suatu penelitian pendahuluan seperti survei lapangan.

Adanya penyakit influensa babi di negara yang berdekatan dengan Indonesia dan juga banyaknya impor babi bibit dari negara yang berasal dari negara yang sudah banyak kejadian influensa babi, tidak tertutup kemungkinan adanya penularan penyakit dari negara tersebut ke Indonesia seperti penyakit PRRS.

Pada penelitian yang dilakukan di Balitvet dan telah dilaporkan sudah dicoba untuk mengisolasi virus swine influensa sebagai penyebab pneumonia pada babi, tetapi masih belum berhasil mengidentifikasi, sehingga penelitian tersebut masih perlu dilanjutkan (Komunikasi pribadi).


PENGENDALIAN

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit influensa. Hanya saja pengobatan dengan antibiotika seperti dengan penisilin, sulfadimidin atau mungkin antibiotik yang berspektrum luas dapat menghadang infeksi bakteri dalam mencegah infeksi sekunder.

Pengamanan yang sangat penting adalah tidak membuat stres hewan, seperti dengan membuat bersih lingkungan yang bebas dari debu dan menjaga hewan jangan sampai berdesakan, memperbaiki sistem kandang seperti alas yang baik, memberikan air minum yang banyak dan bersih (BLOOD dan RADOSTITS, 1989).

Usaha pengendalian dalam mengantisipasi datangnya penyakit, terutama pada sekumpulan atau kelompok ternak sangat sulit, karena sekali penyakit datang, sangat sedikit sekali yang dapat dikerjakan. Penyakit dengan sangat cepat menulari babi yang lain. Hewan yang sembuh biasanya hanya dapat tahan atau kebal sampai 3 bulan (EASTERDAY, 1972).

RWEYEMAMU, 1970 melaporkan bahwa vaksin inaktif yang berasal dari unggas dengan menggunakan adjuvan sudah mulai digunakan, namun oleh karena adanya perbedaan antigenik maka harus dipikirkan kemungkinan penggunaan vaksin lain yang mengandung strain virus yang didapat dari daerah terkena.

Pencegahan penyakit influensa babi yang telah dicoba dengan perlakuan vaksinasi dilaporkan oleh TAYLOR (1986). Dua dosis vaksin oil adjuvan (SuvaxynFlu-3, Duphor) yang diaplikasikan dengan jarak pemberian 3 minggu. Cara ini banyak digunakan di Eropa dengan tujuan untuk melindungi dari penyakit dengan gejala dan penurunan produksi. Vaksin tersebut mengandung A/Swine Ned/25/80 yang dapat melindungi terhadap serangan virus Eropa H1N1 dan A/Port Chalmers/1/73 yang akan melawan hampir seluruh virus strain H3N2.

Sementara itu vaksin A/Philippines/ 2/82 berguna untuk melindungi babi terhadap virus dari strain Bangkok H3N2. Sedangkan Maxi VacTM FLU merupakan vaksin inaktif, oil adjuvant H1N1 yang diaplikasikan pada babi umur 4-5 minggu, kemudian di vaksin ulang setelah 2-3 minggu kemudian. Perlakuan dapat menekan gejala klinis batuk dan anoreksia.

Penyembuhan dilakukan secara simptomatis dan pengobatan dengan antimikrobial untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Babi harus dipelihara dalam keadaan sanitasi yang baik, kondisi kandang yang memadai dan eradikasi cacing askaris dan cacing paru-paru. Desinfektan dapat digunakan untuk melindungi hewan dari serangan kutu.

Pada kasus-kasus penyakit yang dilakukan eradikasi, juga harus dilaksanakan pengurangan populasi dan restocking.


KESIMPULAN DAN SARAN

Penyakit influensa babi adalah penyakit yang dapat menular ke manusia disebabkan oleh virus influensa tipe A, sub tipe H1N1, H1N2 dan H3N2, sampai saat ini belum terbukti ada di Indonesia. Namun demikian penyakit influensa babi harus selalu diwaspadai dengan banyaknya penyakit baru yang menyerang babi dan telah terdeteksi di Indonesia.

Demikian juga dengan merebaknya penyakit influensa unggas di Indonesia, sehingga dalam mencegah dan menghindari penyakit influensa babi tersebut, harus dilaksanakan tata cara dan pelaksanaan pemeliharaan babi secara baik.

Kandang babi harus diisolasi dan dipelihara jauh dari perkandangan unggas maupun perumahan penduduk, tambahan pula biosekuritas harus dilaksanakan secara ketat karena sangat penting dalam menjaga penularan virus.

Sumber:
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
TATTY SYAFRIATI
Balai Penelitian Veteriner, Jl. RE Martadinata 30, PO Box 151, Bogor. 16114

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 1991. Swine Influenza (Hog flu, Pig flu). In the Merck Veterinary Manual 7th ed. Merck & Co. Inc., Rahway, New Jersey, USA:
751-753.

BEVERIDGE W.I.B. 1977. Influenza: The Last Great Plaque. An unfinished story of discovery. Heinemann Educational Books Ltd. 48 Charles St. London WIX 8AH: 1-124.

BLOOD D.C. and O.M. RADOSTITS, 1989. Swine Influenza. In "Veterinary Medicine". A Textbook of the disease of cattle, sheep, pigs, goats & horses, 7th ed. Bailliere Tindall, London, Philadelphia, Sydney, Tokyo, Toronto: 888-890.

BROWN I.H., S.H. DONE, Y.I. SPENCER, W.A.COOLEY, P.A. HARRIS, and D.J. ALEXANDER, 1993. Pathogenicity of a swine influenza H1N1 virus antigenically distinguisable from classical and European strains. Vet. Record 132, 24: 598-602.

CHOI Y.K., J.H. LEE, G.ERICKSON, S.M. GOYAL, H.S JOO., R.G. WEBSTER and R.J. WEBBY, 2004. H3N2 Influenza Virus Transmission from Swine to Turkeys, United States Emerging Infectious Diseases (10) 12 :2156- 2168

EASTERDAY B.C. 1986. Swine Influenza. In Diseases of Swine. 6th ed. Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA:244-254.

EASTERDAY B.C., V.S. HINSHAW and D.A.HALVORSON, 1997. INFLUENZA. In Diseases of Poultry 10 th Edition. Editor

CALNEK B.W., JOHN BARNES H., BEARD C.W., MCDOUGALD L.R., SAIF Y.M.. Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA.p: 583-605

EASTERDAY B.C and I K. VAN REETH 1999: Swine Influenza. In Diseases of Swine 8 th Edition. Editor B.E. STRAW, S. D’ALLAIRE, W.L. MENGELING and D.J. TAYLOR Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA.: 277-290

FENNER F., P.A. BACHMANN, E.P.J. GIBBS, F.A. MURPHY, M.J. STUDDERT, and D.O. WHITE, 1987. Veterinary Virology. Academic Press Inc. London Ltd., 473-484

HAINES D.M., E.H.WATERS, and E.G. CLARK, 1993. Immunohistochemical detection of swine influenza A virus in formalin-fixed and paraffin-embedded tissues. Canadian J. of Vet. Research 57, 1: 33-36.

HAMPSON A. 1996. Influenza-Dealing with a continually emerging disease. In Communicable Diseases Intelligence. (20) 9: 212-216.

HAYASHI K., T. HASHIMOTO, and Y. MUKOHARA, 1993. Outbreak of swine influenza due to H1N2 influenza virus in Nagasaki Prefecture. Journal of the Japan Vet. Med. Ass. 46, 6: 459-462.

KARASIN A.I., I.H. BROWN, S. CARMAN and C.W. LSEN 2000. Isolation and Characterization of 4N6 Avian Influenza Viruses from Pigs with pneumonia in Canada. J. of Vir. (74) 19: 322-9327.

LANDOLT G.A., A.I. KARASIN, L.PHILLIPS and .W.OLSEN, 2003. Comparison of the athogenesis of Two Genetically Different 3N2 Influenza Virus in Pigs. J. of lin.Microb. (41) 5: 1936-19041

LANZA I., I.H. BROWN, and D.J. PATON, 1992. athogenicity of concurrent infection of pigs ith porcine respiratory corona virus and wine influenza virus. Res. in Vet. Science 53: 09-314.

OLSEN C.W., L. BRAMMER, B.C. EASTERDAY, N. RDEN, E. BELAY, I. BAKER and N.J. COX, 002. Serologic Evidence of H1 Swine influenza Virus Infection in Swine Farm esidents and Employees. Emerging nfectious Diseases. (8) 8: 814-819

PALESE P. and J.F. YOUNG, 1982. Variation of Influenza A, B and C viruses. Science, (215) : 1468-1474.

REETH K.V., H. NAUWYNCK, M. PANSAERT, and K. VAN REETH, 1996. Dual infection of feeder pigs with porcine reproductive and respiratory syndrome virus followed by porcine respiratory corona virus or swine influenza virus. A clinical and virological study. Vet. Microbiol. 48, 3-4: 325-335.

RONOHARDJO P., 1983. Penyakit Cengesan atau Selesma Pada Itik Tegal, Bali dan Alabio.Penyakit Hewan Vol. XV No. 25. Semester I : 61-71

RONOHARDJO P., S. HARDJOSWORO, S. PARTOATMOJO and M. PARTADIREDJA, 1985. The Identification and Distribution of influenza A virus in Indonesia. Penyakit Hewan Vol. XVII, No. 29, Semester I: 249- 257

RONOHARDJO P., S. PARTOUTOMO, S. HASTIONO, N. GINTING and S. POERNOMO 1986. The Status of Duck Diseases in Indonesia. Penyakit Hewan
Vol. XVIII No. 31. Sem. I Th 1986. : 86-93

ROTA P.A., E.P.ROCHA, M.W. HARMON, V.S. HINSHAW, M.G. SHEERAR, Y.KAWAOKA, N.J. COX and T.F.SMITH, 1989. Laboratory Characterization of a Swine Influenza Virus Isolated From A Fatal Case of Human Influenza. J. of Clin. Microb. (27) 6: 1413-1416

SANFORD S.E., A.J. REHMTULLA and G.K.A. JOSEPHSON. 1989. Canadian VeterinaryJournal 30:4, 350.

SAROSA A. 1997. Penyakit Aujeszky (Pseudorabies) pada ternak babi di Indonesia. Wartazoa (6). 2 : 44-47.

SHEERAR M.G., B.C. EASTERDAY, and V.S. HINSHAW, 1989. Antigenic Conservation of H1N1 Swine Influenza Viruses. J. of Gen. Virol. (70)12: 3297-3303.

STECH J., X. XIONG, C. SCHOLTISSEK and R.G. WEBSTER, 1999. Independence of Evolutionary and Mutational Rates after Transmission of Avian Influenza Viruses to Swine. J.of Vir. (73)3: 1878-1884

TAYLOR D.J. 1989. Swine Influenza. In Pig Diseases. 5th ed., The Burlington Press (Cambridge) Ltd.. Foxton, Cambridge, Great Britain: 37-40.

VINCENT L.L., B.H. JANKE, P.S. PAUL and P.G. HALBUR, 1997. A monoclonal antibody based immunohistochemical method for the detection of swine influenza virus in formalin fixed, paraffin embedded tissues. J. Vet. Diag. Invest. 9: 191-195

WEBBY R.J., S.L. SWENSON, S.L.KRAUSS, P.J.GERRISH, S.M.GOYAL and R.G.WEBSTER, 2000. Evolution of swine H3N2 Influenza Viruses in The United States, J. of Virol. (74) 18 : 8243-8251

WELLS D.L., D.J. HOPFENSPERGER, N.H. ARDEN, M.W. HARMON, J.P. DAVIS, M.A. TIPPLE, and L.B. SCHONBERGER, 1991. Swine influenza virus infection transmission from ill pigs to humans at a Wisconsin Agricultural Fair and subsequent probable person to person transmission. J. of the American Med. Ass. 265, 4: 478-481.

Ada beberapa tip yang disarankan mencegah penyebaran virus flu babi ini yaitu :

  • Jika mengalami gejala flu, sebaiknya cukup beristirahat paling tidak hingga 2 hari setelah gejala-gejala flu tersebut hilang.
  • Sering-seringlah cuci tangan dan tutuplah hidung serta mulut ketika Anda batuk atau bersin.
  • Segeralah periksa ke rumah sakit jika Anda mengalami gejala seperti kesulitan bernapas. Tapi, jika gejala Anda ringan, tetaplah di rumah untuk menghindari penyebaran virus kepada orang lain di rumah sakit.
  • Pemakaian masker direkomendasikan bagi petugas kesehatan, anggota keluarga dan orang lain yang mengadakan kontak langsung dengan pasien flu babi.
  • Bagi Anda yang mengkonsumsi daging babi, masaklah dengan cara yang aman. Masak paling tidak dengan suhu 160F.
  • Tingkatkan daya tahan tubuh, beberapa suplemen  telah disarankan dapat digunakan untuk proteksi secara individu diantaranya adalah
    1. Probiotik, yang mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan meningkatkan fungsi  dinding saluran cerna, dengan dosis yang diharapkan cukup adalah 5 x 109 CFU setiap harinya, suplemen probiotik yang dapat digunakan adalah dari spesies Lactobacillus acidophillus, L.plantarum, L.casei, Bifidobacterium longum dan B.bifidum.
    2. Echinacea, beberapa ahli telah menyetujui herbal ini akan menstimulasi sistem kekebalan tubuh, penelitian di Canada menunjukkan Echinasea meningkatkan sistem kekebalan tubuh terutama dengan mengaktifkan sel makropag, dianjurkan setidaknya 300 mg echinasea diberikan 3 kali perhari hingga keluhan influensa menghilang.
    3. Zinc, Mineral ini akan membantu meningkatkan produksi sel darah putih dan membantu pula terbentuknya antibodi, dengan dosis yang direkomendasikan 15-25 mg. 


Depkes Tetapkan Langkah-langkah Atasi Flu Babi
Ditjen P2PL melalui surat edaran meminta kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala UPT di lingkungan Ditjen P2PL dan RS Vertikal melalui surat nomor: PM.01.01/D/I.4/1221/2009 untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Mewaspadai kemungkinan masuknya virus tersebut ke wilayah Indonesia dengan meningkatkan kesiapsiagaan di pintu-pintu masuk negara terutama pendatang dari negara-negara yang sedang terjangkit.
  2. Mewaspadai semua kasus dengan gejala mirip influenza (ILI) dan segera menelusuri riwayat kontak dengan binatang (babi)
  3. Meningkatkan kegiatan surveilans terhadap ILI dan pneumonia serta melaporkan kasus dengan kecurigaan ke arah swine flu kepada Posko KLB Direktorat Jenderal PP dan PL dengan nomor telepon: (021) 4257125
  4. Memantau perkembangan kasus secara terus menerus melalui berbagai sarana yang dimungkinkan.
  5. Meningkatkan koordinasi dengan lintas program dan lintas sektor serta menyebarluaskan informasi ke jajaran kesehatan di seluruh Indonesia.


0 komentar:

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer

Arsip Blog