kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Sabtu, 28 Mei 2016

Sulit Makan Pada Anak , Ini dia cara Mudah cara mengatasinya..

Ibu: "A lagi ya, satu lagi aaanya, yah satu lagi yah"
Anak: "Nggak mau, udah kenyang"
Ibu: "Satu lagi deh, abis itu udahan deh makannya. Tinggal sedikit nih, tuh lihat di piringnya, tinggal sedikit kan. Satu lagi yaaaaa"
Anak: "Nggak mau ah, udah kenyaaaaang"
Bagi sebagian ibu, dialog di atas mungkin terdengar sangat familiar di telinga ketika jam makan anak-anak telah tiba. Memberi makan kepada anak-anak balita terkadang memang menyulitkan. Anak tidak selalu menyukai apa yang diberikan kepada mereka. Mereka cenderung lebih menyukai makanan ringan berupa makanan yang manis (seperti permen, biskuit), makanan junk food (biasanya dalam bentuk makan siap saji seperti hamburger, fried chicken, french fries), dan makanan yang tasty (misalnya chiky, cheetos) dibandingkan makanan utama yang berupa nasi dan lauk pauknya.
Menghadapi situasi diatas orangtua biasanya menggunakan berbagai cara untuk membuat agar anaknya mau makan, bahkan seringkali sampai merasa perlu untuk memaksa anak, apalagi orangtua dari anak-anak yang bertubuh mungil. Orangtua mungkin beranggapan bahwa tubuh mungilnya itu terbentuk karena anaknya kurang makan dan gizi. Nah, gimana caranya menyiasati agar anak mau makan makanan yang disediakan oleh orangtua?
Komponen Utama Sumber Energi
Untuk perkembangan tubuh dan energi anak membutuhkan sejumlah kalori. Kebutuhan kalori ini dipenuhi dari nutrisi, yaitu protein, karbohidrat dan lemak. Protein berguna untuk membentuk struktur sel-sel tubuh. Protein banyak terkandung dalam makanan yang terbuat dari tumbuhan maupun hewan, contohnya ikan, susu, keju, kacang dan tepung. Karbohidrat berguna sebagai energi yang diperlukan untuk beraktivitas dan proses-proses penting  yang terjadi di dalam tubuh. Karbohidrat terkandung dalam gandum, kacang-kacangan, kentang, beras, buah-buahan, gula dan madu. Lemak juga berguna sebagai sumber energi. Lemak banyak terkandung dalam susu, kacang-kacangan, mentega dan minyak. 
Selain membutuhkan nutrisi, tubuh juga membutuhkan vitamin, mineral dan serat. Vitamin, mineral dan serat penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Semua makanan pada umumnya mengandung setidaknya satu unsur nutrisi yang dibutuhkan dan dapat juga mengandung vitamin, mineral dan serat. Unsur-unsur inilah yang seringkali disebut dengan  istilah Gizi (nutrisi, vitamin, mineral dan serat). 
Bagaimana dengan makanan siap saji atau junk food?  Junk food yang disukai anak-anak sebenarnya bukanlah makanan yang tidak ada faedahnya sama sekali. Contohnya hamburger,   mengandung protein dan lemak, sumber zat besi dan vitamin B yang baik buat anak. Namun perlu diingat bahwa lemak dan protein yang terkandung dalam hamburger melebihi jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena itu jika anak menyukai junk food, tidak ada salahnya sekali-kali diberikan, namun sangat dianjurkan untuk tidak mengkonsumsinya secara berlebihan. Jika hal itu sampai terjadi maka akan berpengaruh kurang baik bagi kesehatan karena asupan gizi yang diperoleh tidak seimbang, dan juga memicu terjadinya obesitas/kegemukan.
Papalia (1995), salah seorang ahli perkembangan manusia, mengungkapkan bahwa pada usia 0-3 tahun perkembangan fisik dan otak anak berlangsung paling pesat/growth spurt, karena itu tubuh membutuhkan gizi yang banyak, sehingga biasanya anak memiliki nafsu makan yang baik. Setelah usia 3 tahun, perkembangan tubuh tidak lagi sepesat sebelumnya, kebutuhan tubuh akan makanan menurun dan biasanya diikuti nafsu makan anak yang juga menurun. Oleh karena itu dibutuhkan kreativitas dari orangtua agar anak jangan sampai kekurangan gizi akibat tidak mau makan.
Illingworth (1991), seorang ahli kesehatan anak, mengutarakan beberapa hal-hal yang menurut pengamatannya dapat menjadi penyebab anak tidak mau makan:
  • Memakan kudapan diantara jam makan, akibatnya tubuh masih berkecukupan dengan nutrisi yang berasal dari kudapan tersebut, sehingga anak tidak merasa lapar
  • Perkembangan ego sang anak; anak menolak makan sebagai manifestasi dari perkembangan sikap mandiri. Anak merasa sebagai individu yang terpisah dari orangtua, sehingga menolak bentuk dominasi orangtua
  • Anak ingin mencoba kemampuan yang baru dimilikinya yaitu mencoba makan sendiri tetapi orangtua melarangnya melakukan hal tersebut
  • Menu tidak bervariasi sehingga anak merasa bosan dengan makanan yang terhidang atau bentuk makanan tidak menarik
  • Anak sedang merasa tidak bahagia, sedih, depressi atau merasa tidak aman/nyaman
  • Anak sedang sakit
Sementara itu, bentuk penolakan yang dilakukan anak dapat berupa: 
  • Memuntahkan makanan
  • Makan berlama-lama  dan memainkan makanan. Pada tahapan usia 9 bulan-2,5 tahun memang masih merupakan suatu  hal yang wajar jika anak makan berlama-lama karena ia belum mengenal konsep waktu. Namun jika anak telah berumur lebih dari usia tersebut, tetapi masih makan berlama-lama dan memainkan makanannya maka hal tersebut tidak lagi dapat disebut wajar/normal tetapi merupakan suatu cara anak untuk menarik perhatian dan menentang dominasi orangtua.
  • Sama sekali tidak mau makan
  • Menumpahkan makanan
  • Menepis suapan dari orangtua
Tindakan Keliru yang Seringkali Dilakukan Orangtua
Beberapa tindakan yang sebenarnya keliru yang seringkali dilakukan orangtua dalam menghadapi situasi diatas misalnya:
  • Membujuk. Misalnya dengan kata-kata: "makan sayur bayamnya ya, biar kuat seperti popeye", "kalau makannya habis nanti mama bilang sama papa kalau anak mama dan papa pintar loh", dll.
  • Mengalihkan perhatian, misalnya: anak disuapi makan sambil menonton film atau sambil bermain-main.
  • Memberi janji, misalnya: "kalau makannya habis, nanti mama belikan ice cream".
  • Mengancam, misalnya: "kalau makannya tidak habis, nanti kalau ke dokter disuntik loh".
  • Memaksa, misalnya anak dipaksa membuka mulut lalu dijejali makanan.
  • Menghukum, misalnya anak yang tidak mau makan langsung dipukul atau diperintahkan masuk kamar.
  • Membolehkan anak untuk memilih menu makanan yang diingininya. Dalam hal ini orangtua biasanya akan langsung mengganti menu jika anak mengatakan bahwa ia tidak menyukai menu yang dihidangkan.
Tindakan yang Sebaiknya Dilakukan Orangtua
Dengan mengetahui bahwa nafsu makan anak digerakkan oleh jumlah makanan yang dibutuhkan tubuh, orangtua seharusnya menjaga nafsu makan anak dan memastikan bahwa anak mendapatkan kebutuhan tubuhnya. Para ahli psikologi anak sama sekali tidak menyarankan anak dipaksa untuk makan apapun penyebabnya, karena semakin dipaksa anak akan semakin memberontak.
Lalu apa tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh orangtua untuk membuat anak mau makan dan tidak kekurangan sumber energi yang dibutuhkan tubuhnya? Berikut ini beberapa saran yang dapat anda lakukan jika menghadapi anak yang sulit makan
  1. Kurangi kudapan atau tidak memberikan kudapan sama sekali di antara jam makan. Termasuk di sini adalah pemberian susu kepada anak. Bagi anak yang memiliki nafsu makan sangat baik, pemberian kudapan maupun susu diantara jam makan masih diperbolehkan, tetapi harus dilakukan dengan jadwal tetap dan dosistepat sehingga tidak terjadi obesitas.
  2. Menghidangkan menu yang bervariasi. Sama seperti orang dewasa, jika hampir setiap hari diberikan menu yang sama, maka anak akan bosan (meskipun menu yang diberikan merupakan menu favorit anak tersebut). Oleh karena itu, orangtua harus jeli dan pintar untuk memberikan menu yang bervariasi kepada anak. Misalnya: jika anak sudah sering diberi ikan cobalah mengganti ikan dengan ayam atau daging atau dapat pula diganti cara memasaknya.
  3. Mempercantik tampilan makanan. Contohnya, dalam sebuah iklan di TV, ada orangtua yang menghidangkan nasi goreng dengan diberi gambar wajah, mata yang terbuat dari tomat, bibir dari sosis, dan hidung dari ketimun. Penampilan nasi goreng yang seperti ini akan lebih menarik perhatian bagi anak daripada nasi goreng yang terhidang begitu saja di piring tanpa hiasan.
  4. Saat anak sedang merasa sedih, cobalah untuk terlebih dahulu membuat perasaan anak lebih baik dengan menunjukkan kasih sayang dan mencoba mengerti penyebab mengapa anak merasa sedih. Contoh: anak sedih karena kematian anjing yang disayanginya, maka bisa dihibur dengan mengatakan bahwa "anjingnya sekarang sudah sembuh, tidak akan pernah sakit lagi di tempat yang baru".
  5. Biarkan anak makan sendiri. Jangan takut dengan kekotoran yang disebabkan anak makan sendiri, karena yang penting di sini adalah anak merasa mampu, dipercaya oleh orangtua, semakin mandiri dan kemampuan motoriknya juga akan terlatih dan berkembang baik.
  6. Jangan memburu-buru anak agar makan dengan cepat. Anak yang makannya berlama-lama, tidak perlu diburu-buru. Jika semua sudah selesai makan, meja sudah dibersihkan dan anak masih bermain dengan makanannya, maka sebaiknya makanannya disingkirkan. Anak mungkin akan merasa marah, jika hal ini terjadi orangtua tidak perlu berdebat  ataupun memarahi anak, berikan perpanjangan waktu yang cukup, jika perpanjangan waktu sudah selesai maka makanan benar-benar ditarik dan tidak diberikan perpanjangan waktu lagi. Dengan demikian anak akan mengerti ada waktu untuk makan.
  7. Tidak perlu setiap kali mengikuti keinginan anak dengan mengganti menu sesuai keinginanya, karena mungkin saja ketidaksukaannya disebabkan keinginan menentang dominasi orangtua. Sebaiknya tanamkan kesadaran pada anak bahwa makan adalah tugasnya, dengan tidak memuji jika makanan dihabiskan, dan juga tidak memarahi, mengancam, membujuk, menghukum, atau memberi label anak sebagai anak nakal jika makanannya tidak dihabiskan/tidak mau makan.
  8. Jika anak tidak mau makan dan si anak berada dalam keadaan sehat, tidak apa-apa, singkirkan saja makanan dari meja makan, dan anak tidak perlu diberikan kudapan apapun di antara waktu makan utamanya.  Dengan demikian, ketika tiba waktu makan selanjutnya anak akan merasa lapar (bukan kelaparan) dan ia pasti akan makan apapun yang dihidangkan.
  9. Tidak perlu memberikan porsi yang banyak kepada anak, sehingga sulit dihabiskan. Lebih baik memberikan porsi yang sedang, jika anak merasa kurang, ia boleh minta tambah.
  10. Berikan makanan secara bertahap sesuai jenis dan kandungan gizi satu persatu,  mulai dari yang mengandung banyak zat besi dan protein (misalnya daging), sampai terakhir jenis yang kurang penting (misalnya puding sebagai penutup mulut). Jika anak merasa sudah kenyang sebelum sampai pada makanan tahap berikutnya, orangtua tidak perlu lagi memaksa anak untuk makan 
Reaksi orangtua akan menentukan arah dan proses pembelajaran anak terhadap berbagai hal sampai mereka menemukan kesadaran dan tanggungjawab secara internal. Jika reaksi orangtua menguatkan perilaku sulit makan, maka yang terjadi kemudian adalah anak menjadi sulit makan. sebaliknya jika reaksi orangtua menguatkan perilaku mudah makan, maka anak mudah makan. Satu hal yang sebaiknya diingat orangtua adalah tidak mudah untuk selalu merespon perilaku anak secara tepat. Tulisan ini mungkin dapat menjadi suatu informasi yang berguna bagi anda para orangtua yang peduli terhadap kesejahteraan anaknya. Selamat mencoba.

cara membuat anak : kasus infertilitas

BAB I
PENDAHULUAN



Kehadiran seorang anak adalah hal yang sangat diharapkan oleh pasangan suami-istri dalam kehidupan berumahtangga. Alangkah sedihnya jika pasangan yang sudah lama menikah belum dikaruniai seorang anak. Apalagi saat melihat pasangan lain yang telah memiliki anak, atau saat menjawab pertanyaan dari mertua dan kerabat tentang momongan yang tak kunjung tiba. Hal ini dapat menimbulkan perasaan gelisah, stres, dan ketegangan antara suami dan istri; yang justru akan memperberat masalah infertilitas yang ada.

Definisi infertilitas yang paling banyak dipakai adalah tidak adanya kehamilan (oleh sebab apapun) setelah 1 tahun melakukan senggama dengan frekuensi yang wajar tanpa menggunakan proteksi (kontrasepsi). Untuk wanita berusia 35 tahun ke atas, batasannya adalah 6 bulan. Wanita yang dapat hamil, namun tidak dapat mempertahankan kehamilannya (selalu mengalami keguguran), juga bisa disebut infertil.1,2

Infertilitas dialami oleh sekitar 10-15% pasangan usia subur. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), di Amerika Serikat, sekitar 10 persen wanita (6,1 juta orang) berusia antara 15-44 tahun mengalami kesulitan untuk hamil atau mempertahankan kehamilannya. Prevalensinya cukup stabil selama 50 tahun terakhir, meskipun ada perubahan dalam etiologi dan usia pasien.1,2

Proses reproduksi untuk mencapai suatu kehamilan adalah suatu proses yang kompleks, hasil dari beberapa tahapan. Untuk terjadinya sebuah kehamilan, diperlukan hal-hal sebagai berikut:2,3
1. Adanya pelepasan oosit yang normal saat ovulasi
2. Produksi spermatozoa yang adekuat (jumlah, bentuk, dan geraknya)
3. Tuba fallopi yang normal dimana fertilisasi terjadi, dan
4. Transport dari tuba ke endometrium untuk implantasi dan pertumbuhan.
Infertilitas dapat disebabkan oleh gangguan dalam salah satu dari langkah-langkah tersebut di atas.

Dengan kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran dewasa ini, terdapat banyak cara untuk membantu pasangan suami-istri memperoleh keturunan, misalnya dengan medikamentosa, tindakan operasi rekonstruktif, dan rekayasa teknologi reproduksi.4
Makalah ini adalah suatu tinjauan pustaka yang akan membahas tentang infertilitas /cara membuat anak; mulai dari batasan, epidemiologi, etiologi, sampai penatalaksanaannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi infertilitas yang paling banyak dipakai adalah tidak adanya kehamilan (oleh sebab apapun) setelah 1 tahun melakukan senggama dengan frekuensi yang wajar tanpa menggunakan proteksi (kontrasepsi). Untuk wanita berusia 35 tahun ke atas, batasannya adalah 6 bulan. Wanita yang dapat hamil, namun tidak dapat mempertahankan kehamilannya (selalu mengalami keguguran), juga bisa disebut infertil.1,2

Fertilitas atau kesuburan (fertility) didefinisikan sebagai kapasitas atau kemampuan untuk reproduksi atau berada dalam keadaan subur (fertil). Istilah ini harus dibedakan dengan fekundabilitas, yaitu kemungkinan mengalami kehamilan dalam setiap satu bulan; atau istilah fekunditas, yang berarti kemampuan mendapat satu kelahiran hidup dalam tiap satu siklus menstruasi. Tingkat fekundabilitas dalam populasi umum cukup konstan yaitu sekitar 0.22 / bulan (Maruani, 1983). Sedangkan tingkat fekunditas adalah 0.15-0.18 / bulan, menunjukkan rata-rata angka kehamilan sebesar 90% / tahun (Trussell, 1985).1

Infertilitas dialami oleh sekitar 10-15% pasangan usia subur. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), di Amerika Serikat, sekitar 10 persen wanita (6,1 juta orang) berusia antara 15-44 tahun mengalami kesulitan untuk hamil atau mempertahankan kehamilannya. Prevalensinya cukup stabil selama 50 tahun terakhir, meskipun ada perubahan dalam etiologi dan usia pasien.1,2

Menurut WHO, insidensi infertilitas adalah sekitar 8-10% dari pasangan suami-istri di seluruh dunia (sekitar 50-80 juta pasangan). Sedangkan di Indonesia, insidensinya adalah sekitar 12% (3 juta pasangan). Beberapa kepustakaan lain ada yang menyebutkan angka 15% (1 dari 7 pasutri).4

Infertilitas diibedakan menjadi dua, yaitu primer dan sekunder.4,5
1. Infertilitas primer : Bila belum pernah hamil sama sekali.
2. Infertilitas sekunder : Bila sudah pernah hamil.
Infertilitas primer terjadi pada sekitar 67-71% pasutri, sedangkan infertilitas sekunder terjadi pada sekitar 29-33% pasutri.5

D. ETIOLOGI
Proses reproduksi untuk mencapai suatu kehamilan adalah suatu proses yang kompleks, hasil dari beberapa tahapan. Untuk terjadinya sebuah kehamilan, diperlukan hal-hal sebagai berikut:2,3
1. Adanya pelepasan oosit yang normal saat ovulasi
2. Produksi spermatozoa yang adekuat (jumlah, bentuk, dan geraknya)
3. Tuba fallopi yang normal dimana fertilisasi terjadi, dan
4. Transport dari tuba ke endometrium untuk implantasi dan pertumbuhan.

Infertilitas dapat disebabkan oleh gangguan dalam salah satu dari langkah-langkah tersebut di atas.
Infertilitas yang disebabkan faktor wanita berjumlah sekitar 40% dari seluruh kasus. Faktor pria juga sekitar 40% kasus. Sedangkan sisanya yaitu sebanyak 20% kasus tidak diketahui penyebabnya.4
Mereka yang mengalami infertilitas dengan penyebab yang tidak diketahui ini dapat dikategorikan sebagai normal infertile couple (NIC), yang menunjukkan bahwa semua tes standar yang dilakukan untuk mengevaluasi pasangan memberikan hasil yang normal.1,4

Banyak faktor yang menyebabkan mengapa seorang wanita tidak bisa atau sukar menjadi hamil setelah kehidupan seksual normal yang cukup lama. Diantara faktor-faktor tersebut yaitu faktor organik / fisiologik, faktor ketidakseimbangan jiwa dan kecemasan berlebihan.6 Dimic dkk di Yugoslavia mendapatkan 554 kasus (81,6%) dari 678 kasus pasangan infertil disebabkan oleh kelainan organik, dan 124 kasus (18,4%) disebabkan oleh faktor psikologik. Ingerslev dalam penelitiannya mengelompokkan penyebab infertilitas menjadi 5 kelompok yaitu faktor anatomi, endokrin, suami, kombinasi, dan tidak diketahui (unexplained infertility).7

Sumapraja membagi masalah infertilitas dalam beberapa kelompok yaitu air mani, masalah vagina, masalah serviks, masalah uterus, masalah tuba, masalah ovarium, dan masalah peritoneum. Masalah air mani meliputi karakteristiknya yang terdiri dari koagulasinya dan likuefasi, viskositas, rupa dan bau, volume, pH dan adanya fruktosa dalam air mani. Pemeriksaan mikroskopis spermatozoa dan uji ketidakcocokan imunologi dimasukkan juga kedalam masalah air mani.8

Masalah vagina kemungkinan adanya sumbatan atau peradangan yang mengirangi kemampuan menyampaikan air mani kedalam vagina sekitar serviks.

Masalah serviks meliputi keadaan anatomi serviks, bentuk kanalis servikalis sendiri dan keadaan lendir serviks. Uji pascasenggama merupakan test yang erat berhubungan dengan faktor serviks dan imunologi.9

Masalah uterus meliputi kontraksi uterus, adanya distorsi kavum uteri karena sinekia,mioma atau polip, peradangan endometrium. Masalah uterus ini menggangu dalam hal implantasi, pertumbuhan intra uterin, dan nutrisi serta oksigenasi janin. Pemeriksaan untuk masalah uterus ini meliputi biopsi endometrium, histero-salpingografi, dan histeroskopi.9

Masalah tuba merupakan yang paling sering ditemukan (25-50%). Penilaian patensi tuba merupakan salah satu pemeriksaan terpenting dalam pengelolhan infertilitas.9

Masalah ovarium meliputi ada tidaknya ovulasi, dan fungsi korpus luteum. Fungsi hormonal berhubungan dengan masalah ovarium, ini yang dapat dinilai beberapa pemeriksaan antara lain perubahan lendir serviks, suhu basal badan, pemeriksaan hormonal dan biopsi endometrium.9

Masalah imunologi biasanya dibahas bersama-sama masalah lainnya yaitu masalah serviks dan masalah air mani karena memang kedua faktor ini erat hubungannya dengan mekanisme imunologi.9

E. FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan infertilitas pada pria atau mempengaruhi kualitas sperma meliputi:2
• Alkoholisme berat
• Pemakaian narkotika dan obat terlarang
• Merokok
• Usia tua
• Racun lingkungan seperti pestisida dan timah
• Masalah kesehatan seperti parotitis (mumps), kondisi serius seperti penyakit ginjal, atau gangguan hormon
• Radiasi dan kemoterapi untuk pengobatan kanker
Sedangkan pada wanita meliputi:2
• Usia tua
• Merokok
• Alkoholisme berlebihan
• Stress
• Diet/ gizi yang buruk
• Olahraga yang berat
• Kondisi overweight atau underweight
• Infeksi Menular Seksual / Sexually transmitted infections (STIs)
• Masalah kesehatan yang mengganggu hormon, seperti polycystic ovarian syndrome dan primary ovarian insufficiency

F. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Pasangan suami-istri yang mengalami infertilitas harus diperlakukan sebagai satu kesatuan. Konseling, informasi dan edukasi (KIE) untuk pasangan suami-istri sangat penting untuk kelancaran pemeriksaan infertilitas yang kompleks, memakan waktu serta membutuhkan biaya yang cukup mahal.4
Urutan pemeriksaan dilakukan dari yang sederhana, mudah, murah, baru kemudian diikuti pemeriksaan yang kompleks, mahal, sulit dan berisiko, sesuai dengan gejala klinis yang menonjol.
Pemeriksaan infertilitas yang lengkap meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik/ginekologis, analisis sperma, deteksi ovulasi, Uji Pasca Senggama (UPS), HisteroSalfingoGrafi (HSG), dan laparoskopi.4
Pada anamnesis dan pemeriksaan awal perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut:4
1. Untuk Pasangan
a. Frekuensi koitus
b. Faktor emosi / stress
c. Obat-obat yang digunakan / toksin
d. Riwayat reproduksi yang lalu
2. Untuk Isteri
a. Umur
b. Riwayat penyakit radang panggul
c. Penggunaan AKDR
d. Pola haid
e. Pertumbuhan rambut / Hirsutisme
f. Galaktorea
g. Obesitas (BMI) kelainan bawaan
h. Riwayat operasi pelvis
i. Dismenore / dispareuni
j. Tumor adnexa
3. Untuk Suami
a. Apakah memiliki ciri-ciri seksual sekunder yang normal
b. Pernah mendapatkan pengobatan karena penyakit menular seksual

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah:4
1. Analisis Sperma dan Cairan Semen
Semen yang diperiksa dibawa untuk analisis laboratorium maksimal 2 jam setelah dikeluarkan. Evaluasi sperma berupa volume, konsentrasi, pergerakan, dan bentuk sperma. Kriteria WHO untuk evaluasi sperma normal adalah: 3,7,8
a. Konsentrasi > 20 x 106 / ml
b. Motilitas > 40% motil progresif
c. Morfologi > 50% bentuk normal
d. Viabilitas > 60% hidup
e. Aglutinasi tidak ada
f. Sel-sel selain sperma tidak ada atau sedikit sekali
g. Uji fruktosa yang positif. Fruktosa berasal dari vesikula seminalis, yang menunjukkan adanya rangsangan androgen.
Sedangkan parameter WHO untuk analisis cairan semen normal setelah 3-5 hari tidak melalukan koitus adalah: 4
a. Volume : 1,5 – 5,0 ml
b. pH : 7,3 – 7,7
c. Jumlah sperma : > 20 juta/ml
d. Sperma total : > 40 juta/ejakulasi
5. Motalitas : > 50%
6. Morfologi normal : >14%
2. Deteksi ovulasi
Pemeriksaan deteksi ovulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti:
a. Anamnesis siklus menstruasi
b. Pemeriksaan suhu badan basal (meningkat 0,6 - 1oC setelah ovulasi)
c. Uji benang lendir serviks dan uji pakis
Sesaat sebelum ovulasi, lendir serviks encer, daya membenang lebih panjang, pembentukan gambaran daun pakis.
d. Biopsi endometrium
Dilakukan beberapa hari menjelang haid. Endometrium fase sekresi disebut siklus ovulatoar, dan eEndometrium fase proliferasi akan memberi gambaran hiperplasia dan disebut siklus anovulatoar.
e. Hormonal
Hormon yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan folikel adalah:
* FSH serum : 10 - 60 mIU/ml
* LH serum : 15 - 60 mIU/ml
* Estradiol : 200 - 600 pg/ml
* Progesteron : 5 - 20 mg/ml
* Prolaktin : 2 - 20 mg/ml
f. USG transvaginal
Diilakukan secara serial, dimana saat ovulasi akan didapatkan ukuran diameter folikel dominan sekitar 18 - 24 mm.
3. Uji paska sanggama (UPS)
Syaratnya adalah: Pemeriksaan lendir serviks dilakukan 6 - 10 jam paska sanggama dan waktu sanggama adalah sekitar saat ovulasi. Uji ini untuk menilai reseptifitas dan kemampuan sperma untuk hidup pada lendir serviks. Penilaian UPS adalah baik jika terdapat > 10 sperma / Lapang Pandang, dan jelek jika terdapat faktor immunologi antibodi antisperma (ASA).
4. Ultrasonografi (USG)
Dilakukan untuk menilai bentuk, ukuran, dan kelainan pada uterus dan adneksa (ovarium dan tuba).
5. Histerosalpingografi (HSG)
Untuk menilai:
Faktor tuba : adanya lumen, mukosa, oklusi, perlengketan
Faktor uterus : adanya kelainan kongenital (Hipoplasia, septum, bikornus, Duplex), mioma, polip, adhesi intrauterin (sindroma asherman)
Tes HSG dilakukan pada fase proliferasi : 3 hari setelah haid bersih dan sebelum perkiraan ovulasi.
6. Laparoskopi
Untuk mendapatkan gambaran visualisasi genitalia interna secara menyeluruh dan menilai faktor peritoneum/endometriosis, perlengketan genitalia interna, keadaan tuba (patensi, dinding, fimbria), dan uterus (mioma). Keterbatasan pemeriksaan ini adalah tidak bisa menilai kelainan kavum uteri dan lumen tuba, serta bersifat invasif dan operatif.
Indikasi untuk dilakukannya laparoskopi diagnostik adalah: 4
1. Apabila selama 1 tahun pengobatan belum juga terjadi kehamilan
2. Kalau siklus haid tidak teratur, atau suhu basal badan monofasik
3. Apabila isteri pasangan infertil berusia 28 tahun lebih atau mengalami infertilitas selama 3 tahun lebih
4. Terdapat riwayat laparotomi sebelumnya
5. Kalau pernah dilakukan histerosalpingografi dengan media kontras larut minyak
6. Terdapat riwayat appendisitis
7. Uji pertubasi berkali-kali abnormal
8. Jika dicurigai endometriosis
9. Jika akan dilakukan inseminasi buatan
H. TATALAKSANA
Penatalaksanaan infertilitas harus dilakukan kepada pasangan suami isteri sebagai satu kesatuan. Secara umum, penanganan dilakukan dengan cara medikamentosa, tindakan operasi rekonstruktif, dan rekayasa teknologi reproduksi.4
H.1. Cara medikamentosa
Dilakukan dengan pemberian obat stimulasi ovarium (induksi ovulasi), meliputi:
a. Klomifen sitrat
- Meningkatkan pelepasan gonadotropin FSH & LH
- Diberikan pada hari ke-5 siklus haid
- Dosis 1 x 50mg selama 5 hari, bisa ditingkatkan sampai 150 - 200 mg/hari
- Ovulasi diharapkan terjadi 5 - 10 hari setelah obat terakhir
- Koitus dilakukan 3 x seminggu atau berdasarkan USG transvaginal
- Jika 3 - 4 siklus obat tidak ovulasi, dapat diberikan hCG 5000 - 10.000 IU
Beberapa kemungkinan pengobatan dengan klomifen sitrat adalah:
(1) terjadi ovulasi,
(2) hanya terjadi pematangan folikel, mungkin dengan ovulasi yang terjadi lambat atau dengan defek korpus luteum,
(3) terjadi pematangan folikel tanpa ovulasi, dan
(4) tidak terjadi reaksi sama sekali.
Pada kemungkinan (1), pengobatan diulang dengan dosis yang sama. Pada kemungkinan (2), pengobatan di ulang dengan dosis yang sama. Kalau hasilnya tetap sama, dosis selanjutnya ditingkatkan. Pada kemungkinan (3) pengobatan di ulangi dengan dosis yang sama ditambah dengan HCG (3000 – 5000 UI) selama 5-7 hari setelah dosis klomifen terakhir dimakan. Pada kemungkinan (4), dosis ditingkatkan setiap siklus, dimulai dengan 100mg per hari selama 5 hari dan berakhir dengan dosis maksimal 200mg perhari selama lima hari. 7
b. Epimestrol
- Memicu pelepasan FSH dan LH
- Diberikan pada hari ke 5 - 14 siklus haid
- Dosis 5 - 10 mg/hari
c. Bromokriptin
- Menghambat sintesis & sekresi prolaktin
- Indikasi : Kadar prolaktin tinggi (> 20 mg/ml) dan Galaktore
- Dosis diberikan sesuai kadar prolaktin : Untuk Oligomenore 1,25 mg/hari, dan untuk gangguan haid berat 2 x 2,5 mg/hari.
d. Gonadotropin
- HMG (Human Menopausal Gonadotropine), berupa FSH & LH : 75 IU atau 150 IU, untuk memicu pertumbuhan folikel. Dosis awal 75 - 150 IU/hari selama 5 hari dinilai pada hari ke 5 siklus haid.
- hCG (human Chorionic Gonadotropin), dosis 5000 IU atau 10.000 IU, berfungsi untuk memicu ovulasi (diameter folikel 17 - 18 mm dgn USG transvaginal). Obat ini mahal dan sangat berisiko, sehingga perlu persyaratan khusus dan hanya diberikan pada rekayasa teknologi reproduksi.
e. Untuk pria, diterapi dengan FSH dan Testosteron

H.2. Cara Operasi Rekonstruksi
Penangan infertilitas dengan cara operasi dilakukan untuk mengoreksi kelainan-kelainan misalnya pada uterus dan tuba. Beberapa jenis operasi yang dapat dilakukan adalah tubaplasti, miomektomi, kistektomi, dan salfingolisis.
Sumbatan pada tuba merupakan salah satu masalah yang cukup sering ditemui. Riwayat infeksi tuba berulang dapat diberkan antibiotik yang adekuat dalam jangka waktu yang lebih lama. Pemberian antibiotik secukupnya selang satu bulan selama 6 sampai 12 bulan lebih memungkinkan untuk meningkatkan patensi tuba. Terkadang penyembuhan dari peradangan dituba tidak sempurna sehingga memerlukan peran pembedahan. Pembedahan dilakukan setelah adanya konsultasi diantara kedua pasangan karena kemungkinan gagal dan ketidakberhasilan total juga cukup tinggi. Operasi pada tuba sagat mempertimbangkan gerakan otot dan silia tuba, sekresi tuba dan daya tangkap ovum yang efektif. Saat yang paling efektif untuk dilakukannya pembedahan pada tuba adaah fase proliferatif karena fase ini terjadi proses regenerasi.
Mioma uteri dapat menjadi salah satu faktor tidak terjadinya kehamilan pada seorang wanita. Mioma uteri dapat menghambat disebabkan oleh adanya tekanan pada tuba, distorsi atau elongasi pada tuba, iritasi miometrium, atau torsi oleh mioma yang bertangkai. Operasi miomektomi merupakan suatu modalitas terapi pada kedaan mioma uteri. Diperlukan waktu sekitar 18 bulan seorang wanita pasca miomektomi untuk dapat hamil.
Sedangkan tindakan operatif pada pria misalnya berupa rekanalisasi dan operasi varikokel.

H.3. Cara Rekayasa Teknologi Reproduksi/ Assisted Reproductive Technology (ART)
Ini merupakan prosedur yang digunakan untuk memperoleh kehamilan dengan manipulasi terhadap ovum dan sperma manusia. Jenis-jenis prosedur ART sebagai terapi infertilitas secara invasif, yaitu: 12
1. Superovulation and intrauterine insemination (SO-IUI)
Metode ini dapat dilakukan pada laki-laki dengan hipospadia severe, ejakulasi retrograde, impotensi neurologis, disfungsi seksual, oligospermia, astenospermia, volume ejakulasi rendah, antibodi antisperma, dan faktor servikal. Caranya yaitu menggunakan hormon untuk mempercepat ovulasi secara multipel dan menempatkan sperma di uterus pada waktu ovulasi.
2. In vitro fertilization (IVF)
Menggunakan hormon untuk mempercepat ovulasi, ekstraksi ovum, fertilisasi sperma-ovum di laboratorium, kemudian memindahkan embrio hasil fertilisasi ke uterus wanita melalui servik.
3. Gamete intrafallopian transfer (GIFT)
Menggunakan laporoskopi untuk meletakkan sperma dan ovum yang belum difertilisasi ke dalam tuba fallopi melalui insisi kecil di abdomen. Prosedur ini digunakan sebesar 5%.
4. Zygote intrafallopian transfer (ZIFT)
Fertilisasi ovum wanita di laboratorium kemudian menggunakan laporoskopi untuk memindahkan zigot hasil fertilisasi ke tuba fallopi. Prosedur ini hanya dilakukan pada sekitar 2% kasus.
5. Intracytoplasmic Sperm Injection (ICSI)
Injeksi secara langsung spermatozoa tunggal ke dalam sitoplasma oosit manusia. Angka keberhasilan terjadinya kehamilan adalah 20 %.
Selain ART, metode lain yang digunakan untuk mengatasi infertilitas adalah Natural procreative technology (NaProTechnology, NPT). NPT merupakan suatu metode pendekatan terintegrasi dan sistematik yang cocok untuk terapi primer infertilitas. Pendekatan metode ini berdasarkan siklus menstruasi dan masa ovulasi. Metode NPT efektif untuk terapi infertilitas dan dapat dilakukan oleh dokter umum. Program terapi invasif minimal dengan resiko kehamilan multipel juga minimal. Tetapi metode ini bukan pilihan untuk pasangan dengan azoospermia, kegagalan ovum, atau oklusi bilateral tuba fallopi. 13

BAB III
PENUTUP

Telah disampaikan suatu tinjauan pustaka mengenai infertilitas. Sebagai kesimpulan, infertilitas merupakan masalah yang kompleks dengan kemungkinan penyebab yang sangat luas. Diperlukan tindakan yang terencana dan tepat dalam mencari penyebab dan menentukan pilihan penatalaksanaan yang sesuai. Untuk itu, dalam penatalaksanaan infertilitas yang paripurna memerlukan kerjasama yang baik antara dokter spesialis kandungan dan pasangan suami-istri sebagai satu kesatuan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Garcia JE, Nelson LM. Infertility. (online) Diambil dari www.emedicine.com/topic3535-infertility.htm. Diupdate 23 Jan 2006.
2. Eisenberg E. Infertility, Frequently Asked Questions. U.S. Department of Health and Human Services, Office on Women’s Health. (online) Diambil dari http://www.womenshealth.gov/faq/infertility.pdf. Diupdate 1 Juli 2009.
3. Wikipedia. Pregnancy. (online) Diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki/ pregnancy.htm. Diupdate 4 April 2009.
4. Darmaputra I. Penanganan Infertilitas. Slide kuliah Obstetri Ginekologi FK-UNLAM RSUD Ulin Banjarmasin.
5. Seshagiri PB. Molecular insight into the causes of male infertility. (Online) Diambil dari www.freemedicalsjournals.com Diupdate 25 Maret 2009.
6. Perpustakaan Digital FK-UNSRI. Infertilitas. (online) Diambil dari http://digilib. unsri.ac.id/download/infertilitas.pdf.
7. Ingerslev M. Clinical findings in infertile women with circulating antibodies against spermatozoa. Fertil Steril 1980; 33: 514-520
8. Sumapraja S. Infertilitas. Dalam : Prawiroharjo S. Ilmu kandungan. Cetakan kelima. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prwirohardjo, 1991: 426-463.
9. Sumapraja S, Moeloek FA. Manual infertilitas. Jakarta : Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 1985 : 1-44. Dalam: Perpustakaan Digital FK-UNSRI. Infertilitas. (online) Diambil dari http://digilib. unsri.ac.id/download/infertilitas.pdf.
10. Neiderberger C, Joyce GF, Wise M, et al . Male infertility. Online: (www.freemedicalsjournals.com diakses tanggal 25 Maret 2009)
11. Andrologi Australia. Male Infertility. Online: (www.freemedicalsjournals.com diakses tanggal 25 Maret 2009)
12. Malik Abida, Hakim JS Shukla, et al. Chlamydia trachomatis infection & female infertility. Online: (www.indian jmedres.com diakses tanggal 25 Maret 2009)
13. Buku Saku Kebidanan
14. Anonimous. Infertility option. Online: (www.freemedicalsjournals.com diakses tanggal 25 Maret 2009)
15. Stanford JB, Parnell TA, Boyle PC. Outcomes Featment if infertility with natura procreative technology in an irisk general practice. Online: (www.freemedicalsjournals.com diakses tanggal 25 Maret 2009)

referat by: revanggi

Memarahi Tindakan Anak ataukah Memarahi Orangnya?

Jarak Itu Adanya di Dalam
Kalau melihat ke teorinya, jika kita ingin mengajarkan anak tentang sesuatu yang baik, maka kita tidak bisa hanya mengajarkan tindakannya dengan menyuruh si anak untuk menghafalkan tip-tip singkat. Yang perlu diajari bukan tindakannya, melainkan orangnya. Kalau orang yang kita ajari, maka tindakan itu akan ia ciptakan sendiri berdasarkan keadaan tertentu yang ia alami. Mengajari orang inilah yang disebut education (pendidikan). Pendidikan, karena itu, mahal nilainya.
Tetapi, kata berbagai teori juga, jika kita menghukum anak (termasuk memarahi), maka janganlah yang dihukum itu orangnya. Cukuplah kita menghukum tindakannya saja. Kenapa dan untuk apa kita hanya perlu mengukum tindakannya saja, ini semua sudah sering dibahas di sini dan di lain tempat. Yang akan kita bahas di sini adalah, bagaimana membedakan antara memarahi orangnya atau memarahi tindakannya.
Orangtua A tidak sabar melihat anaknya keasyikan nonton program kesayangannya di televisi. Tanpa bertanya, televisi itu langsung dimatikan. Kepada si anak, orangtua ini mengatakan: "Hei, ini jam berapa? Bukankah kamu ada PR? Kenapa kamu nonton aja? Ayo belajar!" Karena si anak tidak bisa terima diperlakukan seperti itu, anak langsung ke luar menuju kamar lain dengan membanting pintu.
Melihat perilaku anak yang seperti itu, si orangtua makin terbakar, panas, panas, dan panas. Terjadilah percekcokan mulut. Si anak ngambek tidak mau belajar. Orangtua yang kesal akhirnya ngomel merembet kemana-mana hingga sampai pada ucapan, misalnya begini: dasar anak nakal, bandel, suka ngelawan orangtua, anak bodoh, dan lain-lain. Meskipun televisi sudah dimatikan, tetapi belajar urung dikerjakan.
Masalah yang sama dialami oleh orangtua B. Sama-sama jengkel juga melihat si anak yang sudah mulai maniak menonton acara televisi pada jam-jam yang mestinya dia harus belajar. Bedanya, orangtua B ini mengajarkan tawaran dulu. "Kapan mau belajar?" Karena si anak sedang keasyikan, acuh saja dia. Si ayah masih menawarkan kesepakatan lagi. "Mana yang akan dipilih: TV ini dimatikan ayah atau belajar dulu, baru nanti nonton lagi."
Karena merasa risih keasyikannya diganggu ayahnya, si anak keluar membanting pintu juga. Sambil kesal si anak mengatakan: "Ya udah matiin aja tivinya. Emang gue pikiran." Si ayah menghindari konfrontasi mulut secara langsung. Setelah mematikan televisi, si ayah kembali ke aktivitasnya dan memanggil ibunya agar mendampingi atau membujuk anak agar belajar. Si Ibu yang saat itu posisinya netral lebih mudah mengarahkan anak. Tindakan belajar akhirnya tercapai dengan mematikan televisi dan berkat bantuan ibu.
Dari dua contoh di atas, apa yang membedakan antara orangtua yang marah ke orangnya dan yang marah ke tindakannya? Memang, dalam praktek nyatanya, yang terjadi pasti tidak sesimpel seperti itu. Cuma, pasti ada benang merah yang akhirnya membedakan antara orangtua yang marahnya merempet kemana-mana sehingga targetnya tidak tercapai dan orangtua yang focused on action and target, dengan berbabagai cara yang mungkin.
Secara teori, memang tidak sulit untuk membedakan antara marah pada orangnya dan marah pada tindakannya. Tetapi dalam prakteknya, mungkin hanya sedikit orang yang berani mengatakan bahwa itu bisa dilakukan setelah latihan yang tidak sebentar. Kenapa tidak mudah? Alasannya adalah, pertama, perbedaan orang dan tindakan itu tidak kelihatan fisiknya, secara as it is. Kalau kita melihat si anak tidak mau belajar, maka secara fisiknya yang kita lihat adalah orangnya dan tindakannya menyatu.
Kedua, perbedaan itu adannya bukan pada apa yang kita lihat di luar diri kita, melainkan pada apa yang kita ciptakan di dalam diri kita. Jika saat itu kita sedang 'terbawa emosi', kemungkinan besar kita lupa menciptakan perbedaan itu. Faktor lupa itulah yang memberikan kontribusi besar pada munculnya temuan bahwa ternyata kekerasaan pada anak itu sebagian besarnya dilakukan oleh orangtuanya sendiri.
"Kemarahan yang positif adalah kemarahan yang kita ketahui (well-controlled) sebabnya, sasaranya, tujuannya, kapan mulainya dan kapan berhentinya."

Beberapa Alat Bantu
Memang tidak ada orangtua yang sempurna atau tak pernah tersandung ketika menjalankan fungsi-fungsi parenting. Karena itu, sumber yang paling bagus untuk memperbaiki kemampuan parenting kita adalah memperbaiki kesalahan atau belajar dari kesalahan orang lain. Di bawah ini ada beberapa alat bantu (tool) yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki itu bagi yang belum terlatih membedakan orang dan tindakan:
Pertama, memiliki target riil dan spesifik. Supaya target itu dipahami bersama, memang harus ada kesepakatan dulu atau disiplin tertentu yang sudah diterapkan. Misalnya saja disiplin waktu belajar. Dengan target berarti kita dan dia tahu kenapa kita marah, apa sasarannya, dan kapan berhentiya. Begitu target sudah dijalankan berarti kita sudah harus berhenti mengeluarkan berbagai ungkapan dan penyikapan yang bernada marah.
Target akan menghindarkan kita dari marah yang kebablasan atau marah yang sasarannya terlalu umum sehingga anak sulit memahami apa yang harus dilakukan. Tentu saja, namanya juga anak, pasti ada pelanggaran atau pengabaian. Tetapi, dengan target riil atau disiplin akan memudahkan kita dan dia untuk mengetahui apa yang segera harus dilakukan.
Kedua, mempersiapkan skenario mental. Kenapa skenario mental ini penting? Ini terkait dengan komunikasi kita. Komunikasi di sini yang saya maksudkan adalah isi pesan dan bagaimana pesan itu disampaikan. Isi pesan yang baik apabila disampaikan dengan cara, gaya, dan nada yang tidak mendukung, bisa-bisa isinya gagal. Karena itu butuh dirancang dalam skenario mental. Ini agar kita bisa menyampaikan pesan secara asertif, konstruktif, dan clear: punya wibawa, bisa diterima, dan mengarah kepada tindakan.
Kalau kita sudah siap dengan skenario tentang apa yang akan kita ucapkan, alternatif yang akan kita ambil jika gagal, anggota keluarga yang akan kita ajak bekerjasama, dan lain-lain, maka kita akan terbantu untuk menyadari apa saja yang harus kita hindari dan apa saja yang perlu kita lakukan. Tapi kalau skenario ini tidak kita siapkan, mungkin kita akan mudah terbawa emosi ketika melihat reaksi anak yang tidak kita harapkan.
Ketiga, lebih baik diam dan memikirkan alternatif lain jika cara yang kita tempuh menemui jalan buntu atau penolakan atau mendapatkan penyerangan kata-kata. Diam terkadang punya wibawa yang lebih besar ketimbang ngomel. Minimalnya, dengan diam berarti kita telah menghindarkan diri dari praktek pemberian label negatif pada diri anak. Kalau belum ketemu, kita bisa minta bantu ayahnya, ibunya, neneknya atau siapa saja yang di rumah untuk menyampaikan maksud kita atau membujuknya. Yang penting, target atau tujuannya tercapai.
Keempat, segera memunculkan emosi kedua yang positif guna menghapus emosi pertama yang negatif. Atau minimalnya kita tetap bisa menjaga jarak antara kita dengan kemarahan kita. Menjaga jarak artinya marahnya kita itu bukan marah emosional, melainkan kemarahan yang hanya kita gunakan sebagai strategi saja. Yang penting si anak paham bahwa kita tidak sedang bercanda atau tidak serius menyuruhnya belajar.
Kalau kita marah melihat nilainya jeblok lalu kemarahan itu kita lanjutkan pada kejengkelan, kekecewaan, dan seterusnya dan seterusnya, biasanya ini malah memperburuk hubungan dan berpotensi menyerang ke orangnya. Akan lebih positif dan produktif kalau kita menghentikannya dengan memunculkan emosi kedua yang positif. Misalnya saja kita berniat akan lebih care lagi terhadap perkembangannya, lebih "hadir" lagi, lebih dekat lagi, lebih commit lagi, dan lain-lain.
Kelima, tetap memiliki harapan yang positif atas kemajuan anak. Apa ada orangtua yang tidak memiliki harapan positif? Kalau harapan dalam arti yang "kulit", pasti tidak ada. Tetapi, harapan yang pengertiannya lebih ke "esensi", belum tentu semua dan mungkin hanya sedikit. Seperti apa harapan yang pengertiannya agak ke esensi itu? Harapan di sini pengertiannya adalah, kita tidak berhenti menyuarakan, mengajak, menemukan berbagai cara untuk mengembangkan / memperbaiki si anak agar anak menjadi orang positif.
Jadi, harapan di sini bukanlah harapan yang sebatas harapan, melainkan tindakan / program nyata yang dilandasi harapan itu. Harapan yang terakhir inilah yang terbukti sanggup membimbing para orangtua yang menjadi pahlawan pembebasan putra-putri kesayangannya dari jeratan narkoba. Di dunia ini pasti tidak ada orangtua yang secara mental siap menghadapi musibah semacam itu. Yang membedakan bukan siap atau tidak siap (karena pasti tidak ada yang siap). Yang membedakan adalah level harapannya.
"Harapan positif hanya akan berguna bagi orang yang sedang menjalankan agenda positif."

Kenapa Perlu Membedakan?
Kenapa kita perlu membedakan antara tindakan dan orangnya? Sekedar sebagai tambahan atau pengulangan dari yang sudah kita ketahui, sedikitnya ada tiga hal yang terkait di sini. Pertama, ketika kita mengarahkan kemarahan itu kepada tindakannya yang spesifik, berarti patokannya jelas dan ini akan relatif lebih bisa menutup pintu pembelaan-diri, penyangkalan, atau pembatahan dari si anak.
Tetapi kalau yang kita serang itu orangnya, misalnya memberikan label dengan sifat-sifat tertentu, lebih-lebih itu umum pengertiannya, atau mengomel karena reaksi sesaat, ya akhirnya kembali ke hukum dasar yang berlaku di dunia ini: "Semua orang punya kepentingan untuk membela dirinya" Sudah banyak bukti bahwa kita ini sering kalah bermain silat lidah dengan anak kita karena kelihaian mereka "ngeles". Orangtua yang tidak siap dengan kekalahannya akan gampang menggunakan senjata kemarahan yang lebih besar.
Lalu yang kedua, dengan mengarahkan kemarahan hanya pada tindakannya akan membuat kita lebih selamat dari upaya penanaman konsep-diri negatif (negative self-concept). Tentang hal ini sudah sering kita bahas di sini. Untuk anak-anak, self-concept yang terbentuk di dirinya lebih banyak disumbang oleh orangtua / luar (Cooley: 1991). Sayangnya, untuk sumbangan satu self-concept yang positif, orangtua telah mendahuluinya degan menyumbangan enam self-concept yang negatif (Jack Canfield: 1982). Padahal, self-concept ini terkait dengan kepercayaan-diri, motivasi-diri, dan harga-diri (Harter: 1991)
Dan yang ketiga adalah benteng antisipasi dari penyimpangan pola asuh. Kalau melihat teori idealnya, baik itu ke agama atau ke psikologi, pola asuh yang ideal adalah pola asuh yang tidak ekstrim kerasnya atau ekstrim lunaknya. Menurut teorinya Adler (Allpsych & Heffner, 2003), pola asuh yang mendatangkan problem adalah antara terlalu pampering (terlalu protektif) atau terlalu neglecting (kurang peduli). Begitu juga dengan berbagai konsep parenting lain.
Cuma memang kita sendiri sudah tahu bahwa acuan ideal itu kan tidak mungkin bisa kita terapkan secara sempurna di lapangan. Dengan berkonsentrasi pada tindakan, meskipun kita tidak bisa menerapkan secara sempurna, tetapi akan terjadi penyempurnaan terus-menerus. Ini karena tindakan itu dinamik. Mudahan-mudahan kita termasuk orangtua yang bisa mendampingi anak-anak kita dalam mengembangkan dirinya dengan kualitas yang lebih bagus dari kita dulu.
Semoga bermanfaat.























































cara menghukum anak nakalmenghukum anak yang nakalcara menghukum anak yang nakal,  menghukum anak nakalcara menghukum anak nakalcara menghukum anak nakalsolusi anak nakalmemarahi anak di depan umummemarahi anak 2tahunmemarahi anak dalam islammemarahi anak yatimmemarahi anak dengankata-katamemarahi anak umur 2 tahunmemarahi anak umur 3 tahunmemarahianak balitamemarahi anak menurut islammemarahi anak usia 2 tahunmemarahianakmemarahi anak saat belajarmemarahi anak autisakibat memarahi anakakibat memarahi anak balitaakibat memarahi anak berlebihanadab memarahi anakayah memarahi anakakibat memarahi anak yatimakibat memarahi anak kecilcara memarahi anak anjingmemarahi anak berlebihanmemarahi anak bayimemarahianak buahefek memarahi anak balitacara memarahi anak balitadampak memarahianak bayidampak memarahi anak bayimemarahi anak dengan bijakmemarahi anakyang benarcara memarahi anakcara memarahi anak yang benarcara memarahianak yang benarcara memarahi anak dalam islamcara memarahi anak denganbaikcara memarahi dengan benarcara memarahi anak usia 2 tahuncara memarahianak yg baikmemarahi anak dengan memukulmemarahi anak dengan suara kerashukummemarahi anak dalam islamhukum memarahi anak dlm islam,  efek memarahi anakefek memarahi anak 2tahunefek memarahi anak keciletika memarahi anakibu memarahi anaklarangan memarahi anak dalam islamcara memarahi anak secara islami, jangan memarahianakjangan memarahi anak kecillarangan memarahi anakmemarahi anak tanpamemukul


Hati-hati Melabel Anak Hiperaktif

Kenyataan atau perasaan orangtua?
Banyak kaum ibu yang bertanya apakah anak saya termasuk hiperaktif atau tidak. Bukti yang dijadikan rujukan biasanya adalah perilaku anak yang dinilai sangat aktif, sulit diam, atau baru diajari membaca atau menulis sebentar saja konsentrasinya sudah buyar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah:
* Sangat aktif menurut siapa?
* Apa ciri-ciri sangat aktif itu?
* Tidak bisa diam menurut siapa?
* Apa ukurannya?
* Berapa menit ukuran sebentar atau lama itu bagi anak-anak?


Jawabannya mungkin tak ada yang seragam. Itu belum lagi kalau ditambah dengan pertanyaan apakah penilaian itu didasarkan pada fakta-fakta atau karena pengaruh kepribadian dan keadaan subyektif orangtua. Misalnya, orangtua yang hidupnya metodik-sistematik bisa saja punya standar penilaian yang berbeda dengan orangtua yang gaya hidupnya lebih ke fleksibel, tidak kagetan, atau serba spontanitas.


Kesulitan lainnya adalah adanya hak anak untuk bebas mengembangkan dirinya melalui bermain. Setiap anak punya hak untuk bermain dan berhak merasa bebas untuk mengekplorasi dan mengembangkan nalurinya melalui bermain itu. Catatan para ilmuwan mengungkap, bermain tidak saja akan berkontribusi memperbaiki kemampuan akademik, tetapi juga akan memantapkan pondasi mentalnya seiring dengan pemahaman dia terhadap hukum-hukum yang bekerja di dunia ini.


Dengan bermain, si anak akan belajar merasakan hasil nyata dari hukum sebab-akibat, hukum usaha dan hasil, hukum menabur dan menuai, dan seterusnya. Seperti kata para ahli, dari bermain mereka akan belajar mengambil keputusan hidup secara mandiri. Ini tentu bagus karena di luar waktu bermain, keputusan anak terhadap dirinya sudah diserobot oleh orangtua, keluarga, guru, atau orang dewasa di sekitarnya.


Intinya, belum tentu anak yang kita katakan hiperaktif itu hiperaktif. Bisa jadi itu penilaian kita yang terpengaruhi oleh suasana batin atau harapan yang terlalu perfeksionis. Atau juga bisa jadi itu adalah energi keingintahuan (curiosity) yang besar dari anak. Jika kita termasuk orang yang memahami hiperaktif itu jelek, maka pemahaman yang didasarkan subyektivitas pribadi itu akan mempengaruhi pendekatan dan perlakuan.


Membangun perspektif yang fair

Dari sejak lahir ke dunia, manusia telah menjadi makhluk yang tidak bisa ditafsirkan secara utuh. Hingga ada yang mengatakan, jiwanya manusia itu lebih bersifat kimiawi yang nisbi. Inilah yang melatarbelakangi munculnya berbagai teori tentang manusia. Umumnya, teori itu didasarkan pada penafsiran satu angle saja atau sebagian angle saja, seperti orang memotret objek.


Ada yang mengatakan, anak-anak itu adalah makhluk yang didominasi dorongan Id yang lebih condong ke negatif karena keputusannya lebih didasarkan pada pertimbangan suka atau tidak suka, bukan baik atau benar. Ada yang mengatakan sebaliknya. Anak-anak adalah makhluk yang ditaburi berbagai potensi positif karena jiwanya belum banyak terkotori dosa. Anak lebih empatik, lebih kreatif, lebih berpikir positif, dan seterusnya.


Apa kaitannya dengan bahasan kita ini? Terkait dengan perilaku anak hiperaktif itu jangan sampai kita gunakan untuk membangun penilaian negatif, apalagi bersifat judgmental (menghakimi). Kenapa? Ini karena bagaimana kita menilai anak akan mempengaruhi bagaimana kita memperlakukannya. Misalnya kita memastikan kesimpulan anak kita hiperaktif dan itu jelek seratus persen. Karena anggapan kita jelek, maka perlakuan yang kita munculkan secara tanpa sadar adalah bagaimana perilaku yang jelek itu dilawan atau dimarahi. Atau, ada pula orang tua yang saking cinta nya pada anak, memaksakan anak untuk di terapi baik secara medis maupun non-medis untuk menanggulangi hiperaktivitas, meski pun ada pendapat yang bertentangan dengan keyakinan orangtua. Mengapa demikian ? tentu bukan karena niat buruk, tapi kita manusia ini punya tendensi takut dipersalahkan, dianggap bukan orang tua yang baik, tidak bertanggung jawab, dsb. Sehingga sebelum itu terjadi, orangtua melakukan tindakan antisipatif yang sebenarnya bersumber dari ego-defense.


Kembali ke pembahasan semula, secara teori, anak yang sering kita lawan dan kita marahi karena alasan-alasan subyektif yang kita bangun sendiri, akan berpotensi membuat anak itu menjadi apa yang disebut "Rejected Child" (Merasa tertolak / Ditolak). Menurut bukunya Judith Rich Harris, dkk (The Child: 1991), anak yang MERASA ditolak atau ditolak oleh lingkungannya itu akan cenderung lebih nakal, lebih suka menentang, dan kurang bisa mendengarkan nasehat dengan baik.


Baiknya bagaimana? Apa harus kita anggap baik-baik saja walaupun tidak sesuai kenyataan? Tidak juga. Yang terpenting di sini adalah jangan sampai kita kehilangan perspektif yang fair dan obyektif terhadap anak. Maksudnya, selain perlu melihat sisi-sisi Id-nya yang negatif, perlu juga melihat apa yang dikatakan Charles L. Whitfield (1989) disebut The Real-self-nya. Real-self semua manusia adalah positif.


Misalnya kita melihat perilaku anak yang menurut kita luar biasa aktifnya itu sebagai wujud dari dorongan dia untuk ingin tahu dan ingin merasakan pengalaman belajar, ingin mengasah kreativitasnya, ingin menikmati kebebasan dia dalam mengembangkan diri, dan seterusnya. Jika ini kita bangun juga, maka secara tidak sadar kita akan terdikte untuk memfasilitasi proses pembelajarannya melalui optimalisasi pengasuhan.


Kalau melihat teori kreativitas, orang dewasa yang kreatif itu tidak langsung bisa mencapai tingkat kreativitas yang bagus, dalam arti bisa langsung memunculkan ide baru, kreasi baru, cara baru dan punya nilai plus. Prosesnya bisa jadi harus menempuh cara-cara yang dipandang orang lain sebagai aksi pengrusakan, penentangan, pembongkar-pasangan, bahkan ada yang dinilai "kegilaan" seperti yang dialami Edison. Bisa kita bayangkan, kalau orang dewasa saja begitu, lebih-lebih anak-anak.


Pengertian Hiperaktif

Mengacu ke beberapa rujukan dalam kajian psikologi, hiperaktif itu pengertiannya adalah anak yang mudah terkejutkan oleh sesuatu, baik di dalam atau di luar dirinya, dan menampilkan reaksi keaktifan yang melebih kelaziman, entah dari frekuensinya dan skalanya. Sebagian tanda yang bisa diamati antara lain:

* Tidak bisa diam, tangan dan kakinya usil terus ketika disuruh duduk tenang
* Berlari-lari kesana-kemari, melompat, atau pindah-pindah tempat ketika diminta tenang
* Ketika sedang ditanya sudah menjawab duluan, atau memotongnya dan menentangnya sebelum didengarkan dengan baik
* Sulit menunggu giliran atau antrean atau tak sabaran menunggu


Kalau kita amati tanda-tanda di atas, apa ada anak kecil yang bebas seratus persen atau sebagiannya? Hampir pasti tidak ada. Yang namanya anak itu pasti menampilkan sifat-sifat yang pantas untuk disebut tidak bisa diam, tidak sabaran, atau kurang bisa mencerna pertanyaan dan ucapan orangtuanya. Karena itu, saran beberapa ahli, yang berhak mendefinisikan ke-hiperaktif-an anak adalah profesional di bidangnya melalui serangkaian tes. Dan itu pun belum bisa dijadikan patokan seratus persen. Ini karena, beda rujukan, beda pendekatan, dan beda pandangan hidup seorang profesional sangat mungkin akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.


Secara umum, anak yang akhirnya dinyatakan hiperaktif itu biasanya dikaitkan dengan apa yang disebut ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), atau bisa dipahami sebagai kelainan. Ciri-ciri yang paling dominan adalah: a) tidak bisa berkonsentrasi secara konsisten menurut ukuran yang normal, b) terlalu reaktif sehingga perilakunya impulsif-reaktif dan c) terus menerus bergerak (Sarah Michelle Moore, The Ohio State University: 2007).


Pertanyaannya, apa yang menyebabkan anak mengalami hiperaktivitas di atas? Sebabnya pun tidak tunggal. Ada sebab yang bisa dikategorikan bersifat permukaan (surface) dan ada yang bersifat inti (mendalam). Yang tergolong permukaan itu misalnya situasi baru, teman baru, atau perubahan mood sesaat. Sedangkan yang tergolong sebab inti ini tidak tunggal juga.


Salah satu yang oleh WHO (Improving Mother-child Interacation to Promote Better Psychosocial Development in Children: 1993) perlu kita perhatikan adalah kualitas interaksi orangtua, khususnya ibu. Kualitas ini tidak selalu ditentukan oleh kuantitas interaksi. Kualitas interaksi diindikatori oleh sejauhmana kehangatan interaksi itu muncul. Walaupun sering berinteraksi, tapi cuek-cuek saja atau sering bertentangan karena kurang bisa mengontrol diri, mungkin kehangatannya bisa mengalami defisit.

Menurut hasil studi mereka, anak yang kehangatan kasih sayangnya dengan ibu masih belum cukup, akan berpotensi melahirkan hal-hal di bawah ini:

* Kurang bisa menciptakan kebahagian dengan keadaan yang ada atau cenderung mudah stress dan depresi
* Apatis terhadap keadaan
* Cenderung mudah gelisah
* Hiperaktif
* Kurang bisa berkonsentrasi
* Terlalu sering merengek di luar kewajaran

Terlepas kita setuju atau tidak, yakin atau tidak, sikap yang paling tepat dalam membaca laporan di atas adalah menjadikan perilaku anak sebagai materi belajar bagi orangtua untuk membenahi diri, meneliti perilaku diri sendiri agar mampu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pengasuhan. Dengan begitu, kita harus mengubah diri kita lebih dulu sebelum mengubah diri anak-anak. Kita akan bersedia menjadi murid yang baik bagi anak-anak sebelum kita menjadi guru bagi mereka.


Pencegahan & Pembelajaran

Terlepas anak kita punya ciri-ciri yang pas dinyatakan hiperaktif atau tidak, tapi kalau keaktifannya sudah sangat berpotensi mendatangkan keburukan, kerugian, dan ancaman bahaya, memang kita perlu mengambil langkah-langkah penting untuk mengantisipasi dan memberi solusi perbaikan. Beberapa langkah antisipatif yang sangat penting dilakukan segera itu antara lain:

1. Menjauhkan dia dari benda-benda yang berbahaya, misalnya colokan listrik, alat dapur, atau lainnya
2. Mengatur tata letak perabot rumah tangga, seperti tata letak kursi, meja, dan lain-lain. Akan lebih aman kalau disimpan untuk sementara sehingga dia bebas bergerak tanpa ancaman bahaya
3. Memperpaiki desain rumah dengan melihat keadaan anak, misalnya tangga yang licin atau tajam
4. Aturlah cara dan waktu dalam membelikan permainan. Jangan sampai langsung dibelikan banyak dan sekaligus diberikan.
5. Konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi mengenai jenis makanan / minuman yang berpotensi menyebabkan perilaku hiperaktif


Tentu tidak cukup hanya dengan melakukan langkah-langkah antisipatif. Yang justru lebih penting adalah melatih dia untuk mengontrol dirinya melalui langkah-langkah edukatif. Ini antara lain:

1. Intensifkan pengawasan dan pendampingan lalu catat dan amatilah perilakunya, misalnya berapa menit dia sanggup berkonsentrasi, makanan yang dia konsumsi dan apa reaksinya, tontonan, dan lain-lain. Catatan ini penting untuk modal berkonsultasi dengan dokter atau tenaga profesional atau minimalnya untuk bahan perbandingan dengan anak-anak orang lain.
2. Latih dia untuk menjalani rutinitas tertentu melalui penegakan disiplin agar dia terfasilitasi untuk meningkatkan kemampuan kontrol dirinya, misalnya bangun pagi, mandi, waktu belajar, sikat gigi sebelum tidur, cuci tangan sebelum makan, merapikan dan menyiapkan sendiri perlengkapan sekolah, merapikan tempat tidur, merapikan mainan dan menyelesaikan PR.
3. Tingkatkan kehangatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, misalnya menjaga diri agar tak cepat mengeluarkan reaksi emosional, penyerangan, dan semisalnya. Kalau perlu, rutinkan dia untuk tidur bersama kita sampai ada tanda-tanda perbaikan
4. Catat perkembangannya melalui latihan riil, misalnya hari ini dia mampu berkonsentrasi 7 menit dalam belajar membaca atau berhitung. Minggu depan kita tingkatkan sampai 10 menit atau 12 menit. Kalau perlu, ini kita tunjukkan dan kita sepakati dengan dia untuk menunjukkan bahwa dia mampu dan bisa.
5. Gunakan figur orang lain, entah dari keluarga atau guru privat untuk memfasilitasi berbagai pembelajaran. Di mata anak, terkadang kita kurang berwibawa dibanding gurunya. Ini bisa kita jadikan jalan untuk melatih dia memperbaiki kemampuan kontrolnya.


Semoga bermanfaat

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer