kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Selasa, 29 September 2009

Pemeriksaan C-Reaktif Protein pada Sepsis

Sepsis merupakan keadaan yang serius tetapi jarang menular karena disebabkan oleh bakteri. Hal ini terjadi apabila bakteri (yang dapat berasal dari paru, usus, traktus urinarius) mengeluarkan toksin yang menyebabkan system imun tubuh melawan organ dan jaringan tubuh sendiri.(1)
Sepsis dapat menimbulkan kondisi yang menakutkan karena jika tidak teratasi dapat menimbulkan komplikasi yang serius yang dapat merusak ginjal, paru, otak dan pendengaran. Tetapi dengan mempelajari dan mengenali tanda-tanda sepsis maka kondisi buruk tersebut dapat teratasi dan anak dapat sembuh sempurna.(1)
Berbagai kelompok umur dapat mengalami sepsis, tetapi prevalensi tertinggi terserang sepsis adalah bayi dan anak-anak dimana system imunnya tidak cukup kuat untuk melawan infeksi yang sangat berat. Orang dewasa yang mengalami immuno compromise, sebagaimana kondisi pada penderita penyakit kronis dan HIV, juga lebih mudah mengalami sepsis.(1)
Mortalitas sepsis berat di negara sudah berkembang sudah menurun sampai hanya 9% akan tetapi di negara sedang berkembang seperti Indonesia masih sangat tinggi yaitu 50-70%, dan apabila sudah terjadi syok septik dan disfungsi organ multipel angka mortalitas 80%.(2)
Saat ini patogenesis sepsis dan syok septic sudah lebih dimengerti. Keseimbangan antara pro- dan anti-inflamasi dan mediator-mediator yang dilepaskan merupakan suatu jaring-jaring yang kompleks dan menyebabkan manifestasi klinis dengan derajat yang berbeda.(2)
Konsep terbaru penanganan sepsis berat, dan syok septik yaitu meliputi: early goal directed therapy dalam waktu 6 jam sejak ditegakkan diagnosis di rumah sakit dengan terapi cairan agresif, obat-obatan inotropik, dan vasopresor dapat menurunkan angka kematian. Sebaliknya resusitasi cairan yang terlambat, menyebabkan ekspresi gen inflamasi, aktivasi endotel, trombosis, dan disfungsi/gagal organ multiple.(2)
Tanda-tanda sepsis pada anak sulit dinilai sehingga peranan laboratorium sangat penting untuk menegakkan diagnosa sepsis. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang digunakan sebagai pemeriksaan penunjang pada sepsis adalah serum CRP (C-Reactive Protein). Protein ini diproduksi oleh hepar apabila terjadi proses peradangan pada tubuh kita.(1,3,4)
Pemeriksaan CRP ini sangat umum digunakan untuk mendiagnosa dan memonitor aktivitas peradangan dan keadaan infeksi. Kadar CRP berkurang pada kondisi dengan terapi kortikosteroid atau terapi lain yang mendepresi sistem immune. CRP juga dapat digunakan untuk memonitor pada pemberian terapi kanker dan infeksi karena kadarnya dapat meningkat dan kembali normal dengan cepat.(1,4)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan William (1998), pemeriksaan kadar CRP serial sangat berguna dalam evaluasi diagnostik pada bayi-bayi dengan dugaan infeksi.(5)

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Sepsis adalah kumpulan gejala klinis dari kelainan yang disebabkan oleh karena adanya bakterimia.(6)
Sepsis merupakan keadaan gawat darurat yang sering ditemukan di ruang perawatan intensif anak. Penyulit yang sering adalah syok septic dan disfungsi organ multipel.(2)
CRP (C-Reaktif Protein)
Pemeriksaan CRP adalah pemeriksaan darah dengan cara melihat kadar CRP dalam darah. CRP merupakan petanda radang (inflammatory marker) dimana substansi ini akan muncul jika tubuh mengalami respon peradangan.(7,8,9)
Kadar CRP yang tinggi di dalam darah menunjukkan adanya proses peradangan pada tubuh tetapi tidak dapat diketahui penyebab dan lokasinya.(7,8,9)

Protein C-reaktif (CRP)
Protein C-reaktif (CRP) adalah suatu alfa-globulin yang diproduksi di hepar dan kadarnya akan meningkat dalam 6 jam di dalam serum bila terjadi proses inflamasi akut. Kadar CRP dalam plasma dapat meningkat dua kali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam dan mencapai puncaknya setelah kira-kira 50 jam. Setelah pengobatan yang efektif dan rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun secepatnya, kira-kira 5-7 jam waktu paruh plasma dari CRP eksogen(2,8)
Protein ini disebut demikian karena ia bereaksi dengan C-polisakaride yang terdapat pada pneumokokus. Semula disangka bahwa timbulnya protein ini merupakan respons spesifik terhadap infeksi pneumokokus, tetapi ternyata sekarang bahwa protein ini adalah suatu reaktan fase akut, yaitu indicator nonspesifik untuk inflamasi, sama halnya seperti LED. Tetapi berbeda dengan LED, kadar CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau hiperglobulinemia. Pada penderita dengan inflamasi yang berkaitan dengan kelainan imunologis, kadar CRP kembali normal bila pengobatan immunosupresif berhasil.(2,8)
Pemeriksaan CRP lebih sensitive dibandingkan dengan LED karena pada keadaan inflamasi kadar CRP lebih cepat meningkat yaitu dalam 6 jam dari awal terjadinya inflamasi. Sedangkan LED kadarnya meningkat setelah satu minggu dari awal terjadinya inflamasi. Kadar CRP dapat berbeda dari berbagai laboratorium tetapi menurut standar internasional kadar normal CRP adalah 0 – 1,0 mg/dL atau <10mg/L (SI unit).(4) Faktor yang mempengaruhi akurasi pemeriksaan CRP adalah: (4,8,9,10,11,12) 
1. Aktivitas / latihan yang berlebihan Aktivitas yang berlebihan dapat menimbulkan cedera jaringan. Selain itu latihan atau aktivitas yang berlebihan dapat meningatkan panas tubuh dimana kemungkinan terburuk adalah terjadinya heat stoke. Suhu tubuh yang tinggi cenderung menggandakan semua reaksi kimia intraselular, sehingga pada pemeriksaan CRP kadarnya meningkat.
2. Penggunaan terapi hormone, misalnya kontrasepsi oral Yaitu terapi untuk mencegah kehamilan dengan mengubah siklus reproduksi. Terapi ini biasanya memberikan hasil positif palsu pada pemeriksaan CRP. Reaksi ini akan dikenali sebagai reaksi inflamasi walaupun sebenarnya tidak terjadi proses peradangan.
3. Penggunaan IUD Pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim biasanya akan menimbulkan reaksi peradangan karena masuknya benda asing dalam tubuh akan merangsang respon inflamasi., sehingga kadar CRP dalah darah maningkat
4. Hamil Reaksi hormonal yang terjadi pada wanita hamil akan dikenali sebagai reaksi inflamasi. Sehingga pada pemeriksaan CRP kadarnya akan meningkat. Range normal kadar CRP pada wanita hamil <20 mg/L
5. Obesitas Obesitas berhubungan dengan hipertensi dan penyakit jantung. Pemeriksaan CRP sangat sensitive terhadap penyakit jantung.
6. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non steroid (NSID), aspirin, atau kortikosteroid. Obat-obat anti inflamasi akan menekan respon peradangan.
7. Penggunaan Pravastin, obat-obat penurun kolesterol. Profil lemak dalam darah sangat berhubungan dengan risiko penyakit jantung koroner dan stroke dimana sangat berhubungan dengan reaksi peradangan. Penggunaan obat-obat penurun kolesterol menurunkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke, sehingga kadar CRP dalam darah juga berkurang.
Cara Pemeriksaan CRP Sebelum dilakukan pemeriksaan CRP, pasien harus berpuasa selama 12 jam. Spesimen diambil dari darah vena ± 5 ml, dikumpulkan dalam botol tanpa anti koagulan. Selanjutnya segera dikirimkan ke Laboratorium Patologi Klinik atau laboratorium khusus immunology. Immunologi Sepsis Sepsis berkaitan dengan Sindroma Respon Radang Sistemik (SRRS). Sekarang diduga bahwa SRRS disebabkan oleh sepsis akibat dari cedera jaringan pasca respon hospes terhadap produk-produk bakteri misalnya endotoksin dari bakteri gram negative dan kompleks asam lipoteikoat-peptidoglikan dari bakteri gram positif. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis gram negative (H. influinzae, N. meningitides, E. coli, Pseudomonas) dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT). Hambatan kerja FNT oleh antibody monoclonal anti-FNT sangat memperlemah manifestasi syok septic pada model percobaan. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan ke dalam aliran darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis lebih lanjut. Jumlah sitokin yang terkait dengan SRRS terus bertambah dan sekarang mencakup factor nekrosis tumor (FNT), interleukin (IL)-1, -6, dan -8, factor pengaktif trombosit (platelet-activiting factor = PAF) dan interferon.(2,7)
Baik sendirian ataupun kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang memicu respon fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invander) mikroba. Respon ini adalah :
(1) aktivasi system komplemen;
(2) aktivasi faktor Hageman (factor XII), yang kemudian mencetuskan tingkatan-tingkatan koagulasi;
(3) peepasan hormon adrenokortikotropin dan beta-endorfin,
(4) rangsangan neutrofil polimorfonuklear, dan
(5) rangsangan system kalikrein-kinin. FNT dan mediator radang lain meningkatkan permeabilitas vaskuler, menimbulkan kebocoran kapiler difus, mengurangi tonus vaskuler, dan terjadinya ketidakseimbangan antara perfusi dan kenaikan kebutuhan metabolic jaringan. Aktivitas mediator radang atau respon yang berlebihan berperan dalam patogenesis sepsis.(2,7,8)

Manifestasi Klinis 
Manifestasi Klinis yang menjadi dasar diagnostik pada sepsis adalah sebagai berikut: (1,6,9) 
1. Keadaan umum : menurun (not doing well), malas minum (poor feeding), hipo/hipertermia, edema, sklerema.
2. Sistem susunan saraf pusat : hipotonia, irritable, high pitch cry, kejang, letargi, tremor, fontanella cembung. 3. system saluran pernafasan : pernafasan tidak teratur, napas cepat (>60 x/menit), apnea, dispnea, sianosis.
4. system kardiovaskuler : takikardia (>160 x/menit), bradikardia (< 100 x/menit), akral dingin, syok.
5. Sistem saluran cerna : retensi lambung, hepatomegali, mencret, muntah, kembung.
6. system hematology : kuning, pucat, splenomegali, ptekie, purpura, perdarahan.
Adapun penggolongan sepsis berdasarkan manifestasi klinis adalah sebagai berikut: (6,9) 
1. early onset : terjadi 5 hari pertama pasca lahir, dengan gejala klinis yang timbulnya mendadak, serta gejala sistemik yang berat. Terutama mengenai system saluran nafas, sifatnya progresif dan akhirnya syok
2. late onset: timbul setelah umur 5 hari, sering disertai manifestasi klinis adanya gangguan system susunan saraf pusat
3. nosocomial infection : yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa risiko infeksi, yang timbul lebih dari 48 jam saat dirawat di Rumah Sakit. Kriteria Diagnostik Kriteria diagnostik sepsis dikelompokkan sebagai berikut: (5,6,9)
1. Possible suspect sepsis : bila terdapat 3 gejala klinis dari 6 kelompok di atas
2. Probable sepsis : bila terdapat 3 gejala klinis dan adanya kelainan laboratories
3. Proven sepsis : bila terdapat 3 gejala klinis dan kultur darah positif Pemeriksaan Penunjang
Bila sindroma klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan evaluasi sepsis secara menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah, pungsi lumbal, analisis dan kultur urin, serta foto dada.(1,6,9) Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada biakan darah. Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan neutropenia dengan pergeseran ke kiri (imatur:total seri granulosit > 0,2). Selain itu dapat dijumpai pula trombositopenia. Adanya peningkatan reaktans fase akut seperti C-reactive protein (CRP) memperkuat dugaan sepsis. Diagnosis sebelum terapi diberikan (sebelum hasil kultur pasitif) adalah tersangka sepsis.(1,6,9)

Penatalaksanaan
Adapun penatalaksanaan sepsis adalah sebagai berikut: (6,9)
1. Suportif.
Lakukan monitoring cairan, elektrolit, dan glukosa; berikan koreksi jika terjadi hipovolemia, hiponatremia, hipokalsemia dan hipoglikemia. Bila terjadi SIADH (Syndrome of appropriate antidiuretic hormone), batasi cairan. Atasi syok, hipoksia dan asidosis metabolic. Awasi adanya hiperbilirubinemia, lakukan transfuse tukar bila perlu. Pertimbangkan nutrisi parenteral bila pasien tidak dapat menerima nutrisi enteral.
2. Kausatif. 
Antibiotik diberikan sebelum kuman penyebab diketahui. Biasanya digunakan golongan penisilin sepeti ampisilin ditambah aminoglikosida seperti gentamisin. Pada sepsis nosokomial antibiotic dibarikan dengan mempertimbangkan flora di ruang perawatan, namun sebagai terapi inisial biasanya diberikan vankomisin dan aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga. Setelah didapat hasil biakan dan uji sensitivitas, diberikan antibiotic yang sesuai. Terapi dilakukan selama 10-14 hari. Bila terjadi meningitis antibiotic diberikan selama 14-21 hari dengan dosis sesuai untuk meningitis.
Surviving Sepsis Campaigne pada tahun 2004, merekomendasikan penatalaksanaan sepsis berat, dan syok septic sebagai berikut: (2)
1. Early Goal Directed Therapy (EGDT)
Resusitasi cairan agresif dengan koloid dan atau kristaloid, pemberian obat-obatan inotropik, atau vasopresor dalam waktu 6 jam sesudah diagnosis ditegakkan di unit gawat darurat sebelum masuk ke PICU. Resusitasi awal 20 ml/kgBB 5-10 menit dan dapat diulang beberapa kali sampai lebih dari 60 ml/kgBB cairan dalam waktu 6 jam. Pada syok septic dengan tekanan nadi sangat sempit, koloid lebih efektif daripada kristaloid.
Kristaloid dan koloid dapat dipakai pada syok septic, akan tetapi apabila ditinjau dari segi patofisiologi dan patogenesis sepsis yaitu terdapat kebocoran sel endotel dengan meningkatnya molekul adhesi ICAM-1 dan VCAM-1, koloid yang mempunyai efek menyumpal (sealing effect) dan anti-inflamasi dengan menghambat aktivitas ICAM-1 dan VCAM-1 seperti hidroxyethylstarch molekul sedang (BM 100.000-300.000), direkomendasikan sebagai cairan awal pada sepsis dan syok berat. Apabila mempergunakan kristaloid diperlukan jumlah yang lebih banyak dengan risiko bertambahnya edema interstitial.
Kontroversi timbul masalah pemilihan koloid atau kristaloid untuk ekspansi ruang intravascular. Yang pro-koloid mengatakan bahwa koloid akan mempertahankan tekanan osmotic koloid plasma dan meminimalkan akumulasi cairan interstisial. Kristaloid akan menurunkan tekanan osmotic koloid plasma dan cenderung menimbulkan edema paru. Yang pro-kristaloid mencela biaya dan risiko terapi koloid (reaksi anafilaksis, efek pada koagulasi, akumulasi jaringan, dan efek pada ginjal). Pemberian koloid untuk resusitasi volume maksimal 33 ml/kgBB. Penelitian terdahulu randomized control study oleh Tatty ES pada DSS terbukti bahwa resusitasi awal dengan HES 200.000 dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Peneliti lain Zikria dkk, yaitu pada tikus dengan kerusakan endotel akibat terbakar menunjukkan bahwa fraksi HES 200/0,5 bertndak sebagai penyumpal lebih baik daripada 4 grup control yang menerima albumin 5%, RL dan HES dengan BM <50.000 atau HES BM >300.000. Target resusitasi volume adalah: Tekanan Vena Sentral (TVS) 8-12 mmHg; Tekanan arteri rata-rata (Mean Arterial Pressure/ MAP) sesuai umur, tekanan perfusi normal sesuai umur (tekanan arteri rata-rata/TVS); saturasi vena sentral >70%; perfusi jaringan baik; kesadaran baik; jumlah uri >1 ml/kgBB/jam, laktat serum <2 mmol/L, denyut jantung normal sesuai umur, ekstremitas hangat, perbadaan suhu oesofagus (core) dan suhu jempol kaki > 20C.
2. Inotropik/vasopresor/vasodilator
Apabila terjadi refrakter terhadap resusitasi volume, dan MAP kurang dari normal, diberikan vasopresor; Dopamin merupakan pilihan pertama. Apabila refrakter terhadap pemberian Dopamine, maka dapat diberikan epinephrine atau norepinephrine. Dobutamin dapat diberikan pada keadan curah jantung yang rendah. Vasodilator diberikan pada keadaan tahanan pembuluh darah perifer yang meningkat dengan MAP tinggi sesudah resusitasi volume dan pemberian inotropik. Nitrosovasodilator (ntrogliserin, atau nitropusid) diberikan apabila terjadi curah jantung yang rendah dan tahanan pembuluh darah sistemik yang meningkat disertai syok.
Apabila curah jantung masih rendah, akan tetapi normotensi dan tahanan pembuluh darah sistemik meningkat, maka dipikirkan pemberian phosphodiesterase inhibitor. Vasopresin yaitu ADH, adrenocorticotrophic hormone yang dikeluarkan oleh hipotalamus, sebagai vasokonstriktor pada otot polos pembuluh darah dosis 0,01-0,04 u/menit diberikan pada penderita yang refrakter terhadap vasopresor konvensional dosis tinggi.
3. Extra Corporeal Membrane Oxygenation
ECMO dilakukan pada syok septic pediatric yang refrakter terhadap terapi cairan, inotropik, vasopresor, vasodilator dan terapi hormone. Terdapat 1 penelitian yang menganalisis 12 penderita sepsis meningococcus dengan ECMO, 8 hidup dimana 6 dapat hidup normal sampai 1 tahun pemantauan.
4. Suplemen Oksigen
Intubasi endotrakheal dini dengan atau tanpa ventilator mekanik sangat bermanfaat pada bayi dan anak dengan sepsis berat/syok septic, karena kapasitas residual fungsional yang rendah. Volume tidal 6 ml/kgBB dengan permissive hypercapnea dan posisi tengkurap dapat memberikan oksigenasi jaringan yang baik.
5. Koreksi Asidosis
Terapi bikarbonat untuk memperbaiki hemodinamik atau mengurangi kebutuhan akan vasopresor, tidak dianjurkan pada keadaan asidosis laktat dan pH < 7,15 dengan hemodinamik dan kebutuhan akan vasopresor, dan pengaruhnya terhadap kaluaran pada pH rendah.
6. Terapi Antibiotika
Pemberian antibiotika segera setelah satu jam ditegakkan diagnosis sepsis dan pengambilan kultur darah. Terapi antibiotika empiris spectrum luas dosis inisial penuh, satu atau beberapa obat berdsarkan dugaan kuman penyebab dan dapat berpenetrasi ke daam sumber infeksi. Terdapat hubungan antara pemberian antibiotika yang inadekuat dengan tingginya mortalitas. Pada keadaan dimana fokus infeksi tidak jelas, maka antibiotika harus diberikan pada keadaan penderita mengalami perburukan, status imunologik yang buruk, adanya kateter intravena berdasarkan dugaan kuman penyebab dan tes kepekaan. Antibiotika golongan beta-lactams seperti penicillin, carbapenem seperti meropenem, imipenem, cephalosporin dan aminoglikosida. Extended spectrum Penicillin yaitu carboxy penicillins dan ureido-penicillins diberikan untuk infeksi Pseudomonas aeruginosa atau bakteri gram negative lain. Carboxy penicillins termasuk carbenicillin dan ticarcilin dapat diberikan pada infeksi MRSA dan spesies Klebsiella.
Evaluasi pemberian antibiotika dilakukan sesudah 48-72 jam berdasarkan data klinis dan mikrobiologi dengan mempergunakan antibiotika spectrum sempit untuk mengurangi resistensi bakteri, menurunkan toksisitas dan biaya. Lama pemberian antibiotika 7-10 hari dipandu oleh respon manifestasi klinis.
7. Sumber infeksi
Eradikasi sumber infeksi sangat penting, seperti drainase abses, debridement jaringan nekrosis, alat-alat yang terinfeksi dilepas. Kontrol sumber infeksi harus dilaksanakan secepatnya mengikuti resusitasi volume inisial.
8. Terapi kortikosteroid
Penelitian oleh Annane dkk, pada syok septic dewasa dengan insufisiensi adrenal yang refrakter terhadap vasopresor, hydrocortisone 50 mg etiap 6 jam dan dikombinasi dengan fludrocortisone 50 ug diberikan 7 hari, dapat menurunkan angka kematian absolute sebanyak 15%. Dosis yang direkomendasikan untuk syok septic pediatric adalah 1-2 mg/kgbb (berdasarkan gejala klinis insufisiensi adrenal) sampai 50mg/kg untuk terapi empiris syok septic diikuti dosis sama diberikan 24 jam. Terapi hydrocortisone pada syok septic pediatric perlu diberika pada penderita yang resisten terhadap katekolamin, dan terbukti adanya insuffisiensi adrenal, penderita yang berisiko termasuk syok septic dengan purpura, dengan riwayat pemberian steroid untuk penyakit kronis, atau adanya gangguan pada kelenjar adrenal atau hipofise.
9. Anti-inflamasi
Penelitian mengenai terapi anti-inflamasi pada pediatric masih sangat sedikit, dan dengan sa,pel yang kecil.
10. Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GMCSF)
Penelitian IVIG pada pediatric masih sangat sedikit dengan sample kecil, dilaporkan dapat menurunkan angka kematian.
11. Transfusi Tukar
Transfusi tukar tidak disebut dalam Surviving Sepsis Campaign guidline. Keuntungan transfuse tukar adalah mengeluarkan endotoksin bakteri dan mediator inflamasi, meningkatkan transport oksigen, memperbaiki fungsi granulosit daklam melakukan lisis bakteri dan aktifitas opsonin, memperbaiki koagulopati dan gangguan elektrolit. Penelitian sebanyak 31 studi kasus (1995-1996) pada bayi sepsis yang dilakukan hemofiltrasi, didapatkan angka hidup sebanyak 50%.
12. Terapi suportif
PENUTUP

Mortalitas sepsis berat dan syok septic di Negara sedang berkembang termasuk di Indonesia, masih tinggi, perlu peningkatan kewaspadaan dalam diagnosis dini dan penatalaksanaan yang akurat dan cepat. Dengan lebih memahami akan patofisiologi dan patogenesis sepsis, diharapkan dapat menurunkan angka mortalitas syok septik.(2)
Surviving sepsis Campaign guidelines tahun 2004 untuk penatalaksanaan sepsis berat dan syok septic dapat dipakai dan disebarluaskan di seluruh Indonesia, meliputi: Early Directed Goal Therapy dengan terapi cairan agresif, support inotropik, vasopresor, vasodilator dan mempertahankan hemodinamik dalam waktu 6 jam sesudah ditegakkan Diagnosis, pemberian antibiotika 1 jam sesudah resusitasi volume, source control, intubasi dini dengan atau tanpa ventilator, anti-inflamasi dengan rh-APC, imunoterapi dan imunonutrisi dan terapi suprtif terhadap disfungsi organ ginjal, paru, disfungsi koagulasi, dan saluran cerna.(2)
Pemeriksaan CRP sangat umum digunakan untuk mendiagnosa dan memonitor aktivitas peradangan dan keadaan infeksi. Kadar CRP berkurang pada kondisi dengan terapi kortikosteroid atau terapi lain yang mendepresi sistem immune. CRP juga dapat digunakan untuk memonitor pada pemberian terapi kanker dan infeksi karena kadarnya dapat meningkat dan kembali normal dengan cepat.(6 jam dari awal inflamasi)(1,3) . Pemeriksaan kadar CRP serial sangat berguna dalam evaluasi diagnostik pada bayi-bayi dengan dugaan infeksi.(5)

DAFTAR PUSTAKA
 1. Homeler, Barbara. Sepsis. http://www.emedicine.com

2. Ermin, Tatty. Penetalaksanaan Syok Septik Pada Anak. Dalam: Simposium Nasional Perinatologi dan Pediatri Gawat Darurat. Banjarmasin: IDAI Kalimantan Selatan, 2005

3. Widmann, Frances.K. Protein C-Reaktif. Jakarta: EGC, 1995

4. Nissl, Jan. C-Reactive Protein. http://www.medplus.com

5. Benitz,William.E. Serial Serum C-Reactive Protein Levels in the Diagnosis of Neonatal Infection. http://www.pediatrics.org

6. Yunanto,Ari et al. Sepsis. Dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi. Banjarmasin : Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Ulin-FK UNLAM, 2004

7. Nelson, Waldo E. Sepsis. Dalam : Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC, 1999

8. Reeves, Glenn. C Reactive Protein. http://www.medplus.com/immunologyHAPS/topic1998.htm

9. Mansjoer A et al. Sepsis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI, 2000

10. Mirkin. Summary. http://www.drmirkin.com

11. Guyton. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, 1997

12. Ganong. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC, 1997


0 komentar:

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer

Arsip Blog