kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Rabu, 20 Mei 2009

Merga-merga dalam suku karo



Untuk memperluas dan meningkatkan wawasan tentang marga2 dalam suku karo di sini di tulis sedikit rincian tentang marga2 dalam suku karo ,,,
karena tulisan tentang marga2 karo jarang di publikasikan ,, sehingga yg banyak di kenal itu adalah marga2 dari teman kita batak toba,,,
mari sebagai orang karo jg harus bangga dan melestarikan budaya karo ,,,,
Adapun marga2 dalam suku karo ada 5 induk : yaitu :
1. Merga Ginting
Merga Ginting terdiri atas beberapa Sub Merga seperti :
a. Ginting Pase
Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munthe. Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan Simalungun. Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Cerita Lisan karo mengatakan bahwa anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat di telaah cerita tentang Beru Ginting Pase.

b. Ginting Munthe
Menurut cerita lisan karo, Merga Ginting Munthe berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune.

c. Ginting Manik
Ginting Manik menurut cerita masih saudara dengan Ginting Munthe. Merga ini berasal dari Tongging terus ke Aji Nembah, ke Munthe dan Kuta Bangun. (R.U. GINTING, SH). Merga Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba.

d. Ginting Sinusinga
Menurut penulis, sejarah Ginting Sinusinga belum lagi jelas, akan tetapi mereka adalah pendiri kampung Singa.

e. Ginting Seragih
Menurut J.H. Neumann, Ginting Seragih termasuk salah satu merga Ginting yang tua dan menyebar ke Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi.

f. Ginting Sini Suka
Menurut cerita lisan Karo berasal dari Kalasan (Pak-Pak), kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo dan kemudian ke Guru Benua, disana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting, yakni :

- Ginting Babo
- Ginting Sugihen
- Ginting Guru Patih
- Ginting Suka ( ini juga ada di Gayo / Alas)
- Ginting Beras
- Ginting Bukit (juga ada di Gayo / Alas)
- Ginting Garamat (di Toba menjadi Simarmata)
- Ginting Ajar Tambun, dan
- Ginting Jadi Bata.

Kesembilan orang merga Ginting ini mempunyai seorang saudara perempuan bernama “ Bembem br Ginting”, yang menurut legenda tenggelam ke dalam tanah ketika sedang menari di Tiga Bembem atau sekarang Tiga Sukarame, kecamatan Munte.

g. Ginting Jawak
Menurut cerita Ginting Jawak berasal dari Simalungun. Merga ini hanya sedikit saja di daerah Karo.

h. Ginting Tumangger
Hingga sampai saat ini penulis belum mengetahui asal-usulnya, akan tetapi merga ini juga ada di Pak Pak, yakni merga Tumanggor.

i. Ginting Capah
Penulis juga belum mengetahui asal-usulnya, akan tetapi Capah berarti “tempat makan besar terbuat dari kayu”, atau piring tradisional Karo.



2. Merga Karo-Karo

Merga Karo-Karo terbagi atas beberapa Sub Merga, yaitu :
a. Karo-Karo Purba
Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun. Dia disebutkan beristri dua orang, seorang puteri umang dan seorang ular. Dari isteri umang lahirlah merga-merga :

~ Purba
Merga ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata.

~ Ketaren
Dahulu rupanya merga Karo-Karo Purba memakai nama merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Menurut budayawan Karo, M.Purba, dahulu yang memakai merga Purba adalah “Pa Mbelgah”. Nenek moyang merga Ketaren bernama “Togan Raya” dan “Batu Maler” ( referensi K.E. Ketaren).

~ Sinukaban
Merga Sinukaban ini sekarang mendiami kampung Kaban. Mungkin sekali yang disebut ibu umang tersebut, karena kemudian ia menghilang tak diketahui rimbanya.

Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga :

* Karo-Karo Sekali
Karo-Karo sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa.

* Sinuraya / Sinuhaji
Merga ini mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat, yakni Aji Jahe, Aji Mbelang dan Ujung Aji.

* Jong / Kemit
Merga ini mendirikan kampung Mulawari.

* Samura, di Samura dan

* Karo-Karo Bukit, di Bukit.

Kelima Sub Merga ini menurut cerita tidak boleh membunuh ular. Ular dimaksud dalam legenda Karo tersebut, mungkin sekali menggambarkan keadaan lumpuh dari seseorang sehingga tidak bisa berdiri normal.

b. Karo-Karo Sinulingga
Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak, disana mereka telah menemui Merga Ginting Munthe. Sebagian dari Merga Karo-Karo Lingga telah berpindah ke Kabupaten Karo sekarang dan mendirikan kampung Lingga.
Merga ini kemudian pecah menjadi sub-sub merga, seperti :

- Kaban
Merga ini mendirikan kampung Pernantin dan Bintang Meriah,

- Kacaribu
Merga ini medirikan kampung Kacaribu.

- Surbakti
Merga Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Merga ini juga kemudian sebagian menjadi Merga Torong.

Menilik asal katanya kemungkinan Merga Karo-karo Sinulingga berasal dari kerajaan Kalingga di India. Di Kuta Buloh, sebagian dari merga Sinulingga ini disebut sebagai “Karo-Karo Ulun Jandi”. Merga Lingga juga terdapat di Gayo / Alas dan Pak Pak.

c. Karo-Karo Kaban
Merga ini menurut cerita, bersaudara dengan merga Sinulingga, berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak dan menetap di Bintang Meriah dan Pernantin.

d. Karo-Karo Sitepu
Merga ini menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba) kemudian berpindah ke si Ogung-Ogung, terus ke Beras Tepu, Naman, Beganding, dan Sukanalu. Merga Sitepu di Naman sebagian disebut juga dengan nama Sitepu Pande Besi, sedangkan Sitepu dari Toraja (Ndeskati) disebut Sitepu Badiken. Sitepu dari Suka Nalu menyebar ke Nambiki dan sekitar Sei Bingai. Demikian juga Sitepu Badiken menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.

e. Karo-Karo Barus
Merga Karo-Karo barus menurut cerita berasal dari Baros (Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya “Sibelang Pinggel” (atau Simbelang Cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga Karo-Karo Barus mengungsi ke Karo karena diusir kawan sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena mengawini impal merga Purba yang disebut “Piring Piringen Kalak Purba”. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.

f. Karo-Karo Manik
Di Buluh Duri Dairi (Karo Baluren), terdapat Karo Manik.

3. Merga Peranginangin

Merga Peranginangin terbagi atas beberapa sub merga, yakni :
a. Peranginangin Sukatendel
Menurut cerita lisan, merga ini tadinya telah menguasai daerah Binje dan Pematang Siantar. Kemudian bergerak ke arah pegunungan dan sampai di Sukatendel (Suka => Cuka, , Tendel => Tebal ). Di daerah Kuta Buloh, merga ini terbagi menjadi :

~ Peranginangin Kuta Buloh
Mendiami kampung Kuta Buloh, Buah Raja, Kuta Talah (sudah mati), dan Kuta Buloh Gugong serta sebagian ke Tanjung Pura (Langkat) dan menjadi Melayu.

~ Peranginangin Jombor Beringen
Merga ini mendirikan, kampung-kampung, Lau Buloh, Mburidi, Belingking,. Sebagian menyebar ke Langkat mendirikan kampung Kaperas, Bahorok, dan lain-lain.

~ Peranginangin Jenabun
Merga ini juga mendirikan kampong Jenabun,. Ada cerita yang mengatakan mereka berasal dari keturunan nahkoda (pelaut) yang dalam bahasa karo disebut Anak Koda Pelayar. Di kampung ini sampai sekarang masih ada hutan (kerangen) bernama Koda Pelayar, tempat petama nahkoda tersebut tinggal.

b. Peranginangin Kacinambun
Menurut cerita, Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun.

c. Peranginangin Bangun
Alkisah Peranginangin Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi suatu peristiwa yang dihubungkan dengan “Guru Pak-pak Pertandang Pitu Sedalanen”. Dimana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu anjing (Kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu terjadi gampa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen. Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di Batu Karang, merga ini telah menemukan merga “Menjerang” dan sampai sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang. Merga ini juga pecah menjadi :

* Keliat
Menurut budayawan Karo, Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe, sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.

* Beliter
Di dekat Nambiki (Langkat), ada satu kampung bernama Beliter dan penduduknya menamakan diri Peranginangin Beliter. Menurut cerita, mereka berasal dari merga Bangun. Di daerah Kuta Buluh dahulu juga ada kampung bernama Beliter tetapi tidak ditemukan hubungan anatara kedua nama kampung tersebut. Penduduk kampung itu di sana juga disebut Peranginangin Beliter.

d. Peranginangin Mano
Peranginangin Mano tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano sekarang berdiam di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong.

e. Peranginangin Pinem
Nenek moyang Peranginangin Pinem bernama “Enggang” yang bersaudara dengan “Lambing”, nenek moyang merga Sebayang dan “Utih”nenek moyang merga Selian di Pakpak.

f. Sebayang
Nenek Moyang merga ini bernama Lambing, yang datang dari Tuha di Pak-pak, ke Perbesi dan kemudian mendirikan kampung Kuala, Kuta Gerat, Pertumbuken, Tiga Binanga, Gunung, Besadi (Langkat), dan lain-lain.
Merga Sembayang (Sebayang) juga terdapat di Gayo / Alas.
g. Peranginangin Laksa
Menurut cerita datang dari Tanah Pinem dan kemudian menetap di Juhar.

h. Peranginangin Penggarun
Penulis juga belum mengetahui asal-usulnya, akan tetapi Penggarun berarti mengaduk, biasanya untuk mengaduk nila (suka/telep) guna membuat kain tradisional suku karo.

i. Peranginangin Uwir

j. Peranginangin Sinurat
Menurut cerita yang dikemukakan oleh budayawan karo bermarga Sinurat seperti Karang dan Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.

k. Peranginangin Pincawan
Nama Pincawan berasal dari Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan.

l. Peranginangin Singarimbun
Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo, Seh Ate br Brahmana, berasal dari Simaribun di Simalungun. Ia pindah dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di tanjung Rimbun (Tanjong Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket.



m. Peranginangin Limbeng
Peranginangin Limbeng ditemukan di sekitar Pancur Batu. Merga ini pertama kali masuk literatur dalam buku Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH berjudul “Sejarah dan Kebudayaan Karo”.

n. Peranginangin Prasi
Merga ini ditemukan oleh Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH di desa Selawang-Sibolangit. Menurut budayawan Karo Paulus Keliat, merga ini berasal dari Aceh, dan disahkan menjadi Peranginangin ketika orang tuanya menjadi Pergajahen di Sibiru-biru.

4. Merga Sembiring
Merga Sembiring secara umum membagi diri menjadi dua kelompok yaitu Sembiring yang memakan anjing dan Sembiring yang berpantang memakan anjing.

a. Sembiring Siman Biang

- Sembiring Kembaren
Menurut Pustaka Kembaren, asal-usul merga ini terdiri dari Kuala Ayer Batu, kemudian pindah ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan selanjutnya ke Kutungkuhen di Alas. Nenek moyang mereka bernama Kenca Tampe Kuala, berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu dengan membawa pisau kerajaan bernama “Pisau Bala Bari”. Keturunannya kemudian mendirikan kampung Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan. Dari sana kemudian menyebar ke Liang Melas, saperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola Tebu, Ujong Deleng, Negerijahe, Gunong Meriah, Longlong, Tanjong Merahe, Rih Tengah dan lain-lain. Merga ini juga tersebar luas di Kab. Langkat saperti Lau Damak, Batu Erjong-Jong, Sapo Padang, Sijagat, dll.

- Sembiring Keloko
Menurut cerita, Sembiring Keloko masih satu keturunan dengan Sembiring Kembaren. Merga Sembiring Keloko tinggal di “Rumah Tualang”, sebuah desa yang sudah ditinggalkan antar Pola Tebu dengan Sampe Raya. Merga ini sekarang terbanyak tinggal di Pergendangen, beberapa keluarga di Buah Raya dan Limang.

- Sembiring Sinulaki
Sejarah merga Sembiring Sinulaki dikatakan juga sama dengan sejarah Sembiring Kembaren, karena mereka masih dalam satu rumpun. Merga Sinulaki berasal dari Silalahi.

- Sembiring Sinupayung
Merga ini menurut cerita bersaudara dengan Sembiring Kembaren. Mereka ini tinggal di Juma Raja dan Negeri.

Keempat merga ini boleh memakan anjing sehingga disebut Sembitng Siman Biang.

b. Sembiring Singombak
Adalah kelompok merga Sembiring yang menghanyutkan abu-abu jenasah keluarganya yang telah meniggal dunia dalam perahu kecil melalui Lau Biang (Sungai Wampu). Adapun kelompok merga Sembiring Singombak tersebut adalah sebagai berikut :

~ Sembiring Brahmana
Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah seorang keturunan India yang bernama “Megit”dan pertama kali tinggal di Talu Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe. Mbulan Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke Limang.

~ Sembiring Guru Kinayan
Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari Mbulan Brahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambo itu bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.

~ Sembiring Colia
Merga Sembiring Colia, juga menurut sejarah berasal dari India, yakni kerajaan Cola di India. Mereka mendirikan kampung Kubu Colia.

~ Sembiring Muham
Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, dan Sembiring Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata nama kampung “Limang”. Menurut ahli sejarah karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu bergempet (Muham).

~ Sembiring Pandia
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring Pandia, juga berasal dari kerajaan Pandia di India. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.

~ Sembiring Keling
Menurut cerita lisan karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di Raja Berneh dan Juhar.

~ Sembiring Depari
Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekacan (Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari kemudian pecah menjadi Sembiring Busok. Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang lalu. Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.

~ Sembiring Bunuaji
Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.

~ Sembiring Milala
Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka masuk ke Sumatera Utara melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan lain-lain. Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.

~ Sembiring Pelawi
Sejarah mengatakan,bahwa Sembiring Pelawi diduga berasa dari India (Palawa). Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu “Sierkilep Ngalehi”, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan dan lain-lain.
~ Sembiring Sinukapor
Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.

~ Sembiring Tekang
Sembiring Tekang dianggap dekat / bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adlah Jemput (laki-laki di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun Sembiring Tekang adlah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalah “Kaban”, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alas an ada perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.

5. Merga Tarigan
Ada cerita lisan (Darwin Prinst, SH. “Legenda Merga Tarigan” dalam bulletin KAMKA No. 010/Maret 1978) yang menyebutkan merga Tarigan ini tadinya berdiam di sebuah Gunung, yang berubah mejadi Danau Toba sekarang. Mereka disebut sebagai bangsa Umang. Pada suatu hari, isteri manusia umang Tarigan ini melahirkan sangat banyak mengeluarkan darah. Darah ini, tiba-tiba menjadi kabut dan kemudian jadilah sebuah danau. Cerita ini menggambarkan terjadinya Danau Toba dan migrasi orang Tarigan dari daerah tersebut ke Purba Tua, Cingkes, dan Tongtong Batu. Tiga orang keturunan merga Tarigan kemudian sampai ke Tongging yang waktu itu diserang oleh burung “Sigurda-Gurda” berkepala tujuh. Untuk itu Tarigan memasang seorang anak gadis menjadi umpan guna membunuh manok Sigurda-gurda tersebut. Sementar di bawah gadis itu digali lobang tempat sebagai benteng merga Tarigan. Ketika burung Sigurda-gurda datang dan hendak menerkam anak gadis itu, maka Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menyumpit (eltep) kepala burung garuda itu. Enam kepala kena sumpit, akan tetapi satu kepala tesembunyi di balik dahan kayu. Salah seorang merga Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menusuk kepala itu dengan pisau. Maksud cerita ini mungkin sekali, bahwa pada waktu itu sedang terjadi peperangan, atau penculikan anak-anak gadis di Tongging. Pengulu Tongging merga Ginting Manik lalu minta bantuan kepada merga Tarigan untuk mengalahkan musuhnya tersebut. Beberapa generasi setelah kejadian ini, tiga orang keturunan merga Tarigan ini diberi nama menurut keahliannya masing-masing, yakni ; Tarigan Pertendong (ahli telepati), Pengeltep (ahli menyumpit) dan Pernangkih-nangkih (ahli panjat). Tarigan pengeltep kawin dengan beru Ginting Manik. Diadakanlah pembagian wilayah antara penghulu Tongging dengan Tarigan Pengeltep. Tarigan menyumpitkan eltepnya sampai ke Tongtong Batu. Tarigan lalu pergi kesana, dan itulah sebabnya pendiri kampung (Simantek Kuta) di Sidikalang dan sekitarnya adalah Tarigan (Gersang). Tarigan Pertendong dan Tarigan Pernangkih-nangkih tinggal di Tongging dan keturunannya kemudian mejadi Tarigan Purba, Sibero, dan Cingkes, baik yang di Toba maupun yang di Simalungun. Beberapa generasi kemudian berangkatlah dua orang Merga Tarigan dari Tongtong Batu ke Juhar, yang kemudian di Juhar dikenal sebagai Tarigan Sibayak dan Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak mempunyai nama rurun Batu (laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun Tarigan Jambor Lateng adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan). Kemudian datang pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama rurun Kawas (laki-laki) dan Dombat (wanita).
Adapun cabang-cabang dari merga Tarigan ini adalah sebagai berikut :

a Tarigan Tua, kampong asalnya di Purba Tua dekat Cingkes dan Pergendangen ;
b Tarigan Bondong, di Lingga ;
c Tarigan Jampang, di Pergendangen ;
d Tarigan Gersang, di Nagasaribu dan Beras Tepu ;
e Tarigan Cingkes, di Cingkes ;
f Tarigan Gana-gana, di Batu Karang ;
g Tarigan Peken (pecan), di Sukanalu dan Namo Enggang ;
h Tarigan Tambak, di Kebayaken dan Sukanalu ;
i Tarigan Purba, di Purba ;
j Tarigan Sibero, di Juhar, Kuta Raja, Keriahen Munte, Tanjong Beringen, Selakar, dan Lingga ;
k Tarigan Silangit, di Gunung Meriah (Deli Serdang) ;
l Tarigan Kerendam, di Kuala, Pulo Berayan dan sebagian pindah ke Siak dan menjadi Sultan disana ;
m Tarign Tegur, di Suka ;
n Tarigan Tambun, di Rakut Besi dan Binangara ;
o Tarigan Sahing, di Sinaman

Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo. 3 Desember 1995 di Sibayak Interntional Hotel Berastagi merekomendasikan, agar pemakaian merga berdasarkan “merga silima”, yaitu ;
1. Ginting
2. Karo-Karo
3. Peranginangin
4. Sembiring, dan
5. Tarigan
Sementara sub merga, dipakai di belakang merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian merga dan sub merga tersebut.


Disadur dari Keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995
Dan Buku – buku Budaya Karo.
























































































Budaya Karoshi, Budaya Karo - sejarah marga-marga, Budaya Karo ibas terang kata dibata, Budaya Karo kerja tahun, Budaya Karo pdf, budaya batak karo, sejarah Budaya Karo, seni Budaya Karo, budaya adat karo, budaya tanah karo, artikel Budaya Karo, budaya suku batak karo, lagu budaya batak Karo mp3 download, budaya adat batak karo, sejarah budaya batak karo, seni budaya batak karo, Perkembangan budaya batak karo, makalah budaya batak karo, unsur budaya batak karo, cerita Budaya Karo, contoh Budaya Karo, budaya daerah karo, filsafat Budaya Karo, jenis Budaya Karo, budaya kabupaten karo, budaya khas karo, budaya kalak karo, sosial budaya kabupaten karo, kesenian budaya karo, gambaran sosial budaya kabupaten karo, keragaman budaya karo, lagu budaya karo, mengenal budaya karo, makalah Budaya Karo, budaya orang karo, pengertian Budaya Karo, pantun Budaya Karo, radio Budaya Karo, pesta Budaya Karo, acara Budaya Karo, musik Budaya Karo, situs Budaya Karo, situs Budaya Karo, website Budaya Karo, tarian Budaya Karo, tenah Budaya Karo, tentang budaya karo.

mp3 lagu karo, lirik lagu karo, lagu karo mp3, lagu perjabun, lagu pengantin mp3, lagu pengantin teks, lirik lagu pengantin karo, download lagu karo, festival lagu karo, teks lagu karo, lagu pengantin karo, lagu pengantin karo mp3, gratis dowload lagu karo, 
Masyarakat karo tempo dulu, Masyarakat karo terobos mendagri,  Masyarakat karo demo bupati, himpunan Masyarakat karo indonesia, tokoh Masyarakat karo, demo Masyarakat karo, sejarah Masyarakat karo, tradisi Masyarakat karo, cerita masyarakat karo, legenda Masyarakat karo, masyarakat adat karo, agama Masyarakat karo, himpunan Masyarakat karo, karakteristik Masyarakat karo, kepercayaan Masyarakat karo, karakter Masyarakat karo, kekerabatan Masyarakat karo, asal usul Masyarakat karo, latar belakang Masyarakat karo, sistem kekerabatan Masyarakat karo, organisasi Masyarakat karo, masyarakat tanah karo.

Jumat, 15 Mei 2009

Sumbang si Siwah pada Masyarakat Karo

Dalam cerita-cerita klasik Karo yang dikenal dengan "Turi-turin si adi" terdapat ungkapan yang berbunyi "jelma si mehamat emkap jelma si banci janah sanggup menekan ras nasapken sumbang si siwah ibas kinigeluhenna nari" yang artinya, "orang yang sopan adalah orang yang dapat serta sanggup menghilangkan dan menghapus larangan yang sembilan dari dalam kehidupannya". Adapun larangan yang sembilan jenis itu adalah


1. Sumbang Perkundul (cara duduk yang tidak sopan)
Tikar merupakan sarana atau tempat duduk umum bagi masyarakat Karo. Bagi orang kebanyakan biasanya cukup dibentangkan tikar yang lebar (amak belang) dan bagi orang-orang terhormat dibentangkan tikar halus (amak cur) di atas tikar yang lebar itu.
Bagi masyarakat Karo cara duduk yang sopan adalah "muncayang" (bersila) dan "terdo" (menjulurkan kedua kaki) bagi wanita yang sedang menyusui atau memangku anak. Disamping itu kita pun harus mengenal "simehangke" (orang yang kita hormati seperti mami, bengkila, turangku, eda dan silih), karena dalam adat Karo dilarang duduk berdampingan apalagi bersenetuhan badan dengan mereka. Banyak hal atau peraturan yang harus dituruti menganai cara duduk ini.

2. Sumbang Pengerana (cara berbicara yang tidak sopan/kasar)
Ada ungkapan yang berbunyi "mulutmu adalah harimaumu", suatu ucapan yang dapat membuat kita dibenci orang dan menambah lawan, sebaliknya mungkin juga membuat orang menyenangi kita dan menambah teman. Dari tutur kata seseorang dapat diketahui apakah dia jujur atau dapat dipercaya yang memberi simpatik kepada orang lain.

3. Sumbang Pengenen (cara melihat yang tidak baik)
Ada bagian-bagian tubuh yang pantang atau tabu untuk dilihat, apalagi dengan saengaja dilihat atau diintip. Dalam bahasa Karo ada ungkapan yang berbunyi "kalak si nggit ngintip tah pe nungkir si la tengka, banci terpiluk matana, janah kalak si rusur ngenen si la mehuli tahpe si mereha banci nge pentang matana".

4. Sumbang Perpan (cara makan yang tidak sopan)
Pada saat makan tidak "ngulcap" (mengeluarkan suara saat mengunyah) dan jangan "merimah" (nasi berjatuhan di luar piring). Juga tidak memakan makanan yang diharamkan oleh aturan adat berdasarkan marga.

5. Sumbang Perdalan (cara berjalan yang tidak baik)
Ketika berjalan langkah kaki tanpa hentakan dan buatlah ayunan tangan yang sewajarnya agar kita tidak terkesan "metumbur" (ceroboh). Cara jalan yang baik dapat menunjukkan perangai seseorang. Seperti lagu muda/i Karo : "pengodakndu e, perdalandu e, erbahan aku bene…" yang artinya cara berjalan itu membuat orang simpatik dan tertarik.

6. Sumbang Pendahin (pekerjaan yang dibenci orang)
Kerjakanlah yang baik dan berguna serta tidak mengganggu ketenteraman orang lain. Seperti nasihat orang tua: "ola lakoken pendahin si la tengka janah ola dadap pendahin si mereha" yang artinya jangan lakukan pekerjaan yang terlarang dan jangan sentuh pekerjaan yang memalukan.

7. Sumbang Perukuren (cara berfikir yang jelek)
Dalam hidup bermasyarakat kita harus saling menghargai dan menghormati antara sesama warga masyarakat dan tidak berprasangka buruh terhadap orang lain.

8. Sumbang Peridi (cara mandi yang dilarang oleh adat istiadat)
Secara tradisional tempat mandi atau pancuran di desa-desa Tanah Karo merupakan pemandian umum. Zaman dulu orang-orang mandi di pancuran tanpa basahan. Terkadang, satu kampung hanya mempunyai satu pancuran saja buat pria dan wanita. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, untuk menjauhkan diri dari sumbang peridi, maka perlu diadakan tata krama tradisional buat umum atau buat setempat/lokal.
Biasanya pemandian di desa terdiri dari satu atau lebih pancuran yang dapat dipakai secara bergantian. Untuk menjaga supaya jangan terjadi sumbang pengenen, maka lazimnya pancuran tradisinal tersebut dilindungi oleh pagar hidup, misalnya bambu cina.
Dengan demikian orang bebas mandi. Disamping itu ada pula giliran mandi buat kaum wanita dan buat kaum pria. Untuk mengetahui giliran siapa yang sedang mandi, apakah pria atau wanita. Maka dibuatlah berupa dialog singkat misalnya seorang pria (A) hendak mengetahui siapa yang sedang mandi (M) dipancuran:

A: "mboah ?" ("siapa ?")
M: "diberu !" ("wanita !")

Karena yang sedang mandi ternyata "wanita" maka si pria A harus menanti sampai wanita itu selesai mandi.

Lalau bagai mana halnya kalau yang sedang datang dan yang sedang mandi sama-sama pria atau sama-sama wanita? Apakah yang baru datang bebas masuk ke pancruan? Belum tentu. Ada orang yang walaupun berjenis kelamin sama, tetapi dilarang oleh adat mandi bersama, misalnya mama (mertua laki-laki pria), kalak si ereda (wanita yang beripar), ersilih (pria yang beripar). Untuk mengetahui hubungan itu, digunakan dialog:

A: "Mboah…."
M: "Dilaki….."
A: "Ise e…."
M: "Si Pola… bapa si Gumbar…"

Dengan demikian A dapat mengenal siapa yang sedang mandi tersebut.

9. Sumbang Perpedem (cara tidur yang tidak baik)
Rumah tradisional Karo atau rumah adat karo yang disebut "si waluh jabu" bentuknya seperti ruangan besar yang terbagi atas delapan bagian yang didiami masing-masing oleh satu keluarga, maka tidaklah terdapat kamar-kamar tidur. Yang ada hanya buat orang tua itu pun hanya disekat dengan tikar sebagai dindingnya. Sudah menjadi suatu kebiasaan bahwa anak laki laki yang sudah remaja tidak tidur di rumah adat, tetapi mereka tidur di jambur (pondok remaja) atau di keben (lumbung penyimpanan padi). Sementara para gadis diizinkan tidur di rumah adat, tetapi biasanya berkumpul di jabu nenek atau bibi dan lebih disenangi di jabu ture (keluarga yang dekat beranda) untuk memberi kesempatan kepada mereka berpacaraan.

Disadur dari makalah Sumbang si Siwah pada Masyarakat Karo
Karangan: Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan (Alm)
sumber : http://gratis45.com/berita/Artikel08.htm

























































Budaya Karoshi, Budaya Karo - sejarah marga-marga, Budaya Karo ibas terang kata dibata, Budaya Karo kerja tahun, Budaya Karo pdf, budaya batak karo, sejarah Budaya Karo, seni Budaya Karo, budaya adat karo, budaya tanah karo, artikel Budaya Karo, budaya suku batak karo, lagu budaya batak Karo mp3 download, budaya adat batak karo, sejarah budaya batak karo, seni budaya batak karo, Perkembangan budaya batak karo, makalah budaya batak karo, unsur budaya batak karo, cerita Budaya Karo, contoh Budaya Karo, budaya daerah karo, filsafat Budaya Karo, jenis Budaya Karo, budaya kabupaten karo, budaya khas karo, budaya kalak karo, sosial budaya kabupaten karo, kesenian budaya karo, gambaran sosial budaya kabupaten karo, keragaman budaya karo, lagu budaya karo, mengenal budaya karo, makalah Budaya Karo, budaya orang karo, pengertian Budaya Karo, pantun Budaya Karo, radio Budaya Karo, pesta Budaya Karo, acara Budaya Karo, musik Budaya Karo, situs Budaya Karo, situs Budaya Karo, website Budaya Karo, tarian Budaya Karo, tenah Budaya Karo, tentang budaya karo.

mp3 lagu karo, lirik lagu karo, lagu karo mp3, lagu perjabun, lagu pengantin mp3, lagu pengantin teks, lirik lagu pengantin karo, download lagu karo, festival lagu karo, teks lagu karo, lagu pengantin karo, lagu pengantin karo mp3, gratis dowload lagu karo, 
Masyarakat karo tempo dulu, Masyarakat karo terobos mendagri,  Masyarakat karo demo bupati, himpunan Masyarakat karo indonesia, tokoh Masyarakat karo, demo Masyarakat karo, sejarah Masyarakat karo, tradisi Masyarakat karo, cerita masyarakat karo, legenda Masyarakat karo, masyarakat adat karo, agama Masyarakat karo, himpunan Masyarakat karo, karakteristik Masyarakat karo, kepercayaan Masyarakat karo, karakter Masyarakat karo, kekerabatan Masyarakat karo, asal usul Masyarakat karo, latar belakang Masyarakat karo, sistem kekerabatan Masyarakat karo, organisasi Masyarakat karo, masyarakat tanah karo.

Kerja Adat Manteki Perjabun

Mejuah-juah!!!!Ijenda lit tulisen ibas kami nari , kerna manteki perjabun ibas adat Karo. Artikel enda idat kami bas cerita orang tua-orang tuanta nari bage pe ibandingken kami ku piga-piga buku ras situs mengenai Adat Budaya Karo.


Artikel enda perlu iakap kami radu ras sieteh gelah banci kita memperkaya pengetahuan tentang adat Karo si enggo ndube terlupaken akibat perkembangen modernisasi sigundari. Lit 3 erbage gelar kerja petumbukken/perdemuken rikutken peradadaten kalak Karo e me kap :

1. Kerja Erdemu Bayu
2. Kerja Ngeranaken
3. Kerja Petuturken.


Gelar kerja adat enda itentuken arah cibal pertuturen antara si erjabu erpalasken merga si lima. Ertina ngenen kubas merga si dilaki ras beru si diberu, seh kubas beberena duana, ntah kin tuturna rimpal, turang impal, sipemeren, rsd.

1. Erdemu Bayu
 Kalak si erjabu ikataken Erdemu Bayu eme kap adi sekalak anak perana tumbuk ras singuda-nguda anak mamana kal, ntah pe singuda-nguda tersereh man anak bibina kal alu kata si deban ia tumbuk ras impalna kandung. Janah megati me si diberu enda igelari "beru singumban".
Utang adat si empo man anak beru si nereh ikataken "perkembaren" entah pe megati ikataken "ulih ermakan" janah labo banci mbelin ipindo anak beru perkembaren man si empo.

2. Ngeranaken

Kalak si erjabu ikataken Ngeranaken eme kap adi si empo ras si tersereh tumbuk labo ibas tutur rimpal, umpamana:


- Turang Sipemeren, emekap seri beberena duana, entahpe seri beru nande si empo ras beru nande si tersereh.
- Turang Impal, emekap merga si empo seri ras bebere si tersereh, entah pe seri merga bapa si empo ras beru nande si tersereh.
Alu bage ibas pedemukenca lit unsur pelanggaren adat. La arus ia tumbuk, sebab tuturna erturang. Emaka ibahan me utang si empo man anak beru sinereh siigelari "sabe". Janah megati ka pe ipindo anak beru sinereh "pengarusi", maka nggo iarusken pertumbukna. Belinna biasana sepersepuluh tukur.

3. Petuturken

Kalak si erjabu ikataken Petuturken lit dua erbage, emekap:
- Si empo ras si tersereh memang kin gel-gel labo sitandan, erkiteken kuta erkedauhen. Kenca ertutur maka ieteh payo tuhu ia ibas tutur rimpal.
- Si empo ras si tersereh rembang la lit jumpa merga ras beru bagepe beberen duana ibas merga silima, umpamana merga Sembiring bebere Ginting ras beru Karo bebere Tarigan.
Emaka ibahan me tutur rimpal gelah banci ipetumbuk. Ibas kecibal si enda utang si empo nandangi anak beru sinereh igelari "persadan", sebab ije nari maka enggo ersada si empo ndai ras anak beru sinereh.

sumber : http://gratis45.com/berita/Artikel13.htm



















































Budaya Karoshi, Budaya Karo - sejarah marga-marga, Budaya Karo ibas terang kata dibata, Budaya Karo kerja tahun, Budaya Karo pdf, budaya batak karo, sejarah Budaya Karo, seni Budaya Karo, budaya adat karo, budaya tanah karo, artikel Budaya Karo, budaya suku batak karo, lagu budaya batak Karo mp3 download, budaya adat batak karo, sejarah budaya batak karo, seni budaya batak karo, Perkembangan budaya batak karo, makalah budaya batak karo, unsur budaya batak karo, cerita Budaya Karo, contoh Budaya Karo, budaya daerah karo, filsafat Budaya Karo, jenis Budaya Karo, budaya kabupaten karo, budaya khas karo, budaya kalak karo, sosial budaya kabupaten karo, kesenian budaya karo, gambaran sosial budaya kabupaten karo, keragaman budaya karo, lagu budaya karo, mengenal budaya karo, makalah Budaya Karo, budaya orang karo, pengertian Budaya Karo, pantun Budaya Karo, radio Budaya Karo, pesta Budaya Karo, acara Budaya Karo, musik Budaya Karo, situs Budaya Karo, situs Budaya Karo, website Budaya Karo, tarian Budaya Karo, tenah Budaya Karo, tentang budaya karo.
mp3 lagu karo, lirik lagu karo, lagu karo mp3, lagu perjabun, lagu pengantin mp3, lagu pengantin teks, lirik lagu pengantin karo, download lagu karo, festival lagu karo, teks lagu karo, lagu pengantin karo, lagu pengantin karo mp3, gratis dowload lagu karo, 
Masyarakat karo tempo dulu, Masyarakat karo terobos mendagri,  Masyarakat karo demo bupati, himpunan Masyarakat karo indonesia, tokoh Masyarakat karo, demo Masyarakat karo, sejarah Masyarakat karo, tradisi Masyarakat karo, cerita masyarakat karo, legenda Masyarakat karo, masyarakat adat karo, agama Masyarakat karo, himpunan Masyarakat karo, karakteristik Masyarakat karo, kepercayaan Masyarakat karo, karakter Masyarakat karo, kekerabatan Masyarakat karo, asal usul Masyarakat karo, latar belakang Masyarakat karo, sistem kekerabatan Masyarakat karo, organisasi Masyarakat karo, masyarakat tanah karo.

HIDUP DAN ALAM PIKIRAN ORANG KARO

Suatu tinjauan filosofis-antropologis:
Orang Karo tradisional, sejak mereka
membentuk kehidupan bersama, mereka sudah mencari landasan hidupnya.
Hal ini terlaksana melalui terciptanya adat-istiadat yang mengatur
hidup mereka setiap hari dengan sesama, dengan alam dan Yang
Adikodrati. Bagaimana hidup dan alam pikiran orang karo???




1. Pengantar


Manusia dalam hidupnya selalu berusaha menuju ke arah yang lebih
baik. Perhatiannya ditujukan pada hidup yang aman, damai, tenteram,
makmur dan sejahtera. Sejak manuisa mengenal dunia dalam sejarah,
perhatiannya selalu diarahkan untuk mencapai dasar pokok sebagai
landasan hidupnya. Sejarah dan alam pikiran manusia serta evolusinya
merupakan bukti usaha manusia untuk menembus dunia materi menuju ke
alam rohani. Manusia tidak pernah puas hanya dengan aspek materi saja,
karena itu ia mencari kepuasan dan menyandarkan kehendaknya kepada
hal-hal yang bersifat rohani .

Demikian juga halnya dengan Orang Karo tradisional, sejak mereka
membentuk kehidupan bersama, mereka sudah mencari landasan hidupnya.
Hal ini terlaksana melalui terciptanya adat-istiadat yang mengatur
hidup mereka setiap hari dengan sesama, dengan alam dan Yang
Adikodrati.

2. Kehidupan Orang Karo

Orang Karo adalah satu suku di Sumatera Utara, yang mendiami
daerah bagian utara Sumatera Timur, terutama Dataran Tinggi Karo.
Istilah “Karo” berasal dari kata “ha-roh” sesuai dengan aksara Karo
yang pertama ha; artinya pertama datang (ha = pertama, awal, roh =
datang). Dalam perkembangan ha-roh berubah menjadi Karo .
Namun menurut sumber lain istilah “Karo” asalnya dari bahasa
Arab, yakni Qarau, artinya telah diajari membaca atau sembahyang,
kemudian kata Qarau ini lama kelamaan berubah menadi “Karo”. Sumber
lain mengatakan bahwa istilah “Karo” berasal dari kata “ke’ra”, artinya
“tanah tinggi yang keras”, dan kata ke’ra ini dalam perkembangan
berubah menadi Karo. Sumber lain mengatakan bahwa istilah “Karo”
berasal dari kata aru (haru). Aru adalah nama sebuah pulau di Teluk Aru
dekat Belawan sekarang. Pulau Aru inilah yang pertama di tempati oleh
para pendatang dari luar dan mereka mendirikan perkampungan di sana.
Setelah jumlah orang Aru itu menadi banyak dan kampung mereka semakin
besar, maka kampung itu berubah menadi “Kerajaan Haru”. Dan lambat laun
kata haru itu berubah menjadi “Karo”. Menurut penelitian para ahli,
lahirnya bahasa, aksara, seni suara dan tari-tarian serta adat-istiadat
Karo terjadi pada zaman Haru ini, yang pada mulanya masih sangat
sederhana sekali. Namun dalam Kongres Budaya Karo yang di selengarakan
di Berastagi, yang berlangsung dari tanggal 1-3 Desember 1995,
dikatakan bahwa istilah “Karo” berasal dari kata kar’o, artinya kar =
dunia, o = bulat, jadi kar’o itu dunia bulat .
Daerah yang didiami Orang Karo meliputi Dataran Tingi Karo, Deli
Serdang, Langkat, sebagaian Dairi, Simalungun dan Aceh Tenggara (Alas).
Orang Karo yang mendiami daerah tersebut memakai bahasa yang sama,
yaitu bahasa Karo dan mereka juga memiliki aksara sendiri yang disebut
dengan aksara Karo.

Asal-usul nenek moyang suku-suku bangsa di Indonesia bagian Barat
pada mumnya berasal dari Hindia Belakang. Suku Karo merupakan salah
satu suku yang termasuk dalam jajaran kelompok yang berasal dari sana.
Dalam pembagiannya secara global, para antropolog membagi kedatangan
mereka menjadi dua gelombang. Menurut dugaan, para emigran pertama tiba
di pantai Timur Sumater sekitar abad VIII SM. Mereka berdiam di
sepanjang pesisir pantai Timur Pulau Sumatera, mulai dari Sumatera
Timur sampai ke daerah Riau dan Jambi. Setelah berselang beberapa
waktu, mereka terpaksa menyingkir ke hutan-hutan Bukit Barisan, karena
kedatangan kelompok emigran kedua. Rupanya mereka tidak lagi dapat
saling menyesuaikan diri karena peradaban dan budaya mereka sudah
terlalu jauh berbera. Mereka yang tersingkir itulah yang kemudian
menadi nenek moyang suku-suku primitif. Salah satu di antaranya adalah
suku Karo yang tinggal di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Sedangkan
kelompok emigran kedua lazim disebut suku Melayu pesisir atau
Maya-maya, yang hingga kini tetap tinggal di pesisir pantai Timur
Sumatera. Kebanyakan dari mereka ini hidup sebagai nelayan .

Daerah yang didiami Orang Karo merupakan daerah pegunungan yang
bergelombang, di sekitar Liang Melas hutanya lebat dan di daerah
pegunungan memiliki jurang yang dalam dan curam. Gunung-gunung yang
terkenal; seperti Deleng Sibayak (2170 m), Deleng Sinabung (2417 m)
Deleng Si Piso-Piso, Deleng Pinto, Deleng Linggargar, dan Deleng
Sibuaten. Dan sungai-sungai yang mengalir di daerah ini adalah Lau
Biang (Wampu) yang bermuara ke Selat Malaka, Lau Lisang, sedangkan Lau
Menggap bermuara ke Samudera Hindia. Di daerah ini juga hidup binatang
buas; seperti gajah, harimau, beruang, beruk, kera, rusa, babi hutan
dan binatang berkaki empat lainnya, juga terdapat ular sawah serta ular
sendok yang bebisa .

Pada umumnya daerah yang didiami Orang Karo merupakan daerah
subur, walaupun ada juga wilayah-wilayah tertentu yang agak tandus.
Oleh karena itu mata percaharian mereka yang utama adalah bertani.
Hasil-hasil pertanian yang utama dari daerah ini meliputi. Sayur-myur
seperti kol-kubis, tomat, sayur putih dan sawi, kentang, wortel dan
cabe; buah-buahan seperti jeruk, apokat, markisa; dan berbagai macam
jenis bunga-bungaan segar. Tehnik pengolahan pertanian ini pada umumnya
dilakukan dengan sistem tegalan dan persawahan. Sehabis panen padi
daerah persawahan ditanami dengan tanaman palawija seperti kacang,
jagung dan bawang .

Ditinjau dari segi kebudayaan, Orang Karo termasuk kelompok yang
mempunyai peradaban yang cukup tinggi. Di bidang pertukangan misalnya,
mereka sudah mepunyai tehnik tersendiri. Orang Karo tradisional sudah
tahu bagaimana cara membuat cangkul dan parang yang baik agar tahan
lama. Hasil tenunan mereka yang terkenal adalah uis gara yakni sejenis
kain adat yang liberi hiasan berkilau-kilauan seperti emas. Kain ini
sering dipakai dalam upacara keagamaan, adat dan perkawinan. Kebolehan
mereka dalam hal ukir mengukir dapat kita amati dalam bentuk-bentuk
ukiran yang terdapat pada pintu, jendela dan dinding rumah adat Karo,
yang hingga kini masih dapat kita jumpai di kampung-kampung seperti:
Lingga, Barus Jahe dan Kutabuluh. Di bidang sastra-seni pun mereka
culup maju. Orang Karo punya penanggalan dan bentuk tulisan sendiri,
yang dahulu hanya dipelajari oleh raja (sibayak), pengetua-pengetua
adat dan orang-orang penting dalam masyarakat di setiap kampung. Mereka
mempunyai cukup banyak cerita sastra yang disebut turi-turin. Bahkan
jenis sastra pantun sudah cukup lama dikenal, khususnya di kalangan
muda-mudi. Dalam hal tari-tarian serta nyanyian, mereka mempunyai
banyak bentuk yang berbeda satu sama lain sesuai dengan situasi dan
kebutuhan. Misalnya tarian untuk upacara keagamaan berbera dengan
tarian pada pesta perkawinan atau tarian adat biasa yang lazim di
pertunjukkan dalam aneka pesta. Mereka juga mempunyai seperangkat alat
musik tradisional yang disebut gendang, yang dipakai untuk mengiringi
nyanyian dan tartan pada setiap pesta atau upacara keagamaan .

Mengacu pada unsur kebudayaan, wujud dan bentuk kebudayaan Karo
mempunyai bentuk dan nilai tersendiri yang memberikan warna dan
karakteristik Orang Karo, baik dalam tingkah laku, pola hidup, sistem
pergaulan dan kebiasaan-kebiasaan sebagai suku yang senantiasa
bereksistensi.

3. Alam Pikiran Orang Karo

Alam pikiran Orang Karo pada hakekatnya dipengaruhi oleh keadaan
dan situasi alam di mana Orang Karo hidup sejak dulu. Situasi dan
keadaan alam pegunungan membentuk alam pikiran, pandangan hidup dan
hubungan-hubungan yang ada di antara Orang Karo itu sendiri. Eksistensi
dan esensi mereka ditentukan oleh alam. Alam pegunungan yang sejuk dan
indah dapat mendatangkan hidup damai, aman dan tenteram. Namun disisi
lain kadang kala mendatangkan bencana dan marabahaya yang sulit
dibatasi. Tantangan-tantangan alam sangat nyata dalam hidup mereka.
Realitas yang mereka hadapi sungguh nyata. Kenyataan inilah yang
membuat mereka berpikir secara realistis dan selalu siapsiaga dan
waspada dalam menghadapi segala tantangan dan ancaman. Oleh karena itu
Orang Karo sejak dulu sampai turun temurun selalu menyelipkan pisau di
pingganya dan sedapat mungkin belajar silat (ndikkar). Konstruksi rumah
adat Karo menunjukkan kesiagaan menghadapi musuh, termasuk perlindungan
terhadap binatang piaraan di bawah kolongnya serta setiap kampung
senantiasa dipagari dengan tanaman lulang (jarak) .

Kenyataan hidup yang mereka hadapi inilah mendorong Orang Karo
tradisional hidup secara berkelompok. Dalam hidup bersama ini
terciptalah kebiasaan-kebiasaan yang menadi pola hidup mereka bersama,
yakni adat. Adat menadi pedoman hidup mereka yang utama. Segala
perilaku dan aktivitas hidup mereka ditentukan dan diatur oleh adat.
Barang siapa yang melanggar adat akan dihukum dan dikucilkan. Dalam
adat terkandung prinsip-prinsip hidup dan norma-norma hukum yang harus
ditaati. Adat menadi dasar kehidupan yang mempunyai peranan paling
fundamental dalam hubungan-hubungan mereka antara yang satu dan yang
lain agar dapat hidup selaras dengan alam, dengan sesama dan yang
adikodrati. Sebab adat ini bersumber pada hukum alam, dan alam
merupakan manifestasi dari Yang Adikodrati. Dengan demikian adat itu
merupakan pemberian Yang Adikodrati kepada manusia .

Alam pemikiran Orang Karo yang terealisir dalam adat dan
bersumber pada alam ini membentuk sifat dan kepribadian mereka. Sifat
dan kepribadian itu nampak dalam tidakan jujur, sopan, tegas dan
berani, berpendirian teguh, percaya diri, rasional dan kritis, mudah
menyesuaikan diri, gigih mencari pengetahuan, pragmatis, dan tidak
serakah. Mereka selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dan gigih mepertahankan hak-haknya; kalau itu diyakini sebagai haknya.
Namun mereka tidaklah mau merampas apa yang menadi hak orang lain.
Mereka selalu medahulukan orang lain dalam kegiatan tertentu. Mereka
sangat menghormati orang lain. Ha lini nampak dalam gaya bicara mereka
yang sangat demokratis, tidak memonopoli pembicaraan dan malah lebih
banyak mendengarkan; meskipun Orang Karo “bedarah panas”, lekas naik
darah, lebih-lebih bila mereka diperlakukan secara tidak adil. Meraka
akan melepaskan dendamnya dengan cara apa saja bila ada orang
memperlakukan mereka dengan tidak adil. Tetapi sebaliknya, mereka akan
bersikap lemah lembut penuh sopan santun kepada setiap orang, yang
berlaku baik terhadapnya. Dalam hal ini Orang Karo mempunyai pepatah
yang berbunyi: Keri gia isi polana, gelah mehuli penangketken kitangna.
Artinya, biarlah air nira diminuì habis, asal yang meminumnya itu
menggantungkan kembali tempatnya dengan baik pada tempatnya semula.
Tentu saja dari kata-kata pepatah ini dapat diketahui bahwa Orang Karo
mempunyai kebiasaan mengambil air nira untuk dijadikan gula, akan
tetapi pepatah ini mempunyai arti jauh lebih luas. Maksudnya, walaupun
harta kita habis, bila kahabisannya itu wajar dan demi kebaikan serta
persahabatan tidak menjadi persoalan.

4. Pandangan Hidup Orang Karo

Pandangan hidup Orang Karo terwujud dalam sikap dan perbuatan
sehari-hari. Sikap dan perbuatan itu tumbuh dan berkembang dalam adat
dan kepercayaan yang bersumber pada alam. Dalam alam ada suatu makna
yang memberi arti bagi hidup manusia yang menjadi penggerak untuk
menumbuhkan suatu tekat dalam mencapai nilai-nilai, makna dan tujuan
hidup. Oleh karena itu pandangan hidup Orang Karo dalam melaksanakan
aktivitas hidup tidak ada sebagai penonton, tetapi semua sebagai
pelaksana adat berdasarkan kedudukan dan fungsinya dalam rakut si telu
(sistem kekerabatan: kalimbubu, anak beru, senina). Setiap orang harus
aktif menjalankan tugasnya sesuai dengan kedudukan dan fungsi tersebut.
Sebab dalam masyarakat Karo setiap orang akan mengalami sebagai
kalimbubu, anak beru dan senina .

Dalam aplikasinya, Orang Karo mendasarkan diri pada
prinsip-prinsip hidup yang di yakini kebenaran dan kemanfaatannya dalam
hidup, yakni: kiniteken (keyakinan); Orang Karo yakin bahwa setiap
pekerjaan yang ia lakukan memberikan hasil bagi kehidupan yang menadi
kekuatan dalam hidupnya; kehamaten (kesopanan): setiap orang harus
sopan dan rendah hati serta hormat terhadap semua orang, agar mendapat
kepercayaan dari orang lain; megenggeng (sabar dan tahan menderita) :
setiap orang harus sabar dan tahan menderita sekalipun berat untuk
memperoleh perubahan di masa mendatang sesuai dengan yang
dicita-citakan; metenget (cermat): segala tingkah laku dan perbuatan
harus direfleksikan, direnungkan dengan baik agar mendapat hasil sesuai
dengan yang diinginkan, tek man Dibata (percaya kepada Allah): Orang
Karo percaya bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali
kepadaNya dan segala usaha dan perbuatan manusia ditentukan oleh Allah
.

Namun realisasinya dalam hidup, Orang Karo tidak menyatakannya
secara eksplisit, tetapi diungkapkan secara terselubung dalam bentuk
perumpamaan, cerita atau kata-kata pendek. Ha lini menunjukkan sifat
dan karakteristik Orang Karo yang tidak mau menonjolkan diri, tetapi
dengan sikap demikian diandaikan orang lain sudah mengerti maksudnya.
Sebab hakekat hidup dalam pandangan Orang Karo berada dalam keadaan
tidak tetap, selalu berubah karena dipengaruhi oleh unsur alam yang
terus mengalami perubahan. Dalam diri manusia ada terkandung unsur
imanensi dan transendensi. Unsur imanensi dan transendensi ini terjadi
dalam relasi dialektis antara alam dengan manusia. Oleh karena itu
manusia tidak pernah tetap, artinya manusia tidak pernah berada dalam
kehidupan dan perilaku yang tetap antara yang baik dan yang jahat,
sehat jasmani dan rohani .

Manusia yang sehat dalam pandangan Orang Karo adalah manusia yang
ada dalam keseimbangan dalam dan keseimbangan luar. Keseimbangan dalam
mencakup lima unsur penting yang ada dalam diri manusia, yakni: tubuh,
nafas, pikiran, jiwa dan hati. Kelima unsur ini harus terintegrasi dan
hubungan antara satu dan yang lain harus seimbang, jika tidak maka
dalam diri orang itu timbul penyakit. Keseimbangan luar mencakup relasi
personal dengan individu lain, yang mencaku keseimbangan antara nilai
kehidupan sosial (rakut si telu), keseimbangan terhadap lingkungan
(alam), dan keseimbangan terhadap yang bersifat transendental
(kerohanian, religiositas). Dengan demikian manusia dalam pandangan
Orang Karo bersifat holistik, utuh menyeluruh, jika ada di dalam
dirinya keseimbangan intern dan ekstern, dan hal inilah yang menadi
salah satu tujuan hidup Orang Karo.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Orang Karo menciptakan berbagai
ungkapan dan kata-kata yang dapat dipakai sebagai pegangan hidup dalam
pergaulan dan aktivitas hidup setiap hari. Ungkapan-ungkapan itu
dituliskan dalam alat-alat rumah tangga yang dipakai setiap hari atau
di tempat-tempat lain yang mudah dilihat, seperti tulisan endi-enta
(memberi-menerima) dalam sendok sayur yang terbuat dari bambu disebut
surat ukat. Maksudnya terlebih dahulu memberi kemudian menerima.
Tulisan ini mengandung arti yang cukup dalam mengenai hubungan antara
sesama agar ia diterima dan dihargai di dalam masyarakat .

Ada juga petuah yang berbetuk cerita yang disenandungkan yang
mengisahkan penderitaan hidup mereka di masa lalu. Ha lini dilakukan
agar anak-anak mereka tahu mengambil sikap dan tindakan bila berhadapan
dengan tantangan hidup yang berat. Ungkpan seperti itu disebut
bilang-bilang .

Selain itu bila berhadapan dengan suatu masalah, Orang Karo tidak
mudah emosional, tetapi terlebih dahulu dipikirkan secara rasional dan
kritis. Sifat kritis inilah yang membuat Orang berpendirian teguh,
karena segala sesuatu itu dipikirkan untung ruginya bagi kehidupan di
kemudian hari. Namun demikian Orang Karo tidak henti-hentinya berusaha
mencari yang terbaik bagi perkembangan hidup dan anak-anaknya.

Dengan demikian nampak bahwa Orang Karo mempunyai pandangan jauh
ke depan. Hal ini nampak dalam wujud kebudayaan yang diciptakannya,
seperti konstruksi rumah adat, yang dapat ditempati oleh delapan
keluarga. Dalam rumah adat itu terdapat ukiran-ukiran pada dinding yang
mempunyai arti dan simbolis tertentu, melambangkan suatu pesan,
gagasan, harapan dan kenangan. Hal ini semua menunjukkan bagaimana
mereka harus berhubungan antara yang satu dan yang lain.

5. Hubungan dengan manusia, alam dan Yang Adikodrati

Dasar peradatan Orang Karo adalah sangkep nggeluh, yang merupakan
idealitas identitas kehidupan mereka. Identitas hidup Orang Karo
tercakup dalam merga si lima (memiliki lima marga: Karo-Karo, Tarigan,
Ginting, Sembiring, dan Perangin-angin dengan cabangnya masing-masing);
rakut si telu (kalimbubu, anak beru, senina), sistem kekerabatan dalam
menjalankan adat; memiliki bahasa sendiri yakni bahasa Karo; ada daerah
yang menadi tempat tinggal mereka, yaitu Tanah Karo Simalem;
melaksanakan tutur si waluh (tinggi rendahnya tata pergaulan dalam
masyarakat Karo) berdasarkan merga si lima dan menjalankannya dalam
adat Karo. Ha lini hanya dapat terlaksana dengan baik jika sangkep
nggeluh dalam hidup mereka telah lengkap. Oleh karena sangkep nggeluh
ini menadi idealitas identitas Orang Karo. Suatu cita-cita ideal yang
hendak di capai dengan sempurna dan nyata dalam hidup .

Pengertian sangkep nggeluh adalah: nggeluh artinya hidup, sangkep
adalah kepenuhan, maka sangkep nggeluh adalah kepenuhan dalam hidup,
sempurna, lengkap semua apa yang seharusnya ada sebagaimana layaknya
hidup suatu keluarga. Ada anak laki-laki dan perempuan lengkap dengan
hubungan kekerabatannya. Sikap yang paling fundamental dalam sangkep
nggeluh ini adalah mehamat erkalimbubu (hormat terhadap kalimbubu);
medes ersenina (sikap solider dan toleran terhadap sesama saudara);
metami eranak beru (sabar dan menyanyangi anak beru sebagai pelaksana
dalam setiap kegiatan). Dengan demikian dalam sangkep nggeluh ini telah
terpenuhi semua bagian-bagian adat yang harus dilaksanakan dalam suatu
aktivitas hidup. Sangkep nggeluh ini sebagai pengikat antara sesama
manusia untuk saling tolong menolong dan kasih mengasihi serta mendapat
pasu-pasu (rahnat dan berkat) dari yang Mahakuasa.

Melalui sangkep nggeluh ini, Orang Karo membina relasinya dengan sesama dengan alam dan Yang Adikodrati.

5.1. Relasi dengan sesama manusia

Dalam kehidupan Orang Karo, hubungan kekerabatan menadi unsur
terpenting, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Hubungan
kekerabatan ini terjadi dalam marga yang diikat oleh adat. Dasar dari
hubungan kekerabatan ini berdasarkan hubungan darah yang dihitung
menurut garis pihak laki-laki, karena Orang Karo menganut prinsip
patrilineal. Kelompok kekerabatan yang paling kecil disebut jabu
(keluarga). Istilah jabu dapat juga menunjuk kepada kelompok sada bapa
(satu ayah) yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri atas para pria
sekandung yang telah menikah, dan kelompok sada nini (satu kakek) yang
masih dapat diketahui garis silsilahnya. Kelompok kekerabatan yang
terbesar adalah merga (marga, klen).

Asal usul merga diturunkan dari me-her-ga, artinya mempunyai
harga atau kuasa. Menurut cerita rakyat yang dikumpulkan oleh P.
Tamboen, dalam usahanya mendalami adat-istiadat Karo, meherga adalah
nama nenek moyang Orang Karo, yang dahulu mempunyai kekuasaan atas
rakyat dan keturunannya. Kekuasaannya sangat termasyur karena
kemampuannya mengatur serta mengendalikan masyarakat. Meherga mempunyai
lima orang anak laki-laki, yaitu: Karo-Karo, Tarigan, Ginting,
Sembiring dan Perangin-angin. Nama kelima orang inilah kemudian menjadi
merga (marga) dan ciri identitas yang dipakai Orang Karo turun temurun.
Kemudian kelima merga itu mempunyai cabangnya masing-masing, yakni:
Karo-Karo memiliki 18 cabang, Tarigan 13 cabang, Ginting 16 cabang,
Sembiring 18 cabang dan Perangin-angin 18 cabang. Semua adat-istiadat,
tutur (tinggi rendahnya derajat/gradus dalam tata pergaulan umum) dan
norma-norma etis masyarakat ditentukan berdasarkan kelima merga
tersebut. Atas dasar merga ini pula ditentukan hukum-hukum perkawinan.
Orang-orang dari marga yang sama tidak boleh saling mengawini .

Fungsi sosial dalam hubungan kekerabatan dikenal dengan merga
silima, rakut sitelu, tutur siwaluh, dan pervade-kadeen sisepuluh dua.
Rakut sitelu – kalimbubu-anak beru-senina – merupakan fungsi
pengelompokan aktivitas sosial, ia merupakan penjelmaan dari seluruh
kehadiran fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Dalam rakut sitelu
seluruh unsur fungsi sosial telah berkelompok, sehingga masing-masing
individu mengetahui peran, status dan kedudukannya dalam masyarakat
umum dengan jelas. Artinya, ada atau tidak ada kegiatan masing-masing
kelompok sudah mengerti akan tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Anak
beru merupakan kelompok kerja, pengatur pelaksana dan pengendali setiap
kegiatan. Senina merupakan kelompok pemilik kegiatan dan tugas mereka
melimpahkan wewenangnya kepada anak beru. Kalimbubu sebagai orang yang
dimuliakan, ia bertindak sebagai penasehat, pemberi saran, petunjuk,
bimbingan kepada anak beru dan senina. Untuk mengetahui peran, status
dan kedudukan seseorang dalam masyarakat itu dilakukan dengan ertutur
(perkenalan untuk mengetahui tinggi rendahnya derajat/gradus sesorang
dalam tata pergaulan umum). Artinya perlu diketahui bagaimana kedudukan
yang satu dengan yang lain. Apabila ia sudah mengetahui tutur mereka
antara yang satu dan yang lain, maka ia juga harus mengetahui bagaimana
sifat tutur itu dan fungsi kekeluargaannya. Dalam hal ini tutur si
waluh menyatakan fungsi sosial, dan perkade-kaden sepuluh dua
menyatakan kekeluargaan.

5.2. Relasi dengan alam

Orang Karo tradisional mempunyai kepercayaan terhadap makhluk
Pencipta yang menguasai dirinya dan mereka harus menyembah Sang
Pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Menurut pandangan orang
Karo mereka harus menjaga ciptaan Sang Pencipta dan tidak boleh
sembarangan disebutkan. Sebab menurut pandangan mereka, manusia
merupakan bagian dari alam; berasal dari alam dan harus kembali ke
alam.

Dalam pandangan orang Karo kejadian manusia, yang berasal dari
alam dapat diterangkan melalui sebuah mantera singkat berikut: “Asap
jadi asap, asap jadi tungga, tungga jadi antu, antu jadi bungi, bungi
jadi busi, busi jadi teras bunga, teras bunga jadi jelma”. Dari mantera
ini jelas dapat dilihat bahwa manusia itu berasal dari alam. Juga dalam
pandangan orang Karo tradisional, tempat di mana tali pusatnya jatuh
merupakan tempat kemulihenna (kembali ke asalnya) .

Dunia di mana manusia hidup dan berkehidupan merupakan
manifestasi Yang Adikodrati. Alam dengan segala yang ada di dalamnya
merupakan tanda kehadiran Yang Ilahi. Oleh karena itu orang Karo sangat
memperhatikan dan menghormati alam tempat ia berada. Mereka tidak
sembarangan memperlakukan alam ini untuk kepentingan diri sendiri.
Sebab alam ini merupakan bagian dari hidupnya. Semua kebutuhan mereka
dipenuhi oleh alam. Maka jika mereka ingin selamat, mereka harus
melestarikan alam; setiap kali memasuki hutan atau membuka lahan
pertanian yang baru, mereka terlebih dahulu mengucapkan tabas-tabas
(mantera) agar roh yang menempati dan menguasai alam itu tidak marah
dan malahan memberkatinya.

5.3. Relasi dengan Yang Adikodrati

Orang Karo mempercayai kekuatan supernatural yang menguasai alam
semesta ini. Mereka mempercayai adanya Allah yang disebut Dibata.
Dialah pencipta alam semesta beserta segala isinya. Orang Karo percaya
bahwa alam semesta ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu banua (dunia)
atas, banua tengah dan banua bawah, dan masing-masing banua dikuasai
seorang Dibata (Allah). Penguasa banua atas adalah guru butara yang
bertugas mengatur hidup dan mati semua manusia; memberi apa yang
dibutuhkan dan yang harus dilakukan manusia serta memberi keberanian
kepada manusia. Penguasa banua tengah adalan tuan paduka ni aji yang
bertuga sebagai pemberi dan menganugerahkan anak-anak kepada manusia;
menciptakan manusia selagi dalam kandungan dan memegang pimpinan atas
manusia. Dan penguasa banua bawah adalah tuan banua koling, tugasnya
mengirim cahaya, hari, dan nasib manusia serta memberikan kesuburan
tanah.

Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman hidup mereka sehari-hari,
di mana dalam suka duka hidup mereka menyapa Yang Ilahi untuk mohon
perlindungan dari bahaya yang mengancam; baik dari pihak musuh, bencana
alam, penyakit, roh jahat dan dari pihak manusia yang jahat. Dengan
kata lain, mengenal Yang Numinous, Yang Gaib, Yang Transenden hanya
melalui peristiwa-peristiwa hidup dan gelala-gejala alami yang terjadi
dalam alam semesta ini. Oleh karena itu gambaran mereka tentang Allah,
Yang Adikodrati, Dibata itu sangat diwarnai oleh pikiran, suasana hati,
keinginan, dan kecenderungan mereka.

Dibata yang dikenal orang Karo itu adalah Allah Yang Mahakuasa.
Dibata itu tidak mengadakan komunikasi langsung dengan manusia, tetapi
Dia dipandang sebagai tujuan, pelindung dan penjamin ketertiban alam.
KehendakNya telah tertuang dalam adat-istiadat Karo. Dengan demikian
barang siapa mengemban dan melaksanakan adat dengan baik, berarti ia
telah melakukan pemujaan terhadap Dibata dan membina relasi yang
harmonis denganNya. Oleh karena itu semua kegiatan yang bersifat
religius dilaksanakan dalam adat.

6. Kesimpulan

Orang Karo adalah salah satu suku bangsa yang ada di Sumatera
Utara bagian Timur. Mereka mendiami daerah induk disepamjang pegunungan
Bukit Barisan yang meliputi Dataran Tingi Karo, Deli Serdang, Langkat,
Dairi, Simalungun, dan aceh Tenggara (Alas). Mereka ini memiliki
adat-istiadat, bahasa dan aksara sendiri. Istilah “karo” menurut
beberapa sumber yang dihimpun oleh para ahli berasal dari kata ha-roh
(ha=pertama, roh=datang), Qarau (bhs. Arab: telah diajari membaca dan
sembahyang), ke’ra (tanah tinggi yang keras), aru atao haru (nama
sebuah tempat, pulau), dan kar’o (dunia bulat). Kemudian kata-kata
tersebut berubah menadi hanya kata “Karo”.

Asal usul nenek moyang orang Karo menurut ipotesa para ahli
berasal dari Hindia Belakang yang bermigrasi ke arah Selatan sekitar
abad VIII SM. Pada umumnya daerah yang didiami orang karo merupakan
daerah subur. Oleh karena itu mata pencaharian mereka yang utama adalah
bertani. Orang Karo memiliki peradaban yang cukup tinggi. Wujud dan
bentuk kebudayaan Karo mempunyai bentuk dan nilai tersendiri, yang
memberikan corak dan karakteristik tertentu, baik dalam tingkah laku,
pola hidup, sistem pergaulan, dan kebiasaan-kebiasaan yang menunjukkan
mereka sebagai suku yang senantiasa bereksistensi.

Situasi dan keadaan alam dengan segala tantangannya turut
mempengaruhi alam pikiran, pandangan hidup, dan hubungan-hubungan
antara orang Karo itu sendiri, yang terwujud dalam adat. Adat merupakan
pedoman hidup mereka yang utama. Dalam adat terkandung prinsip-prinsip
hidup yang mengatur hubungan-hubungan mereka antara yang satu dengan
yang lain agar dapat hidup selaras dengan sesama, alam dan Yang
Adikodrati. Sifat dan kepribadian orang Karo nampak dalam perwatakannya
yang jujur, tegas dan berani, percaya diri, pemalu, tidak serakah dan
tahu hak dan kewajibannya, mudah tersinggung dan dendam, berpendirian
teguh, rasional dan kritis serta gigih mencari ilmu. Sifat dan
kepribadian seperti ini membuat mereka berpikir secara realistis dan
pragmatis.

Dalam falsafah hidup orang Karo, semua orang ikut ambil bagian
dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsi dan kedudukannya dalam
rakut sitelu (kalimbubu. Anak beru, senina). Agar dapat melaksanakan
tuganya masing-masing dengan baik, mereka harus berpedoman pada
kiniteken, kehamaten, megenggeng, metenget, dan tek man Dibata sebagai
pegangan dalam hidup. Dasar dari semua ini adalah sangkep nggeluh
sebagai idealitas identitas orang Karo yang mengikat dan menunjukkan
mereka dalam hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang divina dalam
adat-istiadat sedemikian rupa sehingga menadi suatu ikatan yang utuh
menyeluruh untuk mempersatukan mereka antara yang satu dan yang lain
melalui merga si lima, rakut sitelu, tutur siwaluh dan pervade-kaden
sepuluhdua.

Dengan demikian, mereka dapat hidup damai dan aman di dalam alam
semesta ini, yang merupakan anugerah Sang Pencipta bagi mereka. Alam
merupakan manifestasi dan tanda kehadiran Yang Adikodrati di antara
manusia, dan kehidupan mereka tergantung dari alam. Manusia berasal
dari alam dan kembali ke alam. Oleh karena itu mereka sangat
menghormati dan memelihara alam ini. Mereka menjaga kelestariannya dan
mengolahnya tanpa merusaknya, tetapi menyesuaikan diri dengan alam,
agar terjadi keselarasan antara manusia dan alamnya.

Dengan demikian, orang Karo percaya terhadap adanya Dibata Yang
Mahakuasa pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Kekuasaan Dibata
itu begitu besar dan dahsyat, sehingga manusia tidak mungkin
berhubungan langsung denganNya. Tetapi diyakini bahwa Dibata itu
melindungi dan menjamin keselamatan manusia, dan kehendaknya tertuang
dalam adat-istiadat. Oleh karena itu barang siapa yang mengemban dan
melaksanakan adat itu dengan baik, ia telah melakukan pemujaan dan
berhubunngan secara harmonis dengan Sang Penciptanya.


sumber : http://rolsan.blog.friendster.com



























































Budaya Karoshi, Budaya Karo - sejarah marga-marga, Budaya Karo ibas terang kata dibata, Budaya Karo kerja tahun, Budaya Karo pdf, budaya batak karo, sejarah Budaya Karo, seni Budaya Karo, budaya adat karo, budaya tanah karo, artikel Budaya Karo, budaya suku batak karo, lagu budaya batak Karo mp3 download, budaya adat batak karo, sejarah budaya batak karo, seni budaya batak karo, Perkembangan budaya batak karo, makalah budaya batak karo, unsur budaya batak karo, cerita Budaya Karo, contoh Budaya Karo, budaya daerah karo, filsafat Budaya Karo, jenis Budaya Karo, budaya kabupaten karo, budaya khas karo, budaya kalak karo, sosial budaya kabupaten karo, kesenian budaya karo, gambaran sosial budaya kabupaten karo, keragaman budaya karo, lagu budaya karo, mengenal budaya karo, makalah Budaya Karo, budaya orang karo, pengertian Budaya Karo, pantun Budaya Karo, radio Budaya Karo, pesta Budaya Karo, acara Budaya Karo, musik Budaya Karo, situs Budaya Karo, situs Budaya Karo, website Budaya Karo, tarian Budaya Karo, tenah Budaya Karo, tentang budaya karo.
mp3 lagu karo, lirik lagu karo, lagu karo mp3, lagu perjabun, lagu pengantin mp3, lagu pengantin teks, lirik lagu pengantin karo, download lagu karo, festival lagu karo, teks lagu karo, lagu pengantin karo, lagu pengantin karo mp3, gratis dowload lagu karo, 
Masyarakat karo tempo dulu, Masyarakat karo terobos mendagri,  Masyarakat karo demo bupati, himpunan Masyarakat karo indonesia, tokoh Masyarakat karo, demo Masyarakat karo, sejarah Masyarakat karo, tradisi Masyarakat karo, cerita masyarakat karo, legenda Masyarakat karo, masyarakat adat karo, agama Masyarakat karo, himpunan Masyarakat karo, karakteristik Masyarakat karo, kepercayaan Masyarakat karo, karakter Masyarakat karo, kekerabatan Masyarakat karo, asal usul Masyarakat karo, latar belakang Masyarakat karo, sistem kekerabatan Masyarakat karo, organisasi Masyarakat karo, masyarakat tanah karo.

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer