kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Senin, 21 September 2009

ANAPHYLACTIC SHOCK ( SYOK ANAFILAKTIK )

BAB I
PENDAHULUAN

Anaphylaxis berasal dari bahasa Yunani, dari 2 kata, ana artinya jauh dan phylaxis artinya perlindungan. Secara bahasa artinya adalah menghilangkan perlindungan. (1, 2) Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Portier dan Richet pada tahun 1902 ketika memberikan dosis vaksinasi dari anemon laut untuk kedua kalinya pada seekor anjing. Hasilnya, anjing tersebut mati mendadak. (1,2)

Anafilaksis merupakan reaksi alergi sistemik yang berat, yang dapat menyebabkan kematian, terjadi secara tiba-tiba sesudah terpapar oleh alergen atau pencetus lainnya. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi alergi akut sistemik dan termasuk reaksi Hipersensivitas Tipe I pada manusia dan mamalia pada umumnya. (3) Reaksi ini harus dibedakan dengan reaksi anafilaktoid. Gejala, terapi, dan risiko kematiannya sama tetapi degranulasi sel mast atau basofil terjadi tanpa keterlibatan atau mediasi dari IgE. (1,2,3,4)
Data yang menjelaskan jumlah insidensi dan prevalensi dari syok dan reaksi anapilaksis saat ini sangat terbatas. Dari beberapa data yang diperoleh di Amerika Serikat menunjukkan sepuluh dari 1000 orang mengalami reaksi anapilaksis tiap tahunnya. Saat ini diperkirakan setiap 1 dari 3000 pasien rumah sakit di USA mengalami reaksi anapilaksis. Sehingga, resiko mengalami kematian sebesar 1% dari yang mengalami reaksi anapilaksis, yaitu sebesar 500-1000 kematian yang terjadi.(5,6,7)
Pada kematian akibat reaksi anafilaksis, onset gejala biasanya muncul pada 15 hingga 20 menit pertama, dan menyebabkan kematian dalam 1-2 jam. Reaksi anafilaktik yang fatal terjadi akibat adanya distress pernafasan akut dan kolaps sirkulasi. (5) oleh karena itu penting sekali memahami dan mengetahui tentang syok anapilaksis.(5,6,7,8)
Dalam referat ini, selain akan dipaparkan aspek klinis dari syok anafilaktik, dan penatalaksanaan terkini serta sedikit pembahasan tentang sudut medikolegalnya akan turut pula disertakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

SYOK ANAFILAKTIK
Definisi
Syok
Syok merupakan kegagalan sirkulasi secara akut sehingga menyebabkan perfusi jaringan tidak adkuat dan cedera pada beberapa organ tubuh.
Sedangkan dengan kata lain syok merupakan kegagalan sirkulasi akut dengan ketidakadekuatan perfusi jaringan yang menghasilkan hipoksia secara umum.
Syok terjadi karena adanya gangguan system kardiovaskullar dan ketidakadekuatan kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan.(6,8,9)

Terdapat tiga jenis syok yaitu(7,8,9):
a) Syok Cardiogenik
Disebabkan adanya gangguan atau kegagalan dalam pemompaan jantung. Contoh yang paling mudah adalah jika terjadi pada orang dengan gagal jantung, Infark Miaokard dan lain-lain.
b) Syok Distributive
Berkaitan dengan masalah pada pembuluh darah. Dalam hal ini terdapat kegagalan dalam mempertahankan resistensi pembuluh darah. Penyebabnya adalah vasodilatasi dan kerusakan mikrovaskular. Contohnya terjadi pada orang dengan sepsis, cedera spinal, dan anafilaktik.
c) Syok Hipovolumik
Berkaitan dengan hilangnya volume sirkulasi darah dalam tubuh. Misalnya terjadi pada perdarahan dan dehidrasi.
Untuk lebih jelasnya bagaimana terjadinya shok mungkin pendekatan secara fisiologis akan lebih muda untuk dipahami
 Syok disebabkan oleh tekanan darah yang tidak adekuat
Tekanan darah rendah berkaitan dengan ketidakadekatan cardiac out put atau rendahnya resistensi pembuluh darah.
 Rendahnya cardiac out put disebabkan oleh masalah kecepatan denyut jantung dan stroke volume.
 Abnormalitas Stroke volume meliputi: keagalan untuk menerima, kegagalan untuk mengeluarkan, dan ketidakadekuatan volme.
 Rendahnya resistensi pembuluh darah perifer berkaitan dengan masalah vasodilatasi pembuluh darah.

Yang dimaksud dengan shock anafilaktik adalah shock yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reaksi alergik atau reaksi hipersensitif. Sedangkan yang dimaksud dengan reaksi alergik adalah peninggian reaksi fisiologik tubuh terhadap bahan antigen yang memperkuat terjadinya antigen-antibodi. Terdapat pula istilah atopi yang menerangkan bentuk anafilaksis yang terjadi secara familiar akibat alamiah seperti biji-bijian, debu dan makanan dan bila terjadi reaksi anafilaksis dapat menimbulkan asma dan sensitivitas terhadap makanan berupa reaksi urtikaria pada kulit.
Shock anafilaktik terjadi dalam masa beberapa detik atau beberapa menit sesudah pemberian antigen dan menyebabkan terjadinya kegagalan sirkulasi dan respirasi. Shock ini terjadi antara 1-3000 pasien di Amerika dan antibiotik yang paling banyak adalah penisilin yang merupakan kematian terbanyak sesudah obat ini disuntikkan dalam masa 60 menit.
Reaksi anafilaksis artinya againts protection (menghilangkan proteksi). Secara harafiah dapat diartikan terdapat mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan sirkulasi basofil dimana bahan ini dapat menyebabkan terjadinya shock. Shock anafilaktik diartikan sebagai suatu reaksi yang cepat karena masuknya benda asing ke dalam tubuh yang sensitif yang terjadi secara segera atau tipe I. Reaksi ini dapat pula terjadi akibat pemberian obat-obatan, darah, plasma, kontras media dan gigitan serangga. Terdapat pula istilah anaphylactoid reaction yang antigennya tidak dapat ditentukan dimana reaksi ini dapat terjadi akibat fisik, olah raga, obat-obatan, dan kaustik. Reaksi alaergi sistemik dapat terjadi secara ringan, moderat, serta berat. Misalnya saja, urtikaria generalisata, angio-odem, dan rhinitis merupakan bukan reaksi anapilaksis.(6,7,8,9)
Efidemiologi
Insidensi dari reaksi anapilaksis secara baku sampai saat ini belum diketahui. Di Amerika Serikat, kematian akibat reaksi anafilaksis sistemik kira-kira 1500-2000 kematian per tahun. Kasus nonfatal lebih sering muncul, yakni sekitar0,2 % dari populasi setiap tahunnya.(4) Prevalensi kunjungan ke bagian kegawatdaruratan kira-kira 2 per 10.000 penduduk sampai 5 per 10.000 penduduk. (8) Neugut et al memperkirakan bahwa 1-15 % dari populasi Amerika Serikat berada dalam risiko mendapatkan reaksi anafilaktik atau reaksi anafilaktoid. Lebih lanjut, mereka memperkirakan rata-rata reaksi anafilaksis akibat makanan adalah 0,0004%, 0,7-10% untuk penisilin, 0,22-1% untuk media radiokontras, dan 0,5-5% untuk gigitan serangga. Frekuensi terjadinya anapilaksis meningkat, lebih dari 500-1.000 kasus fatal dari reaksi anapilaksis tiap tahunnya diperkirakan terjadi di USA.(6,7,9)
Dari studi epidemiologi meperlihatkan tiap tahun sebesar 30/100.000 orang dan 21/100.000 rata-rata insidensinya tiap tahun. Gejala dan tanda yang menyertai, dimana tanda dan gejala kulit (100%), pernapasan (69%), oral dan gastroentistinal (24%), dan kardiovaskuler (41%). Menurut Neugut et al dari hasil surveinya, diperkirakan bahwa antara 3.3 dan 43 milyar orang di USA mempunyai resiko untuk mengalami reaksi anapilaksis. Baru-baru ini diperkirakan antara 1453 sampai 1503 orang meninggal tiap tahunnya akibat anapilaktik atau reaksi anapilaksis (disebabkan makanan 100, penicillin 400, media radiokontras 900, latex 3, getah 40-100). Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa anapilaksis merupakan masalah serious kesehatan di USA.(6,7,8,9)

Etiologi
Zat-zat yang sering menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis dapat dibagi atas (2,3,5-12) :
a. Mediator IgE
Protein ( kelapa, ikan, kerang-kerangan, telur )
Antiserum ( tetanus,dan antitoksin dipteri )
Hormon, enzim ( insulin, vasopressin, paratohormone ,ACTH dan TSH )
Enzim (Tripsin, kimotripsin, penisilinase, streptokinase)
Bisa binatang atau Sengatan lebah penyengat, lebah madu,semut api
Ekstrak alergen
Vaksin (Antilimsofitik Gamma Globulin)
Bahan-bahan tumbuhan (Alang-alang, rumput, pohon)
Bahan-bahan bukan tumbuhan (Kutu, bulu anjing dan kucing, dan hewan uji coba laboratorium
Makanan (Susu, telur, ikan laut, kacang,padi-padian, biji-bijian, gelatin pada kapsul)
Polisakarida
Dekstran dan ferum dekstran

b. Mediator komplemen
Reaksi transfusi dengan defisiensi IgA dan metrotreksat

c. Mediator arakidonat
Aspirin dan NSAID
d. Yang dibebaskan sel mast secara langsung
Opiad, tubokurarin, radiokontras dan hidralasin serta olah raga
e. Golongan protamin dan antibiotika
Golongan Penisilin, amfotericin B, nitrofurantoin, golongan kuinolon
f. Anastesi lokal
Prokain, lidokain
g. Relaksan otot
Suxamethonium, gallamine, pancuronium
h. Vitamin
Thiamin, asam folat
i. Agen untuk diagnostik
Sodium dehidrokolat, sulfobromophthalein
j. Bahan kimia yang berhubungan dengan pekerjaan
Etilen oksida
k. Idiopatik
Melphalan, prokarbazin, klorambusil, hidrokiurea, 5-fluorourasil, busulfan dan mitomisin.

Faktor Risiko(2,3,4,6,7,8)
 Atopi merupakan faktor risiko. Pada studi berbasis populasi di Olmsted County, 53% dari pasien anafilaksis memiliki riwayat penyakit atopi. Penelitian lain menunjukkan bahwa atopi merupakan faktor risiko untuk reaksi anfilaksis terhadap makanan, reaksi anafilaksis yang diinduksi oleh latihan fisik, anafilaksis idiopatik, reaksi terhadap radiokontras, dan reaksi terhadap latex. Sementara, hal ini tidak didapati pada reaksi terhadap penisilin dan gigitan serangga.
 Cara dan waktu pemberian berpengaruh terhadap terjadinya reaksi anafilaksis. Pemberian secara oral lebih sedikit kemungkinannya menimbulkan reaksi dan kalaupun ada biasanya tidak berat, meskipun reaksi fatal dapat terjadi pada seseorang yang memang alergi setelah menelan makanan. Selain itu, semakin lama interval pajanan pertama dan kedua, semakin kecil kemungkinan reaksi anafilaksis akan muncul kembali. Hal ini berhubungan dengan katabolisme dan penurunan sintesis dari IgE spesifik seiring waktu.
 Asma merupakan faktor risiko yang fatal berakibat fatal. Lebih dari 90% kematian karena anafilaksis makanan terjadi pada pasien asma.
 Penundaan pemberian epinefrin juga merupakan faktor risiko yang berakibat fatal.
Patofisiologi
Secara patofisiologis yang memegang peranan penting dalam shock anafilaktik adalah antigen, sel-T, sel plasma dan produksi IgE, resting sel-B, prostaglandin, leukotrin, dan asam arakidonat.(6,7,11,12,13)
Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipe segera (immediate type reaction) oleh Coomb dan Gell (1963), timbul segera setelah tubuh terpajan dengan allergen. Anafilaksis diperantarai melalui ikatan antigen kepada antibodi IgE pada sel mast jaringan ikat di seluruh tubuh individu dengan predisposisi genetik, yang menyebabkan terjadinya pelepasan mediator inflamasi.(3) Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: (1,3)

1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya dengan reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran pencernaan yang ditangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit T yang akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-3) yang menginduksi limfosit B berfloriferasi menjadi sel plasma (plasmosit). Plasmosit akan memproduksi IgE spesifik untuk antigen tersebut. IgE ini kemudian terikat padareseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan Basofil.
2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang sama dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas selmast.
Sensitisasi yang diikuti oleh reaksi dapat merupakan reaksi sendiri atau kombinasi dengan hapten, sintesis IgE atau dapat pula terikat pada permukaan sel mast atau bisofil. Pada re-exposure antigen terikat IgE, dipermukaan sel dapat terjadi degranulasi sel mast sehingga dibebaskan histamin, slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A), eosinophilic chemotactic factor anaphylaxis (ECF-A)
Tekanan arteri ditentukan oleh sfingter arteriol. Bila sfingter ini berelaksasi secara sistemik maka terjadilah shock distributif. Ada empat hal yang menyebabkan relaksasi dari sfingter ini yakni karena faktor neural, adanya mediator dalam sirkulasi, defek pada autoregulasi dan karena mediator lokal.6,7,10,12, 14
Secara neural, reseptor stimulasi adrenergik alfa menyebabkan vasokontriksi akan tetapi stimulasi adrenergik beta vasodilatasi. Adanya zat mediator di dalam sirkulasi seperti katekolamin, angoitensin dan mediator inflamasi menyebabkan tonus vaskuler sistemik menurun. Sementara hormon glukokortikoid menambah sensitivitas terhadap katekolamin. Autoregulasi terutama terdapat sebagai mekanisme pembuluh darah ginjal dan otak untuk mempertahankan pengaliran darah ke kedua organ ini bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik. Mediator lokal mungkin sebagai pertahanan terakhir pembuluh darah. Zat-zat seperti kalium, hidrogen, adenosin, karbon dioksida dan asam laktat yang dihasilkan oleh sel dapat menyebabkan vasodilatasi. Bila terjadi pengurangan resistensi vaskuler secara sistemik ( SVR ) menyebabkan tekanan darah meningkat. 6,7,10,12, 14
Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th2. IgE diikat oleh sel mast dan basofil melalui reseptor Fc. Sel mast banyak ditemukan pada jaringan ikat di bawah permukaan epitel, termasuk pada jaringan submukosa traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, dan pada lapisan dermis kulit. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tesebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan antigen IgE, sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator antara lain histamin, leukotrien, dan prostaglandin.(3)Respon fisiologis terhadap mediator tersebut antara lain spasme otot polos pada traktus respiratorius dan gastrointestinal, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, dan stimulasi ujung saraf sensorik. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala klasik anafilaksis seperti flushing (kemerahan), urtikaria, pruritus, spasme otot bronkus, dan kram pada abdomen dengan nausea, vomitus, dan diare. Hipotensi dan syok dapat tejadi sebagai akibat dari kehilangan volume intravaskular, vasodilatasi, dan disfungsi miokard. Peningkatan permeabilitas vaskuler dapat menyebabkan pergeseran 50 % volume vaskuler ke ruang extravaskuler dalam 10 menit.(2,3)
Histamin memperantarai efek tersebut di atas melalui aktivasi resptor histamin 1 (H1) dan histamin 2 (H2). Vasodilatasi diperantarai oleh baik reseptor H1 maupun H2. reseptor H2 membeikan efek langsung pada otot polos sementara reseptor H1 menstimulasi sel endotel untuk memproduki NO. Efek pada jantung sebagian besar diperantarai oleh reseptor H2. Resptor H1 secara primer bertanggungjawab untuk kontraksi otot polos extravaskular (misalnya otot bronkus dan otot gasrointestinal). (2)
Reaksi sistemik akut umumnya mulai timbul beberapa menit setelah pemaparan alergen; keterlambatan yang lebih lama dari 1 jam sangat jarang terjadi. Pada kepekaan yang ekstrim, penyuntikan alegen dapat segera menyebabkan keatian atau reaksi subletal dan umumnya reaksi-reaksi yang paling berat terjadi paling cepat.(15)
Para peneliti secara khusus membedakan anafilaksis dengan reaksi anafilaktoid. Dimana keduanya memiliki gejala, penatalaksanaan, dan resiko kematian yang sama, tetapi pada anafilaksis degranulasi sel mast atau basofil selalu diperantarai oleh IgE, sedangkan pada reaksi anafilaktoid degranulasi sel mast atau basofil tidak diperantarai oleh IgE. (3)

Klinis
Reaksi hipersensitivitas secara klasik dapat menimbulkan tiga bentuk yakni(6,7,8,9,11) :
1. Reaksi anafilaksis, dimana reaksi terjadi beberapa detik atau beberapa menit baik lokal maupun sistemik sesudah antigen memasuki tubuh. Bentuk reaksi antigen-antibody ini dapat terjadi begitu antigen memasuki tubuh atau dapat pula terjadi sesudah 30 menit dan dapat pula terjadi terlambat sesudah terjadinya re-exposure antigen (sesudah masuk antigen kedu kalinya). Bentuk reaksi dapat ringan dalam bentuk urtikaria tetapi dapat pula berat dalam bentuk respirasi distres atau shock.
2. Reaksi artus, yang reaksinya dalam bentuk lokal dapat dalam bentuk nekrosis sesudah masuknya antigen.
3. Serum sickness, yang merupakan reaksi sistemik dengan manifestasi lokal berupa urtikaria, demam, artritis, edema dan nefritis.
Secara klinis dapat terjadi delapan gejala, yakni (2,3,6,7,8,9,11):
1. Gejala permulaan
Berupa sakit kepala, gatal-gatal dan rasa panas.
2. Gejala kulit
Dapat dibagi atas eritematosa, urtikaria yang umum, angiodema, konjungtival, Pallor dan sianosis.
3. Gejala respirasi
Dapat berupa bronkospasme, rinitis, edema paru, dan batuk. Pernafasan memendek, obstruksi, tercekik karena adema epiglotis, stridor, serak, hilangnya suara, wheezing dan obstruksi komplit.
4. Gejala kardiovaskuler
Hipotensi, diaforesis, kabur, sinkope, pada jantung terjadi aritmia dan hipoksia.
5. Gejala gastrointestinal
Mual, muntah, keram abdomen, diare dan disfagia.
6. Gejala susunan saraf pusat
Parastesi, konvulsi, dan koma.
7. Gejala pada darah
Pembekuan yang tidak sempurna.
8. Gejala pada sendi
Dapat berupa artralgia.

Manifestasi klinis
Shock anafilaktik yang terjadi dapat disebabkan oleh antibiotik terutama penisilin, serum, vaksin, sari bunga, anastesi lokal dan gigitan ular. Pemberian oral dapat pula terjadi akibat pemberian yodium dan asetil salisilat. Gejala-gejalanya adalah gatal, urtikari, dispnea, wheezing, sinkope, nyeri abdomen, nausea dan muntah. (2,3,6,7,8,9,11)
Pada pemeriksaan fisis didapatkan ronki, susah bernafas, hipotensi, muka memerah atau pucat dan sionasis.
Shock dapat dibagi atas dua tipe, yaitu (6,7,8,9,11):

1. Tipe I atau anafilaksis, disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas. Secara serologis terdapat antigen, antibodi IgE dan terdapat mediator yang dibebaskan oleh sel mast ataupun bisofil. Mediator berupa granula dalam sel mast atau dibentuk sesudah masuknya antigen. Yang bertindak sebagai mediator adalah histamin, prostaglandin D2, leukotrin, yang meliputi C4, D4 dan E4, PAF, tripase, simase, heparin, vasodilatori sitokines, faktor tumor nekrosis dan kondroitin sulfat. Faktor mediator ini menyebabkan permeabilitas kapiler bertambah, dilatasi pembuluh sistemik, vasokontriksi pulmoner, bronkokontriksi, aritmia dan negatif inotropik.
2. Tipe II atau reaksi anafilaktoid, sama dengan reaksi anafilaksis akan tetapi tidak terdapat antibodi IgE. Shock anafilaktik seperti ini disebabkan oleh kontras media, NSAID atau aspirin.
Pada binatang percobaan bentuk-bentuk shock anafilaktik bervariasi mulai dari bentuk yang paling ringan sampai ke berbagai bentuk aspiksi yang disebabkan oleh bronkokonstriksi, gejala traktus digestifus berupa muntah dan diare, kongesti pada hati sampai dengan gejala hipotensi. Pada darah terjadi neutropenia, trombositopenia, masa pendarahan yang panjang dan penurunan serum komplemen. Pada manusia kegagalan sirkulasi dan repirasi merupakan penyebab kematian yang utama. (2,3,6,7,8,9,11)
Pada reaksi anafilaksis yang berat reaksi dapat segera terjadi dan kematian dapat terjadi beberapa menit sesudah terjadinya reaksi anafilaksis. Pada reaksi antigen-antibodi sesudah terjadinya reaksi sensitized complex maka dapat dibebaskan berbagai intermedia antara lain histamin yang menyebabkan terjadinya dilatasi arteriolar, serotonin menyebabkan terjadinya konstuksi venula, dan SRS-A yang menyebabkan terjadinya kontriksi bronkial dan bradikinin. (2,3,6,7,8,9,11)
Secara klinis kecurigaan terhadap shock anafilaktik adalah bila terjadi nadi ireguler atau tidak teraba, distres respirasi, sianosis, serak, stridor dan difagia yang disebabkan oleh edema laring. Keluhan pernafasan dapat berupa hilangnya suara pernafasan, batuk, wheezes, di samping urtikaria, angiodema atau edema konjungtiva. Akan tetapi tanda yang khas terjadinya reaksi anafilaksis yang cepat sesudah kontak dengan antigen dan terjadi secara progresif. Pemeriksaan forensik ditujukan pada edema paru, kongesti peribronkial, submukosal edema, perangkap udara, sekresi bronkial intraluminal dan infiltrat eosinofilik pada hipofaring, trakea dan paru. Pemeriksaan posmortem selalu diarahkan pada paru. (2,3,6,7,8,9,11)
Reaksi anafilaksis dapat dilihat dalam bentuk urtikaria, angiodema, obstruksi respirasi sampai dengan kolaps pembuluh darah. Urtikaria adalah bentuk paling penting yang terjadi pada reaksi anafilaksis. Di samping itu terdapat pula bentuk lainnya, seperti rasa takut, kelemahan, keringat dingin, bersin, rinorhea, asma, rasa tercekik, disfagia, mual dan muntah, nyeri abdomen, inkontinensia, sampai dengan kehilangan kesadaran. Akan tetapi vasodilatasi, hipotensi dan shock merupakan trias yang sering terjadi sebagai reaksi anafilaksis. Komplikasi jantung dapat berupa aritmia, gagal jantung, iskemia, stroke, bahkan sampai kematian. Telah dilaporkan pula terjadinya DIC. Walaupun demikian, sebab kematian utama dari anafilaksis adalah shock dan obstruksi saluran pernafasan. Obstruksi saluran pernafasan dapat berupa edema laring, bronkospasme dan edema bronkus dan dapat pula terjadi dalam bentuk shock-lung syndrome. (2,3,6,7,8,9,11)

a. Onsetnya mendadak dan gejalanya progresif
o Pasien akan merasa dan terlihat tidak tenang.
o Reaksi yang hebat berlangsung hanya beberapa menit. Bisa juga reaksi onsetnya berlangsung lambat.
o Waktu onset reaksi anapilaksis dipengaruhi dan tergantung oleh faktor pencetus.
o Onset reaksi nya pada jalur intravena lebih cepat dibandingkan dengan jalur lain termasuk lewat oral.
o Pasien selalu terlihat cemas.

b. Life-threatening Airway dan Breathing dan maslah Circulation
pasien biasanya sering mengalami maslah pada A atau B atau C terjadi bersamaan. Sehingga perlu penanganan yang tepat pada ABCDE nya.
Masalah Airway:
 Pembengkakan jalan napas (Airway swelling), misalnya pembengkakan lidah (pharyngeal/laryngeal edem). Pada pasien bisanya kesulitan dalam bernapas.
 Suara ngorok.
 Stridor – suara ini terdengar sangat keras pada saat suara inspirasi dimana disebabkan oleh sumbatan jalan napas atas.
Breathing problems:
 Shortness of breath – increased respiratory rate.
 Wheezing.
 Patient becoming tired.
 Kejang yang disebabkan karena hypoxia.
 Cyanosis (terlihat kebiruan) – ini biasanya gejala lanjut.
 Gagal nafas.
Masalah Circulation:
 Tanda-tanda dari syok yaitu pucat dan dingin.
 Takikardi.
 Tekanan darah turun (hypotension) – feeling faint (dizziness), kolaps.
 Derajar kesadaran turun atau hilang kesadaran.
 Anapilaksis dapat menyebabkan myocardial ischaemia dan gambaran electrocardiograph (ECG) yang memperlihatkan ketidaknormalan.
 Cardiac arrest.
Masalah sirkulasi (sering menyertai syok anapilaksis) dapat dapat menyebabkan langsung myocardial depression, vasodilatasi dan gangguan capillar, dan kehilangan cairan dari sirkulasi. Bradycardia (pulse yang lambat) biasanya selalu terjadi belakangan, sering terjadi sebelum atau menandai akan terjadi cardiac arrest. Setelah masalah Airway, Breathing dan Circulation sudah dapat dikusai dan ditangani baru setelah itu status neurologisnya dinilai (Disability problems) sebab bisa saja terjadi perfusi jaringan otaknya menurun.10
c. Perubahan kulit dan atau mucosa
Penanganan pada bagian yang mengalami Exposure sambil melakukan penanganan ABCDE.
 Perubahan pada kulit dan mukosa selalu menyertai dari reaksi anapilaksis yaitu lebih dari 80%.
 Biasanya terjadi secara luas.
 Perubhan itu bisa terjadi pada kulit, mukosa, atau keduanya.
 Perubahan tersebut biasanya dalam bentuk gambaran erythema – a patchy, atau generalisata, bisa juga dalam bentuk ruam merah.
 Dapat juga dalam bentuk urticaria yang ditemukan diseluruh tubuhnya. Biasanya dirasakan sangat gatal sekali.
 Angioedema
Walaupun terjadi perubahan pada kulit dengan gambaran menakutkan atau membuat stress pasien, tetap penanganan pada kulit dan mukosa setelah masalah life-threatening airway, breathing dan circulation problems dapat teratasi.10

Pemeriksaan Labolatorium
Peningkatan hematokrit umumnya ditemukan sebagai akibat dari hemokonsentrasi karena peningkatan permeabilitas vaskuler. Serum tryptase sel mast biasanya meningkat. (2,3,6,7,8,9,11)
Diagnosis Banding
Keadaan anafilaksis harus di DD dengan asma yang akut, sinkope vasovagal, tensi pnemotorak ventil, edema paru, aritmia jantung, infark miokard, shock kardiogenik, aspirasi bolus, emboli paru, kejang, keracunan obat akut, shock septik dan shock toksik.
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik, seperti(6,7,8,9,11) :
1. Reaksi vasovagal
Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.
2. Infark miokard akut
Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
3. Reaksi hipoglikemik
Reaksi hipoglikemik disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.


4. Reaksi histeris
Pada reaksi histeris tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
5. Carsinoid syndrome
Pada syndrom ini dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma.
6. Chinese restaurant syndrome
Dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan tanpa MSG.
7. Asma bronchial
Gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas yang berbunyi ngik-ngik. Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari.
8. Rhinitis alergika
Penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus, mis. debu, terutama di udara dingin.dan hampir semua kasus asma diawali dengan RA
.
Terapi
Yang terpenting adalah prevensi dari setiap pencetus, resusitasi kardiopulmoner, penggantian cairan dan membebaskan mediator. Dalam keadaan akut diberikan epinefrin, torniket, infus intravena, cairan antihistamin, intubasi dan trakeostomi; dan pasien harus dirawat di ICU.
Pada prinsipnya terapi dibagi atas :
a. Usaha preventif
b. Usaha pengatasan anafilaksis
Usaha preventif
Hindari faktor alergen seperti makanan. Alergi terhadap makanan 8% pada anak-anak, dan 1-2% pada dewasa, yakni antara lain terhadap kacang, telur, susu dan ikan. Selain itu beberapa hal yang dapat memungkinkan terjadinya anafilaksis adalah suntikan penisilin anestesi lokal, rontgen radio-kontras, latek, idiopatik, angiotensin konverting inhibitor dan sebab lain.
Preparat yang paling sering di rumah sakit mengakibatkan shock anafilaktik adalah beta-laktam terutama penisilin G. Tetapi antara 5-16,5% pasien yang alergi terhadap penisilin mengalami alergi pula terhadap sefalosporin. Tes kulit tidak memberikan jaminan karena yang alergi terhadap penisilin hanya 15-40% yang positif terhadap tes kulit. Pada bisa ular dapat dilakukan tes desensitasi bila tes alergi positif.
Untuk menghindari reaksi anafilaksis dapat dilakukan dua hal, yaitu mengadakan tes kulit dan desensitasi, disamping mencari hubungan kausa alergi.
Karena angka mortalitas tinggi maka yang terpenting adalah prevensi. Untuk prevensi dapat dilakukan :
1. Tes kulit dapat berguna untuk antibiotik beta-laktam, bisa ular, anatesi lokal, insulin, kimopapin, dan berbagai bahan makanan. Karena reaksi anafilaksis dapat terjadi sekalipun hanya dengan tes kulit maka harus di bawah pengawasan yang ketat.
2. Riwayat penyakit dan riwayat reaksi terhadap IgE dari pemberian antigen. Dalam riwayat penyakit ini harus harus dicurigai pula terdapatnya cross sensitif terhadap obat yang lain.
3. Riwayat terdapatnya penggunaan beta-blocker dapat menyebabkan resiko terhadap anafilaksis lebih tinggi dan refraktor terhadap pengobatan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapat kadar histamin yang tinggi, rendahnya serum komplemen dan berkurangnya kadar kinogen yang mempunyai berat molekul yang tinggi.

Usaha pengatasan
Usaha pengatasan anafilaksis sama dengan shock lainnya, yaitu(2,3,6-9,11,12,14) :
1. Lindungi jalan nafas (airway=A), pernafasan (breathing=B) dan sirkulasi (circulation=C).
2. Gunakan epinefrin yang merupakan drug of choice. Injeksi 0,5 cc epinefrin/1000 segera mungkin yang dapat diberikan SC, IM atau IV 0,3-0,5 cc (0,3-0,5 mg dalam pengencer 1:1000). Pemberian epinefrin ini dapat dilanjutkan (1:1000) 0,2-0,5 subkutan atau intramuskuler sampai dengan 3 dosis dengan interval 1-5 menit. Atau dapat pula diberikan 0.5-1 mg intramuskuler atau 0,5 mg yang diencerkan, diberikan dalam waktu 5 menit yang diikuti dengan infus terutama bila terjadi hipotensi.
3. Ulangi injeksi epinefrin bila perlu setiap 10-20 menit, disamping itu kalau tempat injeksi dapat dialokasir dapat diberikan secara subkutan dosis yang sama 0,1-0,2 mg pada tempat injeksi. Secara umum diberikan (a) difenhidramin 1,25 mg/kg maksimum 50 mg IV atau IM, (b) hidrokortison 200 mg atau metilprednisolon 50 mg IV setiap 6 jam selam 24-48 jam, dan (c) simetidin 300 mg IV sesudah 3-5 menit.
4. Bila terjadi hipotensi harus diberikan (a) epinefrin (1:1000) 1 ml dalam 500 ml NaCI 0,9% 0,5-2,0 ml/min atau 1-4 g/min, via vena sentral, (b) NaCI 0,9 %, Ringer laktat atau larutan osmotik koloid, (c) levarterenol bitartrat 4 mg dalam 100 cc dalam dektrosa 5% dengan dosis 2-12 g/min IV, (d) glukagon, jika pasien menerima terapi -blocker, 1 mg/ml IV bolus atau infus 1 mg/liter dektrose 5% dengan kecepatan 5-15 ml/min.
5. Bila shock akibat injeksi di tangan terutama karena vaksinasi, pasang torniket pada daerah yang proksimal dan berikan epinefrin 0,1-0,3 cc pada tempat injeksi.
6. Bila terjadi adema laring, berikan epinefrin intravena (IV) dan bronkospasme. Dapat pula berikan 1 cc (0,1 mg) epinefrin dalam larutan 10 cc NaCI 0,9% intravena secara perlahan-lahan lebih dari 5 menit. Dosis ini dapat diulangi sekali atau dua kali tiap 10 menit. Pertimbangkan pula pemberian infus dengan dosis permulaan 0,5-10 g/menit bila terjadi hipotensi. Untuk obstruksi laring dilakukan pula intubasi endotrakeal, krikotiroidotomi, trakeostomi, oksigen dan ventilasi mekanis.
7. Bila terjadi bronkokontriksi, berikan (a) suplemental oksigen, melalui hidung atau mulut 5-10 liter /menit bila tidak bia persiapkandari mulut kemulut (b) aminofilin, bila pasien tidak dalam shock, berikan 5 mg/kg sampai 500 mg IV lebih dari 20 menit kemudian 0,3-0,8 mg/kg/jam IV, (c) metaproterenol (5%) 0,3 ml dalam 2,5 ml NaCI atau albuteral (0,5%) 0,5 ml dalam 0,2 ml epinefrin secara nebulizer, dan (d) isoproterenol jika pasien refrakter terhadap semua obat dengan dosis 0,0375 g/kg/min IV ditambah secara pelan 0,225 g/kg/min.
8. Untuk pasien-pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, tiroid dan arteriosklerosis serebral dapat diberikan setengah dosis dan harus dievaluasi kemungkinan terjadinya hipertensi.
9. Pertimbangkan intubasi atau krikotiroidotomi dan berikan oksigen yang tinggi.
10. Harus dihentikan pemberian antigen yang menyebabkan anafilaksis.
11. Pemberian antihistamin dapat menghambat efek mediator dan merupakan pilihan sesudah epinefrin dan harus dikombinasi antara H1-blocking antihistamin (difenidramin ) 50 mg IV ( kerana H1 saja dapat merugikan reaksi anafilaksis ) dan H2-blocking antihistamin ( simetidin ) 300 mg IV tiap 6 jam dan ranitidin 50 mg IV tiap 6-8 jam.
12. Pengatasan hipotensi dapat menurut skema shock 1 liter kristaloid ( NaCI atau Ringer laktat ) tiap 20-30 menit. Di samping itu pertimbangkan pula pemberian kortikosteroid, metilprednisolon 125 mg atau hidrokortison 250 mg IV dan dapat diulangi tiap 6-8 jam.
13. Pada pasien dengan keluhan anafilaksis yang ringan harus diobservasi selama 3-8 jam dan diberikan difendramin 25-50 mg oral dalam masa 6-8 jam sampai beberapa hari.
Gambar 2. Alogaritma penanganan syok anapilaksis10
Monitoring (2,3,6-9,11,12,14)
 Observasi ketat selama 24 jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik
 Klinis : keadaan umum, kesadaran, vital sign, produksi urine dan keluhan
 Darah : Gas darah
 EKG

Prognosis
Anaphylaxis may occur following re-exposure to the inciting agent. Rates of recurrence vary with the nature of the inciting agent and host factors. Other than the possibility of recurrence or the occurrence of complications, anaphylaxis carries no long-term effects. 2,3,6-9,11,12,14
Kematian Pada Syok Anafilaktik
Kematian pada syok anafilaktik kebanyakan disebabkan oleh kolapsnya jantung dan edema laring oleh obat-obatan, makanan, dan gigitan serangga. Gejala yang timbul pada serangan anafilaksis antara lain pusing, gatal pada kulit, urtikaria, sesak nafas, wheezing, kesulitan dan kegagalan pernafasan. Pada kematian karena anafilaksis, munculnya gejala biasanya berlangsung pada 15-20 menit pertama. Saat pasien meninggal sangat dibutuhkan dokumen (medical record) yang baik tentang perkembangan penyakit pasien mulai dari gejala terjadinya reaksi anafilaksis sampai pasien meninggal. Kematian biasanya terjadi dalam waktu 1-2 jam. Beberapa serangga seperti salah satu jenis semut, bisa yang dihasilkan sangat toksik dan kematian terjadi tanpa berlangsungnya reaksi anafilaktik jika gigitannya banyak. (16)
Reaksi anafilaksis yang fatal menyababkan terjadinya acute respiratory distress atau circulatory collapse. Obstruksi pada saluran pernafasan bagian atas dapat disebabkan oleh edema laring dan pharing. Pada saluran pernafasan bagian bawah disebabkan oleh bronkospasme dengan kontraksi dari otot-otot pernafasan, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. Henti jantung mungkin disebabkan karena terhentinya pernafasan, Efek langsung oleh mediator kimia pada syok anafilaksis disebabkan oleh hilangnya cairan intravascular oleh edema dan vasodilatasi.(16)
Dalam satu kepustakaan dituliskan Pumphrey dan Roberts melakukan autopsi pada 56 kasus kematian syok anafilaksis. Didapatkan 16 kasus disebabkan oleh alergi makanan karena kesulitan bernafas dengan 13 kasus karena henti nafas. Sebaliknya, syok tanpa kesulitan bernafas ditemukan pada 9 dari 19 kasus karena sengitan serangga dan 12 dari 21 kasus karena reaksi iatrogenik.(16)
Pada autopsi, hal-hal yang bisa ditemukan tidak spesifik. Seringkali didapatkan edema laring, tetapi jarang didapatkan obstruksi komplit dari saluran pernafasan. Pumphrey dan Roberts melaporkan edema laring dan pharing masing-masing didapatkan 8% dan 49%. Emfisema yang disebabkan oleh bronkokonstriksi bisa ditemukan. Kongesti pulmonal dan visceral, edema, dan perdarahan pulmonal bisa didapatkantetapi tidak spesifik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Pumphrey dan Roberts, 23dari 56 kematian karena anafilasis tidak ditemukan kelainan kelainan makroskopik pada autopsi.(16)
Untuk membuat diagnosis adanya reaksi anafilaksis ditentukan adanya riwayat alergi atau ada yang menyaksikan seseorang meninggal karena sengatan serangga, makanan dan obat-obatan. Kebanyakan kematian yang berhubungan dengan obat-obatanyaitu penggunaan penicillin atau agen iodine-containing contrast yang digunakan untuk tujuan diagnosis. Petunjuk penggunaan agen low-osmolar pada radiologi dapat mengurangi jumlah reaksi membahayakan yang bisa timbul karena agen iodinated contrast.(16)
Pada kematian yang disebabkan oleh gigitan serangga, adanya elevasi dari venom-spesifik IgE antibody dapat dideteksi pada darah postmortem. Elevasi level dari IgE spesifik antibody tidak selalu mengindikasikan terjadinya reaksi anafilaktik, kecuali jika seseorang memang sensitif dengan venom (bisa) tersebut. Ditemukannya antibodi dapat menjelaskan terjadinya reaksi anafilaksis karena gigitan serangga. Tidak semua kematian karena reaksi anafilaksis menunjukkan adanya antibodi yang spesifik dengan serangga yang menggigitnya. Pada beberapa kasus, cross-reaction dengan antigen pada serangga lainnya yang bisa menyebabkan kematian karena alergi masih memungkinkan.(16)
Aspek Etika dan Medikolegal
Reaksi alergi yang bisa timbul tidak sama pada setiap orang, bisa ringan berupa gatal yang hilang dengan sendirinya, bisa pula berat hingga fatal. Reaksi alergi terhadap obat muncul tanpa diduga. Seseorang yang tadinya tidak apa-apa minum Antalgin, suatu ketika gatal sekujur tubuhnya setelah minum antalgin. Jangka waktu munculnyapun bisa cepat bisa lambat, demikian pula berat ringannya. Seseorang mungkin langsung syok tak sadarkan diri sesaat setelah minum antalgin, misalnya.(17) Sementara yang lain hanya gatal, beberapa saat kemudian hilang gatalnya. Berikut beberapa contoh kasus pasien dengan reaksi alergi :
 Seorang penderita mendapatkan obat. Beberapa saat kemudian penderita tersebut datang lagi dengan keluhan gatal setelah minum obat, yang kemungkinan menandakan reaksi alergi. Pada kasus ini, seorang dokter wajib memberikan catatan tertulis reaksi alergi obat kepada penderita. Tidak cukup hanya mengatakan bahwa si penderita alergi terhadap obat A. Catatan diberikan kepada penderita disertai pesan agar menyerahkan catatan alergi tersebut kepada dokter manapun jika sewaktu-waktu sakit. Selain memberikan catatan riwayat alergi kepada penderita, dokter tersebut wajib mencatat dalam rekam medik.(17)
 Seorang penderita membawa satu tas berisi obat minum, obat suntik dan suntikan kecil, disertai surat dari dokter ahli agar penderita diinjeksi obat secara berkala selama waktu tertentu (kasus penderita TBC berulang). Dalam surat disebutkan agar penderita ditest (test kulit) terlebih dahulu menggunakan pengenceran tertentu. Siapa sangka, ketika test sedang berlangsung (belum sampai tuntas test kulit), tiba-tiba penderita syok (anafilaktik syok). Tak sadarkan diri, ngorok, nadi tak teraba, napas megap-megap. Setelah tindakan darurat penanganan anafilaktik syok sesuai prosedur tetap (protap), penderita dapat diselamatkan. (17)
 Seorang pasien berobat ke dokter kemudian padasaat pasien diterapi dengan suntikan pasien tiba-tiba kolaps akibat obat suntik yang diberikan atau yang biasa disebut anafilaktik syok. Dalam hal ini dokter perlu melawan reaksi tersebut dengan memberikan penanganan berupa pemberian kortikosteroid atau kalau perlu pemberian adrenalin. Namun dokter tersebut tidak memberikan obat tersebut karena alasan obat tersebut tidak ada sehingga pasien tersebut meninggal dunia. Maka dokter tersebut dapat dipidana karena kealpaan dan kelalaiannya menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.(18,19)
Adapun aspek medikolegal pasien dengan anafilaktik yaitu: (1,2,18,19)
 Keterlambatan menganggap/madiagnosis pasien tersebut mengalami anafilaktik padahal sudah terjadi sinkop dan hipotensi sehingga tidak diberikan penanganan yang cepat dan tepat.
 Tidak menganamnesa penyakit alergi yang diderita pasien sebelumnya sebelum terapi diberikan (obat, makanan, atopi)
 Kelalaian memeberikan resep injeksi epinefrin dan penjelasan kepada pasien tentang penyimpanan dan penggunaannya.
 Kegagalan mendiagnosis penyebab terjadinya anafilaktik
 Tidak mencegah terjadinya reaksi obat pada pasien yang diketahui hampir atau sensitif dengan melakukan tes terlebih dahulu (cross-reacting drug).
 Lalai memberikan informed consent sebelum melakukan tindakan pada pasien
 Tidak memberikan penanganan yang tepat (sesuai prosedur penanganan syok anafilaktik)
 Tidak bersiaga dengan menyediakan emergency kit bila melakukan injeksi.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Anapilakis merupakan reaski sitemik, yang merupakan reaski alergi tipe I yang sering berakibat fatal. Reaksi Anapilaksis dapat disebabkan oleh beragam macam sebab, diantaranya makanan, latex, obata-obatan, reaksi sengatan serangga serta masih banyak penyebab lainnya.
Pemberian epineprin dengan segera merupakan penanganan yang sangat penting dalam penatalaksanaan syok anapilaksis. Dan beberapa penatalaksanaan tambahan diantaranya H1 dan H2 reseftor agonis, kortikosteroid, dan bronkodilator, hanya saja pemberiannya tidak dapat menggantikan epineprin. Pasien dengan riwayat reaski anapilaksis harus di berikan edukasi tentang kondisi, khususnya dengan memperhatikan untuk mencegah faktor yang sudah diketahui dapat mencetuskan reaksi anapilaksis pada tubuhnya. Serta dianjurkan setiap pasien untuk memiliki dan diajarkan cara menggunakan epineprin secara auto injeksi (menginjeksi sendiri) dan melakukan konsultasi kepada orang lain setiap waktu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonym. Syok Anafilaktik. [online]. 2008. [cited 2009 augustus 05]. Available from URL: http://www.fkunair.blog.frienster.com
2. Anonym. Anafilaksis (reaksi alergi akut). [online]. 2009. [cited 2009 Augustus 05]. Available from URL: http://www.medicastore.com
3. Anonymous. Anaphylaxis. [online]. 2008. [cited 2009 Augustus 05]. Available from URL: http://www.wikipedia.com
4. Schwartz, LB. Systemic Anaphylaxis. In:Goldman L, Ausiello D. Cecil Textbook of Medicine. Ed. 22. Philadhelpia:Saunders; 2004.
5. Neugut AI, Ghatak AT, Miller RL. Anaphylaxis in the United States, An Investigation Into Its Epidemiology. Arch Intern Med. 2001;161:15-21.
6. Johnson RF, Peebles RS. Anaphylactic Shock: Pathophysiology, Recognition, and Treatment. Emedicine. [online]. 2005. [cited 2009 Augustus 05]. Available from URL: www.emedicine/anaphyplactic/com
7. Krause RS. Anaphylaxis. [online] 2008. [cited 2009 augustus 05]. Available from URL: www.emedicine/anaphyplactic/com
8. Anonym. Reaksi Alergi. [online] 2009. [cited 2009 augustus 05]. Available from URL: www.emedicine/anaphyplactic/com
9. Anonym. Shock (circulatory) [online] 2009 [cited 2009 augustus 05]. Available from URL: www.medicastore/anaphyplactic/com
10. Working Group of the Resuscitation Council (UK). Emergency treatment of anaphylactic reactions, Guidelines for healthcare providers. 2008.
11. Limmer DD, Mistovich JJ, Krost WS. Anaphylactic and Anaphylactoid Reactions. [online] 2004. [cited 2009 augustus 05]. Available from URL: www.envidatec /com.
12. Linzer J. Pediatrics, Anaphylaxis: Differential Diagnoses & Workup. Emedicine. [online] 2008. [cited 2009 augustus 05]. Available from URL: www. eMedicine Specialties/Emergency Medicine/Pediatric/com
13. Pushparaj J, Tay HK, H’ing SC, Pitman N, Xu D et al.The cytokine interleukin-33 mediates anaphylactic shock. [online].2009. [cited 2009 augustus 05]. 24:9773–9778. Available from URL: www.pnas.org/cgi/content/full/0901206106/DCSupplemental
14. Peavy RD, Metcalfe DD. Understanding the Mechanisms of Anaphylaxis. [online] 2008 [cited 2009 augustus 05]. Available from URL: www.emedicine/anaphyplactic/com
15. Solomon WR. Gangguan Alergi Biasa (Anafilaksis dan Penyagit Atopik). In: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Ed. 4. Jakarta: EGC.1995
16. DiMaio, VJ. DiMaio D. Forensic Pathology. Ed. 2. Florida: CRC; 2001.
17. Rifki AZ. Syok dan Penanggulangannya. Lab/SMF Anestesiologi FKUA/RSUP Dr. M. Djamil. Padang [online]. 2007.[cited 2008 May 12]. Available from URL: http://www.Kesehatanonline.com
18. Anonymous. Peran Perlindungan Hukum Terhadap Dokter. [online]. [cited 2008 May 12]. Available from URL: http://www.Klinikmedis.com
19. Anonymous. Malpraktek Medik (dikutip dari buku etika kedokteran dan hokum kesehatan M yusuf hanafiah). [online].2007. [cited 2008 May 12]. Available from URL: http://www.Goresan Jiwamu.com


0 komentar:

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer

Arsip Blog