kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Jumat, 14 Agustus 2009

Diptheri

BATASAN DIPHTHERIA

Adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh� Corynebacterium� diphtheriae� dengan�� ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak� pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai� memproduksi� toksin yang merembes ke sekeliling� serta� selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan� darah. Toksin ini� merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A� (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan� dengan ikatan� disulfida.� Fragmen� B �diperlukan� untuk� melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan� penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini� penting� dalam menimbulkan efek toksik pada sel.

Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis.� Proses� ini� memungkinkan� toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang� mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek� toksik� pada� jaringan tubuh� manusia� adalah� hambatan pembentukan protein dalam sel.

Pembentukan protein dalam� sel dimulai� dari penggabungan 2 asam amino yang telah� diikat� 2 transfer� RNA� yang� menempati kedudukan P dan� A� dari� pada ribosome. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk membentuk polipeptida� sesuai� dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan� pindahnya gabungan transfer RNA� +� dipeptida dari� kedudukan� A� ke kedudukan P.� Proses� translokasi� ini memerlukan� enzim� translokase� (Elongation� faktor-2)�� yang aktif.

Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan� fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan� masuk� dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :

NAD+� + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) +� H2� + Nicotinamide� ADP-ribosil-EF2� yang inaktif .������������ ��������

Hal ini� menyebabkan proses� translokasi tidak berjalan sehingga� tidak� terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi� inflamasi lokal� yang� bersama-sama� dengan jaringan� nekrotik� membentuk bercak eksudat� yang� mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin.� Terbentuklah suatu� membran yang melekat erat berwarna� kelabu� kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain� fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan� sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam� periode penyembuhan.

Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan� pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan� perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang� tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.

Antitoksin� diphtheria� hanya berpengaruh� pada� toksin� yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi� penetrasi� ke dalam sel.� Setelah� toksin� terfiksasi dalam� sel,� terdapat periode laten yang� bervariasi� sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati� toksik biasanya� terjadi dalam� 10-14� hari, manifestasi saraf� pada� umumnya� terjadi setelah� 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol� adalah nekrosis� toksis� dan degenerasi hialin� pada� bermacam-macam organ� dan� jaringan. Pada jantung� tampak� edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi.� Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi� otot� dan fibrosis� interstisial.� pada saraf� tampak� neuritis� toksik dengan� degenerasi lemak pada selaput mielin.� Nekrosis� hati bisa� disertai� gejala� hipoglikemia,� kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.

MANIFESTASI KLINIK

Tergantung� pada berbagai faktor, maka� manifestasi� penyakit ini�� bisa�� bervariasi� dari� tanpa� gejala�� sampai�� suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita terhadap toksin� diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan membentuk toksin) C. diphtheriae, dan lokasi penyakit secara anatomis.� Faktor-faktor� lain� termasuk umur, penyakit sistemik� penyerta� dan penyakit-penyakit� pada� daerah� nasifaring� yang� sudah� ada sebelumnya.� Masa� tunas� 2-6 hari.� Penderita� pada� umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam� jarang melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala� lain tergantung pada lokalisasi penyakit diphtheria.

Diphtheria Hidung

Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan� tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen� mengadakan lecet� pada� nares dan bibir atas.� Pada� pemeriksaan� tampak membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat� dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata� sehingga diagnosis lambat dibuat.

Diphtheria Tonsil-Faring

Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2� hari timbul membran yang melekat, berwarna� putih-kelabu dapat� menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula� dan palatum molle atau ke distal ke laring dan trachea.

Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi� lymphadenitis� servikalis dan� submandibularis� bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas� timbul bullneck.� Selanjutnya tergantung derajat elaborasi� toksin dan� luas� embran. Bila kasus berat, bisa� terjadi� kegagalan pernafasan� atau� sirkulasi. Dapat terjadi� paralisis� palatum molle� baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran� menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit� miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran� terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

Diphtheria Laring

Biasanya merupakan perluasan diphtheria faring, pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.� Gejala� sukar dibedakan� dari� tipe infectious croup� yang�� lain� seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk� kering dan� pada obstruksi laring yang berat terdapat� retraksi� suprasternal,� subcostal� dan� supraclavicular.� Bila�� terjadi pelepasan� membran� yang� menutup jalan� nafas� bisa� terjadi kematian mendadak. pada kasus berat, membran meluas ke percabangan tracheobronchial. Dalam hal diphtheria laring� sebagai perluasan daripada diphtheria faring, gejala merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia.

Diphtheria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva, Telinga

Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,� edema�� dan� membran pada� konjungtiva� palpebra.� Pada telinga� berupa� otitis eksterna dengan� sekret� purulen� dan berbau.

DIAGNOSIS

Harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Penentuan kuman diphtheria dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya.� Cara� yang� lebih akurat� adalah� dengan� identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes� toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas.


DIAGNOSIS BANDING

Diphtheria Hidung :

1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)

2. Benda asing dalam hidung

3. Snuffles (lues congenita).

Diphtheria Faring :

1. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore �throat)

2. Mononucleosis infectiosa

3. Tonsilitis membranosa non bakterial

4. Tonsillitis herpetika primer

5. Moniliasis

6. Blood dyscrasia

7. Pasca tonsilektomi

Diphtheria Laring :

1. Infectious croup yang lain

2. Spasmodic croup

3. Angioneurotic edema pada laring

4. Benda asing dalam laring

Diphtheria Kulit :

1. Impetigo

2. Infeksi o.k. streptokokus/stafilokokus

PENYULIT

1. ��Obstruksi jalan nafas :

�� �� Disebabkan oleh karena tertutup jalan nafas oleh membran diphtheria atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah sub mandibular dan cervical.

2. ��Efek toksin.

�� ���Penyulit pada jantung berupa miokardioopati toksik bisa terjadi pada minggu ke dua, tetapi bisa lebih dini (minggu pertama) atau� lebih� lambat (minggu ke enam).� Manifestasinya� bisa berupa� takhikardi, suara jantung redup, bising jantung,� atau aritmia. Bisa pula terjadi� gagal� jantung. Penyulit� pada� saraf (neuropati) biasanya� terjadi� lambat,� bersifat bilateral,� terutama� mengenai saraf� motorik� dan� sembuh sempurna. Kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau, terjadi� regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5� dan� ke-7. Paralisa ekstremitas bersifat bilateral� dan simetris� disertai hilangnya deep tendon reflexes,� peningkatan� kadar� protein dalam liquor� cerebrospinalis.� Bila terjadi� kelumpuhan� pada pusat� vasomotor� dapat� terjadi hipotensi dan gagal jantung.

3. Infeksi sekunder dengan bakteri lain :

����� Setelah� penggunaan antibiotika secara luas, penyulit� ini sudah sangat jarang.

TATALAKSANA

1. Isolasi dan Karantina :

Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan� berikut terlaksana :

a. biakan hidung dan tenggorok

b. seyogyanya dilakukan tes� Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)

c. diikuti� gejala� klinis� setiap hari sampai masa tunas terlewati.

Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.

Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi

Bila kultur (+)/Schick test (-) :pengobatan carrier

Bila� kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti� toksin diphtheria + penisilin

Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif)

2. Pengobatan :

Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati� infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.

2.1. U m u m :

Istirahat� mutlak� selama kurang lebih� 2� minggu,� pemberian cairan serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga� agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban� udara dengan menggunakan nebulizer.

Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

2.2. K h u s u s :

2.2.1. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)

Antitoksin� harus� diberikan segera setelah� dibuat� diagnosis diphtheria.

Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu.� Oleh karena pada pemberian ADS terdapat� kemungkinan� terjadinya� reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.

Tes kulit dilakukan� dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis �1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.

Tes� konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes� larutan serum� 1 : 10 dalam garam faali. Pada� mata� yang� lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20� menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.

Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS� diberikan� dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan intravena.

Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara empiris� berdasarkan� berat� penyakit, tidak tergantung� pada� berat� badan penderita, dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.

Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :

20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit,� konjungtiva).

40.000 KI i.v. untuk diphtheria� sedang (pseudomembran terbatas pada tonsil, diphtheria laring).

100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran� meluas ke luar tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin).

Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap� kemungkinan� efek samping� obat/reaksi� sakal� dilakukan selama� pemberian� antitoksin dan selama� 2� jam� berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

2.2.2. Antimikrobial

Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk� menghentikan� produksi� toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari� selama� 7-10� hari, bila� alergi� bisa� diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.

2.2.3. Kortikosteroid

Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat� ini pada� diphtheria.� Di �Ruang Menular Anak� RSUD Dr.� Soetomo kortikosteroid� diberikan� kepada� penderita� dengan�� gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat� penyulit miokardiopati toksik.

2.2.4. Pengobatan penyulit

Pengobatan terutama ditujukan terhadap menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik oleh karena penyulit yang� disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel.

2.2.5. Pengobatan Carrier

Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai reaksi Schick negatif tetapi mengandung basil� diphtheria dalam nasofaringnya.

Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral� atau suntikan, atau eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

3. Pencegahan :

3.1. Umum

Kebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit� ini� bagi anak-anak. Pada umumnya setelah menderita� penyakit� diphtheria� kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat� rendah sehingga perlu imunisasi.

3.2. Khusus

�Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.

IMUNITAS

Test kekebalan :

Schick� test� :� menentukan� kerentanan (suseptibilitas) terhadap diphtheria. Test dilakukan dengan menyuntikan toksin diphtheria (dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat� kekebalan� antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan� sehingga test positif.

Moloney test� : menentukan sensitivitas� terhadap� produk kuman diphtheria. Tes� dilakukan� dengan memberikan� 0,1 ml larutan fluid diphtheria toxoid� secara suntikan� intradermal. Reaksi positif bila dalam�� 24� jam�� timbul� eritema > 10 mm. Ini berarti bahwa :

- pernah terpapar pada� basil diphtheria sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.

- pemberian toksoid� diphtheria bisa mengakibatkan timbulnya� reaksi yang berbahaya.

Kekebalan pasif : diperoleh� secara� transplasental dari �ibu� yang� kebal� terhadap diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan� antitoksin (sampai 2-3 minggu).

Kekebalan aktif : diperoleh dengan cara menderita� sakit atau inapparent infection dan imunisasi dengan toksoid� diphtheria.

DAFTAR PUSTAKA

1. Christie AB, ed.� Infectious Diseases : Epidemiology�� and clinical� practice. Edinburgh London New York :� Churchill� Livingstone,� 1987; 1183-209.

2. Halsey� NA, Smith MHD. Diphtheria. In: Warren� KS, Mahmoud AAF,� eds.� Tropical and Geographical� Medicine.� International� Student� Edition. New York : Mc� Graw-Hill, 1990, 860-6.

3. Hodes� HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979;� 26 :� 445.

4. Wharton M. In : Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds.� Krugman�s Infectious Diseases of Children. 11th ed� St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96

5. Long SL. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in : Behrman� RE,� Kliegman� RM, Jelson HB, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th ed Philadelphia London New York St. Louis Sydney Toronto : WB Saunders, 2000; 817-20

6. McCloskey� RV. Corynebacterium� diphtheriae� (Diphtheria). In :� Mandel GL, Douglas RG, Bennett JE,� eds.� Principles�� and� practice� of Infectious Diseases.� Churchill� Living stone : John Wiley & Sons inc. 1985; 1171-4.

7. Top FH, �Wehrle� PF, eds.� Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The CV Mosby Co. 1976 : 223 - 38.



0 komentar:

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer

Arsip Blog