kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Jumat, 26 Juni 2009

Tips Efektif Atasi Anak/Balita Susah Makan

Apabila anak Anda susah makan apalagi sampai berlarut-larut, akan mengganggu kesehatan si kecil. Tak jarang, ketika disuapi, tak jarang anak menolak dengan cara menampik atau menyemburkan makanan yang telah masuk ke dalam mulut. Jangan langsung dimarahi,
karena mungkin saja Si Anak sedang kehilangan nafsu makan atau sedang mengalami perubahan selera makan, yang wajar terjadi pada masa pertumbuhan,Penyebab lainnya bisa berasal dari sikap orang tua yang memaksa anak harus makan ini-itu dengan porsi yang sudah ditentukan, tapi ibu justru melupakan unsur psikologis-nya yang sedang menuju proses kemandirian, yaitu ia ingin egonya diakui, Faktor psikososial berupa ketergantungan pemberian makan pada seseorang, seperti balita yang biasa disuapi pembantu, nafsu makannya akan berkurang, ketika harus makan bersama-sama ibunya yang selama ini sibuk di kantor. Berikut ini tips mengatasi anak yang susah makan:
1. Hindari kebiasaan menenangkan anak yang sedang rewel dengan cara membelikan jajanan yang padat kalori, serpti permen, minuman ringan (soft drink) dan coklat
2. Ubahlah variasi makanan sebanyak mungkin agar menggugah seleranya dan sajikan dengan menarik
3. Perhatikan camilan atau jajanan yang disukainya dan jangan biarkan ia kekenyangan gara-gara makanan ringan
4. Biasakan anak makan pagi untuk menghindarkan kebiasaan jajan
5. Jangan berikan makanan lain sebelum anak makan makanan utama (pagi, siang, sore/malam)
6. Jangan mulai membiasakan anak mengonsumsi makanan pembuka atau selingan yang tinggi kalori
7. Kalau tidak terpaksa, jangan biasakan anak makan makanan siap saji (fast food) karena kurang seimbang gizinya

Tips Tepat Cara Mendisiplinkan Anak

Membuat si kecil disiplin terhadap pertauran memang tidak mudah. Terkadang Anda harus lebih bersabar dalam mendisiplinkan mereka. Beberapa cara yang diambil orang tua kadang justru membuat si kecil makin bandel atau sebaliknya menjadi penakut.
Misalnya, dengan ditakut-takuti dengan hantu atau kecoa. Untuk itu berikut ini tips tepat cara mendisiplinkan Anak:
1. Sebaik-baiknya orang tua adalah yang lebih banyak memberi pengetahuan dibandingkan hukuman. hukuman fisik tidak akan menghasilkan sikap yang baik. Sebanyak mungkin ajarkan apa yang seharusnya kepada mereka daripada sekedar menghukum.
2. Tujuan utama disiplin adalah mengajarkan mereka tingkah laku yang dapat diterima. Memukul anak bukanlah mengajarkan tingkat laku yang benar. Tapi mengajarkan “apa yang dibenarkan” dan tidak akan menyelesaikan masalah.
3. Pandangan seorang anak berperilaku menyimpang, adalah penilaian yang salah. Akan lebih mudah, bila kita berpikir bagaimana mengubah tingkah laku mereka untuk bersika benar.
4. Berika konsekuensi dari sikap buruk mereka. Jika si kecil mengotori ruangan, ia juga yang harus membersihkan
5. Buat peraturan, tapi pastikan peraturan tersebut sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan si kecil
6. Pastikan konsekuensi itu bersifat jalas dan masuk akal
7. Jangan berdebat atau permisive tentang peraturan tersebut. Jika ia melanggar, ingatkan si kecil akan konsekuensi yang akan ia terima.
8. Saat Anda memberikan perintah, bicaralah dengan kata yang tegas dan terus ingatkan padanya.
9. Jika sikap buruknya terlalu banyak, jangan mencoba merubah seluruh perilakunya dalam waktu singkat. Cobalah untuk merubah perilakunya secara bertahap. Pertama-tama, ubahlah perilakunya yang paling memprihatinkan menurut Anda.
10. Jelaskan mengapa sikapnya itu tidak baik, berikan konsekuensi akibat ulahnya ini dan berika alternatif tingkahlaku yang lebih baik

DIBERI LABEL OLEH LINGKUNGAN

Kadang, label diberikan bukan oleh orang tua, melainkan lingkungan. Sepulang bermain, si kecil lantas "mengadu", "Ayah, tadi aku dikatain anak nakal sama ibunya Doni." Nah, bagaimana reaksi Anda?
"Sebaiknya orang tua segera menganulirnya, Tidak, Nak, kamu tidak nakal, hanya terlalu aktif.," saran Enny Hanum. Dengan demikian, anak akan berpikir, "Oh, aku enggak nakal, kok."
Tapi sebelumnya orang tua harus tanya dulu, "Mengapa kamu dibilang nakal?" Misalnya, karena ia berlari-larian di rumah sang teman. Nah, jelaskan padanya, "Buat keluarga Doni, lari-larian di dalam rumah itu enggak boleh tapi kalau di rumah ini boleh. Kenapa begitu? Ya, karena begitu peraturannya. Di sana rumah Doni, punya aturan yang berbeda."

Menurut Enny, label yang diberikan oleh lingkungan atau orang yang tak dekat secara emosi dengan anak tak begitu berpengaruh pada anak. "Toh, ia bisa bilang ke orang tuanya dan orang tua bisa segera menganulirnya." Lain halnya bila label datang dari orang yang kehidupan sehari-harinya dekat dan tiap hari didengarnya, "anak akan berpikiran, Oh, aku memang begitu."
Jadi, saran Enny, tak usah terlalu dicemaskan bila anak mendapat label dari lingkungan. Juga tak perlu sampai orang tua melarang anak bermain ke luar rumah atau memindahkannya "sekolah" ke lain tempat. "Kalau kita memang ingin anak menjadi pribadi yang kuat, sebaiknya didik anak untuk mengatasi problem di lingkungannya. Kalau tidak, besarnya nanti ia tak akan bisa bermasyarakat. Jadi, lebih baik menguatkan dia agar lebih survive dalam menghadapi masyarakat."

Caranya, ya, dengan memberi pemahaman atau menganulirnya bahwa ia tak seperti label yang diberikan tersebut. Misalnya, "Betul bahwa kamu keliru, tapi keliru itu bisa diperbaiki. Disebut nakal bila kamu sudah diberitahu mana yang boleh dan tak boleh, tapi dengan sengaja melakukannya terus-menerus. Nah, itu yang namanya nakal. Tapi kamu sebenarnya enggak nakal, kok, kamu anak baik. Karena kamu anak baik, maka kamu tahu itu keliru, kan?" Tentunya minta agar ia tak berbuat keliru lagi, sehingga ia tak akan lagi disebut nakal. "Papa-Mama pernah keliru, kamu juga pernah keliru. Tapi karena kamu anak baik, maka kamu tak akan lakukan lagi." Nah, dengan meng-handle perasaannya terlebih dulu, maka dampak konsep diri yang salah pun tak akan terjadi.
Bila anak diberi label negatif oleh lingkungan namun orang tua tak tahu, maka orang tua harus peka. "Anak, kan, pasti merasa tak nyaman dengan diberi label negatif. Nah, ini akan jelas terlihat dari perilakunya walaupun ia tak bilang ke orang tuanya." Misalnya, ia tak mau main lagi ke luar rumah. Orang tua yang peka tentunya akan melihat perubahan tersebut, lalu tanyakan pada si anak. Dari situlah orang tua bisa tahu dan memberikan penjelasan padanya.

NAMA KESAYANGAN BUKAN LABEL

Seringkali orang tua memanggil anaknya dengan nama kesayangan yang tak ada kaitan sama sekali dengan nama sebenarnya si anak, seperti si Unyil, Cipluk, Gendut, dan sebagainya. Kendati nama-nama tersebut juga tak nyaman didengar, namun menurut Enny Hanum, dampaknya berbeda bagi anak,
"karena saat orang tua mengucapkan nama itu, anak menangkap situasi yang berbeda, yaitu dalam kondisi kesayangan. Jadi, anak akan mengasosiasikannya dengan kedekatan dan rasa sayang orang tua, sehingga tak ada perasaan tak nyaman pada diri anak kala nama itu diucapkan."

Memang, lanjut Enny, bila anak sudah mempunyai kelompok bermain kerap kali tak mau dipanggil dengan nama tersebut karena ledekan teman-temannya. "Tapi jangan lupa, lo, di rumah kadang anak hanya mau dipanggil dengan nama kesayangannya itu. Bahkan sampai anak besar pun masih suka dipanggil dengan nama kesayangannya karena adanya hubungan yang intim, yang punya arti khusus." Jadi, berbeda dengan label negatif, panggilan kesayangan tak akan mengubah konsep diri anak.

"DASAR ANAK BANDEL"

ati-hati, lo, memberi label/cap negatif pada anak akan membentuk konsep diri yang salah. Pemberian label/cap yang positif semisal "pintar" dan "cantik" juga bisa berpengaruh negatif, lo.
"Kamu ini gimana, sih? Sudah dikasih tahu jangan gangguin adik tapi masih juga diganggu. Kamu ngerti enggak, sih, kalau Mama lagi repot? Dasar anak bandel!"
Sering, kan, mendengar sang ibu atau ayah berkata demikian kala marah pada buah hatinya. Dalam keadaan "lupa diri" akibat emosi yang meluap kerap terlontar kata-kata yang memberi label pada anak. Entah "anak bandel", "anak penakut", "anak cengeng", dan sebagainya.

Menurut ahli, pemberian label/cap atau juga disebut stigma akan memberi bekas dalam diri anak dan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya. Karena bagi anak, label tersebut adalah suatu imej diri bahwa aku seperti itu. Jadi, lama-lama akan terbentuk dalam benaknya, "Oh, aku ini bandel, toh."

Apalagi, kata dra. S.Z. Enny Hanum, bila si pemberi label adalah orang yang mempunyai kedekatan emosi dengan anak semisal orang tua atau pengasuhnya, pengaruhnya akan sangat besar dan cepat buat anak. "Anak akan jadi ragu pada dirinya sendiri, Oh, jadi aku seperti itu. Orang tuaku sendiri mengatakan demikian, kok."

JADI NGOMPOL LAGI

Sekalipun di usia prasekolah anak belum memahami makna sebenarnya dari kata-kata label itu, namun ia bisa merasakan sesuatu yang tak nyaman dengan dilontarkannya label itu. "Ia seakan-akan tak diterima dengan adanya label itu, ada sesuatu yang ditolak," terang Enny.
Jadi, anak tak tahu apa itu label baginya. Ia hanya merasakan sebagai sesuatu yang tak mengenakkan, merasa tak nyaman. Namun bukan berarti ia akan diam saja. Ia akan melampiaskan perasaan tak nyaman itu dengan berbagai cara sebagai bentuk protes. Tapi bentuk protesnya berbeda dengan anak remaja yang kalau dibilang "nakal" malah sengaja dibikin nakal, "Ah, sekalian aja aku nakal karena aku sudah kadung dicap demikian." Melainkan dalam bentuk mengompol (padahal sebelumnya anak sudah tak mengompol), mimpi buruk, menangis, menggigit-gigit kuku, menolak mengerjakan sesuatu, dan sebagainya.
Penting diketahui, perilaku/reaksi demikian juga akan muncul bila anak menemukan suatu situasi yang hampir mirip dengan di rumah. Misalnya, ia diperlakukan tak adil atau tak dimengerti di luar, maka ia akan mengompol lagi, menggigit-gigit kuku lagi, mengambek lagi, dan sebagainya. Tak demikian halnya bila ia menemukan situasi dimana ia merasa dipahami, dimengerti, dan komunikasinya menyenangkan, maka perilaku protesnya tak akan keluar.
Nah, bila anak semakin sering protes dan orang tua pun jadi makin sering marah, tentunya label tersebut akan juga semakin sering dilontarkan. Kalau sudah begitu, lambat laun akhirnya anak percaya bahwa dirinya memang nakal, misalnya. Konsep dirinya jadi salah. Kita tentu tak ingin si Upik atau si Buyung memiliki konsep diri yang salah, bukan?

BERLAKUKAN ATURAN

Itulah mengapa, Enny tak setuju orang tua memberi label pada anak. Jikapun memberi label, "sebaiknya dijelaskan dalam hal apa ia nakal atau jeleknya karena bisa saja anak melakukan sesuatu dalam niatan yang lain," terangnya. Misalnya, ia hendak membuatkan minuman sirup untuk ibunya. Selama ini ia sering melihat pembantunya kalau membuat sirup dengan cara menuang botol sirup ke dalam gelas. Nah, ia pun menirunya tapi ia tak tahu berapa takarannya sehingga dituangnya sirup itu segelas penuh. Si ibu yang melihatnya langsung marah-marah dan mengatakannya nakal, main-main dengan sirup. Padahal, si anak, kan, tidak nakal; ia hanya tak tahu berapa takarannya. Tapi akibatnya, anak jadi tak merasa nyaman, "Aku mau bikin sirup buat Ibu, kok, dibilang nakal?"
Jadi, tandas Enny, orang tua harus menyebutkan apa kesalahan anak sehingga ia dikatakan nakal. "Kalau ia mengganggu adik, misalnya, jelaskan bahwa kamu mengganggu adik padahal waktunya adik tidur. Jadi, anak diberi tahu, nakalnya kamu itu karena mengganggu adik." Dengan demikian anak tahu kenapa dirinya dikatakan nakal, sehingga dapat mencegah terjadinya pembentukan konsep diri yang salah.
Selain itu, lanjut Enny, sebaiknya orang tua juga memberlakukan berbagai aturan di rumah. Bila aturan dilanggar, ada sangsinya; sebaliknya, bila dikerjakan, ada rewards. Tentu sebelumnya aturan tersebut sudah dibicarakan dengan anak sehingga ia memahaminya. Misalnya, sebelum tidur ada aturan harus gosok gigi. Nah, bila dikerjakan, berilah pujian. Tapi bila dilanggar, jangan buru-buru bilang, "Dasar kamu anak nakal, sukanya melanggar aturan," melainkan tanyakan dulu, "Kenapa kamu enggak gosok gigi?" Siapa tahu lantaran odolnya terlalu pedas buat anak atau mulutnya lagi sariawan.
Kemudian, sebelum memberi sangsi, orang tua juga harus memberitahukan letak kesalahannya. Misalnya, ia mengambil mainan adiknya. "Biasanya anak melakukannya karena spontanitas bermain. Nah, orang tua bisa memberitahukan, Kamu mengambil milik adikmu, itu enggak boleh. Kamu harus minta izin dulu. Kalau kamu terus melakukan perbuatan itu, nanti kamu jadi anak nakal." Jadi, anak diberi tahu perilaku apa yang menyimpang.
Anak usia prasekolah, tutur konsultan psikologi anak dan keluarga ini, sudah bisa mengerti asal diberi tahu dengan bahasanya. "Kalaupun tak mengerti, orang tua harus mengulang-ulang lagi. Bukankah proses mendidik tak bisa sekali jadi melainkan harus terus-menerus?"
LABEL POSITIF
Selain memberikan label negatif, tak jarang orang tua juga memberikan label positif semisal "anak pintar", "anak cantik", "anak manis", dan sebagainya. Dibanding label negatif, pemberian label positif akan berdampak positif pula, yaitu memberi sugesti atau memacu anak untuk berperilaku seperti apa yang disebutkan. Misalnya, label "anak pintar". "Bagi anak, apa yang dilontarkan itu seolah-olah harapan orang lain padanya, sehingga ia pun akan berusaha untuk jadi anak yang pintar," tutur Enny. Jadi, label positif semacam rewards buat anak, "Oh, ternyata aku anak pintar," sehingga motivasinya besar sekali untuk belajar dan menjadi pintar.
Tapi, jangan salah, lo, pemberian label positif tak selamanya akan berdampak positif pula. "Pemberian label positif juga bisa berdampak negatif. Antara lain, anak jadi kehilangan spontanitasnya karena ada dorongan untuk memenuhi harapan orang tua. Padahal, spontanitas inilah yang menjadi ciri anak seusianya." Misalnya, ia selalu dikatakan sebagai anak manis sehingga ia pun mencoba untuk memenuhi harapan tersebut. Dalam berbagai pertemuan, ia harus menahan diri agar berperilaku sebagai anak manis. Bila anak lain berlarian ke sana ke mari dengan bebas, misalnya, ia akan duduk manis bak putri kerajaan. "Hal itu dilakukannya karena ia ingin menyenangkan orang tuanya, memenuhi harapan orang tuanya sebagai anak manis".
Jangan lupa, ingat Enny, pada usia prasekolah konsep diri anak masih kabur. "Ia belum punya kesadaran, aku ini siapa? Konsep dirinya sedang dibentuk sehingga aku ini kekurangannya di mana tak diketahuinya." Oleh karena itu, bila terjadi hal demikian, saran Enny, orang tua harus segera memperbaikinya. "Terangkan pada anak bahwa ia keliru menangkap maksud orang tua." Katakan, misalnya, "Yang Bunda maksud manis itu bukan berperilaku seperti itu." Lalu jelaskan "manis"nya itu seperti apa dan bahwa ia masih punya hak untuk bermain, "Kalau dalam acara pernikahan, kamu memang boleh bersikap demikian karena itu adalah bagian dari tata krama. Tapi di luar pesta perkawinan, kamu tak harus selalu bersikap demikian. Kamu bebas berlarian dan bermain bersama teman-temanmu." Dengan demikian, anak tahu persis kapan ia harus bersikap manis dan sikap manis seperti apa yang dikehendaki orang tuanya.
Label positif juga akan berdampak negatif bila tak sesuai realitasnya. "Bila anak terus menerus ingin memenuhi harapan orang tuanya sementara kemampuannya tak ada, tentu bisa melelahkan dan membuatnya frustrasi," terang Enny. Memang, orang tua bermaksud baik dengan memberikan label positif walupun orang tua tahu tak sesuai realitasnya, yaitu demi mendorong agar anak jadi pintar atau rajin. "Tapi kalau orang tua memberikan label diluar ukurannya, anak jadi kurang kepercayaan dirinya. Misalnya, ia obesitas atau kegemukan tapi orang tuanya bilang ia anak cantik, langsing, dan sebagainya," lanjutnya. Konsep dirinya juga jadi salah, kan!
Jadi, Bu-Pak, hati-hati, ya, dalam memberikan label positif dan terlebih lagi label negatif.

AYAH-IBU, JANGANLAH MENGHUKUM ANAK

banyak orang tua cenderung menerapkan hukuman kala si anak nakal atau berbuat salah. Padahal, hukuman sangat merugikan anak. Nah, bagaimana sebaiknya?
Menurut penelitian, dalam sehari semalam anak mendapatkan 460 kali kritikan dari orang dewasa, termasuk di dalamnya hukuman. Sementaran pujian, cuma 70 kali dalam sehari semalam. Duh, betapa "malang"nya si kecil!
Tapi, kenapa, sih, orang tua menghukum anak? Ada dua alasan, seperti dipaparkan psikolog Ery Soekresno. Pertama, karena orang tua punya target atau standar tingkah laku untuk anaknya, "Namun ternyata standar itu tak dilakukan oleh anak." Kedua, ada tingkah laku tertentu yang ingin dihentikan oleh orang tua. "Mungkin tingkah laku itu baik, tapi karena berlebihan, jadi harus dihentikan."
Selain itu, lanjut Ery, orang tua juga sering menghukum anak karena tak punya alternatif lain untuk menghentikan suatu tingkah laku anak.
"SESUAI" KESALAHANNYA
Menurut Ery, hukuman sudah bisa diberikan sejak sedini mungkin, yakni saat anak mulai membangkang. "Misalnya, nggak mau mandi, nggak mau makan, dan sebagainya. Pokoknya, apa saja enggak! Nah, itu berarti ia sudah mulai membangkang."
Namun dalam memberi hukuman, Ery mengingatkan, haruslah disesuaikan dengan "kesalahan" si anak. Misalnya, anak asyik menonton VCD sampai lupa waktu. Nah, hukumannya adalah ia dilarang menonton lagi. "Tapi jangan langsung melarangnya nonton VCD selama 3 bulan, misalnya. Itu namanya sewenang-wenang. Cukup misalnya, kalau hari ini nonton terlalu lama maka besoknya ia tak boleh nonton lagi."
Kemudian, beri anak kesempatan. Misalnya, setelah dihukum sehari, esoknya ia diperbolehkan menonton VCD lagi namun dibatasi cuma menonton satu judul. "Kita lihat, apakah anak bisa menepati janji. Kalau ternyata enggak bisa, esoknya jangan izinkan si anak menonton lagi." Kalau besok ia bisa menepati janji, berilah bonus boleh menonton dua judul.
Yang harus diperhatikan, ujar Ery, saat memberi hukuman kita juga harus melihat diri sendiri. Maksudnya, tega apa enggak. "Kalau enggak tega, ya, jangan beri hukuman yang berat-berat. Nanti kita malah jadi enggak konsekuen." Akibatnya, kita bisa dijadikan bulan-bulanan oleh anak. Celaka, kan!
Sering terjadi, kita suka mengancam anak, "Awas, kalau Kakak nakal lagi, nanti Bunda pergi." Tapi sering pula ancaman tersebut tak kita lakukan. Nah, cara seperti ini, menurut Ery, akan membuat anak memandang rendah ancaman. "Ah, paling Bunda cuma ngomong doang," begitu pikir si anak. "Jangan salah, lo, kemampuan anak untuk mengobservasi gerak tubuh dan mimik orang tua sangat tajam," kata Ery yang tak setuju orang tua menerapkan ancaman.
Jadi, tandas Ery, kalau memang kita sedang marah, ya, marahlah beneran. Jangan kita marah tapi muka tersenyum. Sebaliknya, jangan pula kita bilang sayang tapi nyubit atau memukul. "Itu, kan, nggak sinkron. Orang tua harus belajar membedakan antara marah dan sayang."
Yang tak kalah penting, tambah Ery, jangan pernah memberi label jika ada tingkah laku anak yang tak sesuai. "Orang tua harus memisahkan tingkah laku dan pelakunya. Tapi yang terjadi, kadang orang tua tak sadar dan membenci pelakunya."
DISIPLIN 
Sebenarnya Ery lebih setuju kita menerapkan konsekuensi ketimbang hukuman. Sebab, konsekuensi berkaitan dengan disiplin, tak demikian halnya dengan hukuman. "Orang tua sering menyamakan kedua hal ini, padahal sebenarnya berbeda sekali. Hukuman adalah kontrol dari luar, sedangkan disiplin adalah kontrol dari anaknya sendiri," terangnya.
Disiplin atau disciple dalam bahasa Latin berarti belajar. Jadi, disiplin memberikan pelajaran kepada anak tentang bagaimana bertingkah laku yang seharusnya. "Dalam disiplin ada aturan, komunikasi dan penguat positif. Kalau aturan dijalankan dengan baik, anak akan mendapat hadiah. Misalnya, dipuji, dipeluk dan sebagainya, yang bisa memperkuat tingkah laku baik si anak." Sebaliknya, bila anak tak menjalankan aturan, ia akan mendapat konsekuensi.
Dengan disiplin, kita juga sekaligus menyatakan harapan kita kepada anak. "Biasanya anak akan merasa nyaman, tenang, dan damai, karena ia tahu apa yang diharapkan oleh orang tuanya." Misalnya, "Bunda ingin Kakak membereskan mainan setelah bermain." Atau sebelum bertamu ke rumah orang, kita bisa bilang, "Kita akan bertamu di rumah orang. Kalau belum dipersilakan, Kakak enggak boleh mengambil makanannya dulu, ya."
Disiplin harus diterapkan sejak dini dengan memperkenalkan beberapa aturan. Misalnya, melarang anak menyentuh stop kontak. "Tapi untuk anak yang masih dini, sebaiknya ruanganlah yang didisiplinkan," ujar Ery. Maksudnya, kita harus menciptakan lingkungan yang aman buat anak. Misalnya, kalau kita ingin vas bunga tak dipecahkan oleh anak, maka pindahkan vas tersebut ke tempat yang lebih aman. "Daripada orang tua bolak-balik bilang jangan ke anak."
Lain halnya pada anak yang lebih besar, orang tua harus mulai memberi aturan. Misalnya, "Kakak tak boleh memukul Adik karena dipukul itu sakit. Konsekuensinya, kalau Kakak memukul Adik berarti Kakak harus bermain sendiri." Atau, anak melempar mainannya, katakan, "Tidak boleh melempar-lempar mainan, karena mainan bisa rusak. Kalau Kakak melempar lagi, akan Mama ambil mainan itu untuk disimpan."
Jadi, tandas Ery, kita harus selalu berada dalam posisi membantu anak untuk bertingkah laku baik. "Jangan langsung memberi hukuman. Tapi ajarkan sebab-akibatnya, bahwa kalau ia bertingkah laku tertentu maka konsekuensinya begini."
KONSEP DIRI NEGATIF
Hukuman, terang Ery, hanya memberi tahu anak tentang kesalahannya tapi tak memberi tahu bagaimana ia seharusnya bertingkah laku. "Anak hanya tahu bahwa ia salah, tapi setelah itu so what, lalu apa? Ia tak diajarkan harus bagaimana."
Apalagi jika anak sampai diberi hukuman fisik yang juga disertai kata-kata menyakitkan. "Itu bisa membuatnya sakit hati, merasa direndahkan dan tak diberi kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakunya." Biasanya anak akan tumbuh menjadi pendendam lantaran ia tak pernah didengar dan dihargai. "Mereka juga cenderung tak bisa menyelesaikan masalah dengan baik tapi dengan hukuman juga." 
Yang lebih parah, hukuman dapat merusak konsep diri anak. "Anak jadi memiliki konsep diri negatif sehingga membuatnya tak percaya diri. Bawaannya takut melulu, enggak berani tampil, takut salah, dan sebagainya. Ia merasa bahwa yang ia miliki adalah kejelekan. Ia tak bisa menemukan aspek positif dari dirinya," papar Ery.
Ery mengingatkan, usia 3 sampai sekitar 6 tahun merupakan usia pembentukan (formative years) dan biasa disebut sebagai masa keemasan (golden years) seorang anak. "Masa ini tak mungkin terulang," tukasnya. Nah, bila di masa ini anak sering dihukum berarti ia banyak dilarang. Otomatis, kebutuhan anak untuk menjelajah, berinisiatif dan memupuk rasa ingin tahu menjadi terhambat. "Anak jadi tak punya inisiatif dan tak punya pendirian."
Dampak lainnya, anak menjadi conform, selalu berpendapat sama dengan orang lain. "Ia takut berbeda dengan orang lain. Karena kalau berbeda, ia takut diomeli." Disamping, potensi anak tak terealisir. "Anak jadi tak kreatif. Ia akan takut mencoba karena sudah penuh dengan ancaman."
POPULER DI KALANGAN TEMAN
Lain halnya dengan disiplin, anak akan tahu apa konsekuensi dari tingkah lakunya. "Sehingga anak akan selalu memandang bahwa berbuat baik itu menyenangkan dan berbuat tak baik itu tak menyenangkan," bilang Ery.
Merujuk data penelitian, orang tua yang banyak melatih anak dengan batasan-batasan dan konsekuensi, biasanya akan memiliki anak yang lebih populer di kalangan teman-temannya. "Karena mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan, kontrol dirinya bagus, tak mudah diombang-ambingkan orang."
Anak-anak yang demikian, lanjut Ery, memiliki prinsip dan biasanya kelak menjadi pemimpin. "Mereka tahu bahwa mereka punya kelebihan tapi juga punya kekurangan. Berbeda dengan anak-anak yang sering dihukum, tahunya cuma dirinya jelek saja."
Akhirnya Ery menyarankan kita agar mencoba untuk lebih sabar dan lembut dalam menghadapi anak. "Ini memang susah. Tapi ingatlah, kesabaran kita akan berbuah bahwa anak kita juga akan menjadi orang yang sabar."
Anak adalah "potret" orang tua. Iya, kan!

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer