kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Rabu, 11 November 2009

Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian Influenza)

Penyakit flu burung atau flu unggas (Bird Flu, Avian Influenza) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dan ditularkan oleh unggas. Penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus avian infuenza jenis H5N1 pada unggas dilaporkan telah terjadi di Republik Korea, Vietnam, Jepang, Thailand, Kamboja, Taiwan, Laos, China, Indonesia, dan Pakistan. Sumber virus diduga berasal dari migrasi burung dan transportasi unggas yang terinfeksi. 1
Pada Januari 2004, di beberapa propinsi di Indonesia terutama Bali, daerah Jabotabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Jawa Barat dilaporkan adanya kasus kematian ayam ternak yang luar biasa. Awalnya kematian tersebut disebabkan oleh karena virus new castle, namun laporan terakhir oleh Departemen Pertanian disebabkan oleh virus flu burung (Avian influenza (AI)). 1 Departemen Pertanian mengumumkan secara resmi pada tanggal 25 Januari 2004 terjadi pertama kali kasus avian influenza menyerang unggas di Indonesia. 2 Jumlah unggas yang mati akibat wabah penyakit flu burung di 10 propinsi di Indonesia sangat besar yaitu 3.842.275 ekor (4,77%) dan yang paling tinggi jumlah kematiannya adalah propinsi Jawa Barat (1.541.427 ekor). 1

Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah mengidentifikasi adanya infeksi flu burung pada seorang penderita di Tanggerang. Penemuan ini telah dikuatkan oleh pemeriksaan laboratorium resmi WHO di Hongkong. Hal ini merupakan penemuan penderita flu burung pada manusia yang pertama kali di Indonesia. 2
Jumlah pasien yang diduga terkena flu burung (Avian Influenza) di Indonesia ada 43 kasus terdiri dari kasus confirm (positif flu burung) sebanyak 7 kasus, kasus probable (kasus suspek disertai bukti laboratorium yang mengarah kepada virus influenza A/H5N1) sebanyak 5 orang dan kasus suspek (menunjukkan gejala flu burung) sebanyak 30 kasus dan jumlah kasus terpapar masih tetap 1 orang. 3
Melihat kenyataan ini seyogyanya masyarakat tidak perlu panik dengan adanya kasus flu burung di Indonesia, tetapi harus tetap waspada, terutama bagi kelompok yang berisiko karena kita tidak bisa memungkiri bahwa virus ini telah menginfeksi manusia.

AVIAN INFLUENZA
Definisi
Avian influenza adalah penyakit menular yang disebabkan virus influensa strain A sub tipe H5N1 yang ditularkan oleh unggas yang dapat menyerang manusia.4,5,6

Epidemiologi 7,8
Penyebaran flu burung terjadi di berbagai belahan dunia antara lain:
• Infeksi terhadap ayam dan manusia di Hongkong. Selama wabah tersebut pada tahun 1997, Avian Influenza A (H5N1) telah menginfeksi berlangsung 18 orang telah dirawat di rumah sakit dan 6 diantaranya meninggal dunia. Untuk mencegah penyebaran tersebut pemerintah setempat memusnahkan 1,5 juta ayam yang terinfeksi flu burung.
• Pada tahun 1999, di Hongkong telah dilaporkan adanya kasus Avian Influenza A (H9N2) pada 2 orang anak tanpa menimbulkan kematian.
• Pada tahun 2003, di Hongkong ditemukan lagi dua kasus Avian Influenza A (H5N1) dan satu orang meninggal.
• Pada tahun 2003, di Belanda ditemukan 80 kasus Avian Influenza A (H7N7) dan satu diantaranya meninggal.
• Pada tahun 2004 terjadi lagi 25 kasus Avian Influenza A (H5N1) di Vietnam (19) dan Thailand (6) yang menyebabkan 19 orang meninggal (5 di Thailand, 14 di Vietnam).
Etiologi
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae 1,2,6,9,10 dari genus Influenza. Ukuran diameter virions adalah 80-120 nm yang berbentuk filament. Susunan virus terdiri dari 8 segmen berbeda dari “negative-stranded RNA”. 2 Virus influenza tipe A dapat berubah-ubah bentuk (Drift, Shift), dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Berdasarkan sub tipenya terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi kode subtipe flu burung yang banyak jenisnya. Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Sedangkan pada binatang H1-H5 dan N1-N98. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1. 1
Sifat Virus Flu Burung
Virus dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22ºC dan lebih 30 hari pada 0ºC. Virus akan mati pada pemanasan 60ºC selama 30 menit atau 56ºC selama 3 jam dan dengan detergen, desinfektan misalnya formalin, serta cairan yang mengandung iodin. 1,2

Virus Influenze Tipe A, B, dan C
Virus Influenza Tipe A dapat menginfeksi manusia, kuda, babi, anjing laut, ikan paus dan binatang lainnya. Namun burung liar adalah tempat tinggal alamiah mereka.11
Virus Influenza Tipe B umumnya ditemukan di manusia. Namun tidak seperti Virus Tipe A, virus ini tidak diklasifikasi berdasar sub-tipe. Walaupun Virus tipe B ini dapat menyebabkan epidemi, tetapi tidak dapat menyebabkan pandemi. Virus Influenza Tipe C menyebabkan sakit ringan pada manusia dan tidak menyebabkan epidemi atau pandemi. Virus ini juga tidak diklasifikasi berdasar sub-tipe. 11
Strain
Virus iIfluenza B dan beberapa Sub-tipe Virus A dibagi lagi kedalam strain. Ada berbagai strain pada Virus Tipe B dan Sub-tipe A. Strain baru Virus Flu akan menggantikan strain yang lama. Perubahan strain ini terjadi secara "shift" atau "drift". Ketika strain virus baru ini muncul, maka sel pertahanan tubuh (antibody) yang terbentuk karena infeksi Virus Flu strain yang lama, tidak dapat memberikan perlindungan lagi kepada infeksi strain baru. Jadi vaksin flu harus diperbarui setiap tahun untuk mengikuti perubahan strain dari Virus Flu. Akibatnya, orang yang ingin melakukan vaksinasi flu harus mengulang vaksinasinya secara teratur setiap tahun, karena proses perubahan strain virus flu tadi. 5
Hanya Virus Flu A yang menyerang Unggas. Burung liar secara alamiah adalah tempat tinggal beberapa subtipe Virus Flu A. Umumnya burung liar ini tidak sakit walaupun mereka terinfeksi Virus. Tetapi, unggas yang dipelihara seperti ayam ras atau kalkun, dapat sakit parah dan mati karena serangan virus Flu Burung. Beberapa Strain Virus A juga menyebabkan unggas liar sakit parah dan mati. 11
Virus Flu Burung dengan Fatalitas Tinggi dan Rendah
Virus subtipe H5 dan H7 adalah Virus Flu Burung. Virus Avian Flu dapat diklasifikasi kedalam Virus yang Fatalitas Tinggi (HPAI) dan Virus yang Fatalitas Rendah (LPAI). Pembagian ini berdasar bentuk genetik virus. Umumnya HPAI dikaitkan dengan tingkat kematian tinggi pada peternakan unggas. Apakah fatalitas yang tinggi atau rendah pada unggas ini berhubungan dengan risiko penularan pada manusia belum diketahui secara pasti. Virus HPAI dapat membunuh 90-100% unggas yang terinfeksi, tetapi LPAI menyebabkan sakit ringan atau tanpa gejala pada ayam. Tetapi virus LPAI dapat berubah menjadi HPAI, sehingga wabah Virus H5 atau H7 LPAI seharusnya tetap dimonitor oleh Dinas Peternakan. 11
Bagaimana Virus Flu Berubah
Cara Berubah pertama ialah "Drift Antigenik", dimana virus berubah sedikit demi sedikit secara terus menerus dalam waktu yang lama. Proses Drift Antigenik menghasilkan virus strain baru yang tidak dapat dikenali oleh antibodi virus yang lama. Sehingga setiap tahun terjadi perubahan strain Virus Influenza. Ini sebabnya orang dapat terserang flu beberapa kali, karena Virus Flu berubah strainnya secara terus menerus sehingga orang yang ingin divaksinasi flu harus melakukannya secara teratur setiap tahun. 11,12
Cara perubahan lain ialah dengan cara Shift Antigenik, yaitu perubahan yang mendadak pada Virus Flu A, dan menghasilkan Virus Flu A yang baru yang dapat menginfeksi manusia. Virus ini juga mempunyai hemmaglutinin dan Neuroamidase yang tidak teridentifikasi oleh manusia dan kalau Virus Flu strain baru ini masuk menginfeksi manusia, dan manusia tidak mempunyai kekebalan atau perlindungan dari strain yang baru, dan virus dapat menyebar dari satu manusia ke manusia lain, terjadilah wabah besar yang disebut Pandemi. 11

Mortalitas dan Morbiditas
Prognosa untuk yang terinfeksi virus avian influenza adalah jelek. 11

Sumber Penularan dan Cara Penularan
Flu burung menular dari unggas ke unggas, dan dari unggas ke manusioa, melalui air liur, lendir dari hidung dan feces. Penyakit ini dapat menular melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung/unggas yang mendrita flu burung. Penularan dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika besinggungan langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung.1,4,6,13
Menurut Jacob, penularan dapat juga terjadi pada benda yang terkontaminasi seperti sepatu, baju, telur.14
Menurut Judarwanto, cara pertama dengan kontaminasi langsung dari lingkungan burung terinfeksi yang mengandung virus kepada manusia. Cara kedua lewat perantara binatang babi. 2
Ada juga yang menyatakan teori, teori pertama bahwa orang yang terkena Virus Flu Burung, sebelumnya sudah terinfeksi Virus Flu Human terlebih dahulu. Jadi keadaan daya tahan tubuh orang tersebut sedang memburuk sehingga bisa terinfeksi flu burung dan flu manusia bersamaan. Teori yang kedua adalah virus flu burung sendiri bisa menyebabkan influensa burung pada manusia. 5
Virus Flu Burung bisa ditularkan langsung dari unggas, atau ditularkan ke babi terlebih dahulu lalu babi menularkan ke manusia. Babi yang bisa terinfeksi flu burung dan flu manusia diperkirakan bisa menyebabkan mutasi gen secara antigenik shift sehingga menghasilkan virus baru yang bisa menginfeksi pejamu lain, termasuk manusia. 5
Virus ini dikeluarkan melalui kotoran ayam yang mencemarkan lingkungan disekeliling dan menjangkiti melalui pernapasan. Virus ini merebak dengan mudah dari ladang peternakan ke ladang peternakan lain melalui tikus dan lalat yang dicemari dengan kotoran ayam yang mengandung virus H5NI. Selain peternakan, pasar tempat ayam hidup dijual dapat juga menjadi sumber penularan penyakit ini15 demikian juga dengan kebun binatang, taman burung.16
Belum ada bukti terjadinya penularan dari manusia ke manusia2,12,17,18 dan penularan pada manusia lewat daging yang dikonsumsi.2
Burung (unggas) yang terinfeksi mengeluarkan virusnya melalui sekret nasal dan fesesnya. Meski unggas yang sembuh mengeluarkan virus dalam jumlah yang lebih kecil, namun tetap dapat menularkan atau terinfeksi lagi. Unggas air merupakan sumber penularan alami yang utama. Unggas liar biasanya tidak menunjukkan gejala, tetapi tetap membawa virus dalam jangka waktu yang lama dan terinfeksi lebih dari 1 jenis virus. Deteksi selanjutnya dipersulit oleh ketidakberadaan respon antibodi terhadap paparan virus. Virus flu terdapat pada air dan materi-materi organik yang berasal dari danau/kolam tempat itik/bebek yang terinfeksi. Pencampuran kelompok tersebut dengan kelompok-kelompok kecil lainnya menjadi salah satu faktor penyebaran. Virus dapat hidup lama pada temperatur sedang maupun beku dan menyebar melalui sampah-sampah/produk-produk yang dihasilkan unggas. 11,14
Penyebaran juga dapat melalui manusia/alat-alat terkontaminasi semua bahan dari peternakan yang terinfeksi harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum dipindah ketempat lain. Serangga dan tikus juga dapat membawa virus ke ternak-ternak lain yang belum terinfeksi. Virus yang dapat ditemukan pada telur unggas yang terinfeksi dan hanya sedikit telur-telur ini yang dapat menetas. Virus ini terdapat pula pada burung-burung hias impor yang nampaknya sehat. Toko-toko burung/tempat penitipan burung juga dapat menjadi sumber penularan karena alat-alatnya jarang didesinfeksi. 11,14


Masa Inkubasi
Masa inkubasi pada manusia 1-3 hari. Masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari. 1,3,4

Manifestasi Klinis
Gejala flu burung dapat dibedakan pada unggas dan manusia.
a. Gejala pada unggas
Gejala-gejala tampak pada ternak unggas bervariasi, tergantung strain, usia dan spesies, infeksi bakteri sekunder, dan faktor lingkungan. Gejala-gejala meliputi :
• Kematian tiba-tiba tanpa tanda-tanda lain 1,4,19
• Penurunan koordinasi (keseimbangan) 19
• Warna keunguan-biru (sianosis) pada pial-jengger 1,4 dan kaki 11,19
• Telur lunak dan kehilangan bentuknya 19
• Energi dan nafsu makan menurun 19
• Diare 14,19
• Luka-luka pada kepala, kelopak mata, cakar, pial-jengget 19
• Borok di kaki 1,4
• Sekret nasal 19
• Penurunan produksi telur 14,19
• Batuk, bersin-bersin 19

b. Gejala pada manusia
Gejala pada manusia seperti gejala flu pada umumnya yaitu: 5,6,11,13
• Demam (suhu badan diatas 38 °C) 1,4,5,6,11,13,19,20,21
• Batuk dan nyeri tenggorokan 1,2,4,5,6, 11,13,19,20,21
• Radang saluran pernapasan atas 1,4, 11,13
• Infeksi mata (konjungtivitis) 1,4,6,13,19
• Nyeri otot 1,2,4,6,11,13,19
• Sesak 2,5,20,21
• Diare 5,18,20,21,22
Dalam waktu singkat dapat menjadi berat yaitu
• Pneumonia 1,4,6,19
• Gangguan Pernafasan Berat (ARDS) 13
Laboratorium
• Leukositopenia 14, 20,21
• Trombositopenia ringan-sedang 14,20,21
• Limfopenia partikular 14,20,21
X-Ray
• Foto toraks abnormal


Perjalanan Penyakit
Manifestasi penyakit pada traktus respiratorius bawah biasanya muncul pada tahap awal perjalanan penyakit dan merupakan cirri khas dari penyakit ini. Di dalam suatu perjalanan penyakit, sesak rata-rata timbul pada hari ke 5 setelah onset penyakit (rentang 1-6 hari). Penekanan sistem pernafasan, nafas cepat, dan bising inspiratoar sering kali ditemukan. Jumlah produksi sputum sangat bervariasi dan kadang-kadang ditemukan sputum berdarah. Hampir semua penderita menunjukkan gejala pneumonia, pada pemeriksaan radiologi ditemukan adanya infiltrat yang difus, multifokal atau berbentuk bercak, infiltrat interstitial. Serta konsolidasi segmental atau lokular disertai gambaran air bronkhogram. Kelainan radiologis biasanya timbul pada hari ke-7 setelah onset demam (rentang 3-17 hari). Pada penelitian di kota Ho Chi Min, Vietnam kelainan yang paling sering ditemukan pada penderita rawat inap adalah adanya konsolidasi multifokal yang melibatkan paling sedikit 2 daerah. Jarang ditemukan efusi pleura. Pemeriksaan mikrobiologis sederhana menunjukkan bahwa hal ini suatu proses pneumonia viral yang biasanya tidak disertai superinfeksi bakteri pada saat penderita dirawat inap. 2
Perkembangan perjalanan penyakit kearah gagal nafas dihubungkan dengan adanya infiltrat difus yang bilateral, yang disertai dengan manifestasi sindrom gagal nafas akut (ARDS). Di Thailand, rata-rata waktu yang diperlukan dari onset penyakit sampai terjadi ARDS adalah 6 hari (rentang 4-16 hari). Sering pula ditemukan kegagalan multi organ yang ditandai dengan adanya disfungsi renal, serta kadang-kadang ditemukan kelemahan jantung, seperti dilatasi serta takiaritmia supraventrikular. Komplikasi lain yang pernah ditemukan adalah pneumonia akibat pemasangan ventilator, perdarahan paru, pneumothorax, pansitopenia, sindrom reye, dan gejala sepsis tanpa ditemukan bakteriemia. 17

Diagnosa
1. Diagnosa Lapangan.
Flu burung dengan patogenitas tinggi diduga jika terdapat kematian pada sekawanan unggas setelah gejala-gejala depresi berat, nafsu makan tidak ada, produksi telur menurun drastis. Adanya edem muka, leher, sianosis pial dan jengger dan hemoragic pethicie pada membran-membran interna, lebih mengarah ke penyakit tipe HPA-1. Namun, diagnosa pada akhirnya tergantung isolsi dan identifikasi virus. Kini metode yang menggunakan enzim perangkap antigen yang terikat imunosorbant assay untuk tipe A di desain untuk penggunaan pada manusia, dan baru-baru ini cukup menjanjikan untuk diagnosa cepat pada ternak.
2. Spesimen Laboratorium.
Harus disertai dengan informasi tentang gejala-gejala klinis dengan lesi besar/ menyolok, serta informasi lainnya. Diagnosa tergantung isolasi dan identifikasi virus dari swab (hapusan) trakea atau kloaka, feses, atau organ-organ internal. Spesimen-spesimen tersebut dikumpulkan dari banyak burung. Tidak jarang terjadi kegagalan mengidentifikasi virus pada spesimen-spesimen tersebut. Swab merupakan cara terbaik untuk mengirim virus A-1 dari jaringan/sekret burung yang suspek infeksi, dan dikirim dengan media yang mengandung antibiotik tinggi. Trakea, paru, limfa, kloaka, dan otak harus dijadikan sampel. Darah/serum dikumpulkan dari beberapa ekor burung, jika sampel tidak bisa dikirim dalam waktu 1 x 24 jam, perlu ditempatkan dalam es. Jika perjalanannya perlu waktu yang lama, bekukan sampel, dan cegah jangan sampai mencair di perjalanan.
3. Diagnosa Laboratorium.
Telur usia 9-11 hari yang ada embrionya diinokulasikan dengan spesimen yang ada. Virus flu burung akan membunuh embrio dalam waktu 48-72 jam. Jika hasilnya adalah virus tipe A, melalui tes ELISA atau AGP, kemudian dites lagi dengan antigen khusus untuk mengenali tipe serologinya (tipe HA dan NA). Serum dari ayam biasanya memberi hasil positif pada tes antibodi secepat-cepatnya 3-4 hari setelah gejala pertama muncul. 11
Flu burung adalah penyakit menular yang disebabkan virus influensa yang ditularkan oleh unggas. Virus infuensa A (H5) diperkirakan memiliki kemampuan mutasi sehingga dapat menyerang trans-spesies sehingga dapat menginfeksi manusia.
Dalam penegakkan diagnosis, terdapat beberapa kriteria diagnosis yang digunakan sesuai dengan temuan klinis yang didapatkan pada penderita pada tahapan dan waktu tertentu, yaitu 2
Kasus Observasi
• Panas > 38ºC dan > 1 gejala berikut:
- Batuk
- Radang tenggorokan
- Sesak napas yang pemeriksaan klinis dan laboratoriumnya sedang berlangsung
Kasus Possible (Kasus tersangka)
• Panas > 38ºC dan > 1 gejala berikut:
- Batuk
- Nyeri tenggorokan
- Sesak napas
• Dan salah satu di bawah ini:
- Hasil tes laboratorium positif untuk virus influenza A tanpa mengetahui subtipenya.
- Kontak 1 minggu sebelum timbul gejala dengan penderita yang confirmed
- Kontak 1 minggu sebelum timbul gejala dengan unggas yang mati karena sakit
- Bekerja di laboratorium 1 minggu sebelum timbul gejala yang memproses sampel dari orang atau binatang yang disangka terinfeksi Highly Pathogenic Avian Influenza
Kasus Probable: Kasus Possible
• Hasil laboratorium tertentu positif untuk virus influenza A (H5) seperti tes antibodi spesifik pada 1 spesimen serum
Kasus Confirmed (Kasus Pasti)
• Hasil biakan virus positif Influenza A (H5N1) atau
• Hasil dengan pemeriksaan PCR positif untuk influenza H5 atau
• Peningkatan titer antibodi spesifik H5 sebesar >4 kali
• Hasil dengan IFA positif untuk antigen H5

Kelompok Risiko Tinggi
Kelompok faktor resiko tinggi adalah pekerja peternakan atau pemprosesan unggas termasuk dokter hewan, pekerja laboratorium yang memproses sampel pasien atau hewan terjangkit, pengunjung peternakan/ pemprosesan unggas dalam 1 minggu terakhir, dan orang yang kontak dengan penderita flu burung. 3
Pencegahan
Saat ini belum ada vaksin yang melindungi manusia dari virus H5N1. 14,18,23 Namun usaha pengembangan vaksin sedang dilakukan, studi penelitian untuk menguji vaksin yang melindungi manusia terhadap H5N1 dimulai pada bulan April tahun 2005.6,13 WHO bersama dengan pusat dan laboratorium rujukan mengembangkan beberapa strain vaksin prototipe recombinan H5N1. 24
Tetapi ada pula yang menyatakan bahwa oseltamivir dapat digunakan sebagai pencegahan pada orang yang berisiko mendapat flu burung atau yang terpajan dengan dosis 75mg dosis tunggal selama 7 hari. 2,5

Menurut Kristina, pencegahan dapat dilakukan: 1
a. Pada unggas:
1. Pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung
2. Vaksinansi pada unggas yang sehat
b. Pada manusia:
1. Kelompok berisiko tinggi (pekerja peternakan dan pedagang)
a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.
b. Hindari kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung.
c. Menggunakan alat pelindung diri (contoh : masker dan pakaian kerja).
d. Meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja.
e. Membersihkan kotoran unggas setiap hari.
f. Imunisasi.
2. Masyarakat umum
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi & istirahat cukup.
b. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu :
- Pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya)
- Memasak daging ayam sampai dengan suhu ± 800 °C selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu ± 640 °C selama 4,5 menit.

Penatalaksanaan
Pasien harus istirahat, peningkatan daya tahan tubuh atau immunomodulator, terapi antivirus dan antibiotik, dan respiratory care. Pengobatan bagi penderita flu burung adalah: 1,3,11
1) Oksigenasi bila terdapat sesak napas.
2) Hidrasi dengan pemberian cairan parenteral (infus).
3) Pemberian obat anti virus
Terapi Antiviral
Empat obat yang digunakan untuk terapi dari infeksi virus influenza adalah adamantanes (adamantadin dan rimantadin) dan golongan terbaru neuraminidase inhibitors (zanamivir [Relenza] dan oseltamivir [Tamiflu]). Adamantanes mempunyai efek toksik dan cepat menjadi resisten. Neuraminidase inhibitor bekerja dengan cara melepaskan keturunan virus influenza dari sel host yang diinfeksi sehingga terjadi penghentian penyebaran di traktus respiratorius. Virus influenza bereplikasi mencapai puncak antaara 24-72 jam setelah dimulai sakit. Obat seperti neuraminidase inhibitor bekerja pada tahap seawal mungkin dari replikasi virus. Berbeda dengan adamantanes, neuraminidase inhibitor sangat sedikit bersifat toksik dan sangat sedikit berkembang menjadi obat yang resisten terhadap influensa.25
WHO menyarankan menggunakan penghambat neurominidase (zanimivir, oseltamivir). Dosis oseltamivir adalah 75 mg 2 kali sehari selama 5 hari dan diberikan secepatnya.17 Efek samping oseltamivir berupa nausea, muntah, sakit kepala, lemas, insomnia dan pusing.25
Ada yang menyatakan bahwa oseltamivir resisten terhadap strain flu burung di vietnam.23
Terapi Antibiotik
Secara empiris, antibiotik spektrum luas (mencakup bakteri Community Acquired Pneumonia termasuk tipikal dan atipikal) diberikan sesuai dengan derajat penyakitnya. Untuk lebih spesifik, konsultasikan dengan ahli infeksi dan ahli paru.
Imunomodulator
Kortikosteroid diberikan untuk memperlambat perjalanan penyakit pada fase fibropliferatif pada ARDS.17
Kriteria Pemulangan
Pada orang dewasa harus setelah 7 hari bebas demam, sedangkan anak-anak (<12 tahun) setelah 21 hari bebas demam baru boleh dipulangkan. Kebijakan Pemerintah Dalam rangka mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh flu burung, pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa kebijakan, di antaranya adalah sebagai berikut :1 a. Memberikan konpensasi bagi peternakan rakyat selama 6 bulan dari 29 Januari – 30 Juli 2004 berupa DOC dan Pakan. b. Memusnahkan semua unggas yang terserang flu burung dengan cara dibakar. c. Mengadakan vaksinasi bagi ayam atau ternak unggas yang masih sehat. d. Melakukan tindakan biosekuriti (pengawasan secara ketat terhadap lalu-lintas unggas produk unggas dan limbah peternakan unggas) untuk daerah yang bebas flu burung. PENUTUP Avian Influenza adalah penyakit menular yang disebabkan virus influensa yang ditularkan oleh unggas. Virus Influensa ini terjadi secara alami antar burung – burung. Virus Influensa A (H5) diperkirakan memiliki kemampuan mutasi sehingga dapat menyerang trans-spesies sehingga dapat menginfeksi manusia. Masa inkubasi pada manusia 1-3 hari. Masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala. Pada anak sampai 21 hari. Gejala sama dengan gejala flu pada umumnya. Perjalanan penyakit ke arah berat cepat sekali terjadi. Saat ini belum ada vaksin yang melindungi manusia darii virus H5N1 tetapi ada juga yang menyatakan bahwa oseltamivir dapat digunakan sebagai pencegahan. Penatalaksanaan pasien harus istirahat, peningkatan daya tahan tubuh atau immunomodulator, obat antivirus, antibotika, respiratory care. Perlu adanya penyuluhan/promosi kepada masyarakat tentang penyakit flu burung agar masyarakat tidak panik dan takut untuk mengkonsumsi produk unggas namun harus tetap waspada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kristina et al. 2004. Flu Burung dalam Kajian Masalah Kesehatan. Departemen Kesehatan, Jakarta.
2. Judarwanto, W. 2005. Penatalaksanan Flu Burung Pada Manusia. Dexa Medica, Jakarta.
3. Anonim. 2005. Recent Avian Influenza Outbreak in Asia. N Engl J Med, Massachusetts Medical Society.
4. Anonim. 2005. Waspada Flu Burung? Pusat Pelayanan Informasi Dept. Kominfo RI, Jakarta.
5. Priyanti, S. 2005. Diagnosis dan Penatalaksanaan Influensa Burung pada Manusia. FK UI, Jakarta.
6. Anonim, 2005. Apa itu Avian Influenza (Flu Burung)?.
7. Ungchusak, K, et al. 2005. Avian Influenza and Pandemics-Research Needs and Opportunities. N Engl J Med, Massachusetts Medical Society
8. Hien, TT et al. 2004. Avian Influenza-A Challenge to Global Health Care Structures. N Engl J Med, Massachusetts Medical Society
9. Stephenson, I et al. 2001. Influenza: Vaccination and Teratment. Eur Respir J.
10. Anonim. 2005. Avian Influenza.Southeast Poultry Research Laboratory, Athens, GA
11. Srijadi. 2005. Flu Burung (Avian Flu) di Indonesia?
12. Anonim. 2004. Avian Influenza- Fact Sheet. 1
3. Anonim. 2005. Key Facts About Avian Influenza (Bird Flu) and Avian Influenza A (H5N1) Virus.
14. Jacob, G.D. 1998. Avian Influenza in Poultry. IFAS Extension University of Florida.
15. Anonim. 2005. Flu Burung.
16. Ngurah, G. 2005. Pandemi Flu Burung : Menghitung Hari! FK Hewan Universitas Udayana, Denpasar.
17. Beigel, J 2005. Avian Influenza A (H5N1) Infection in Humans. N Engl J Med, Massachusetts Medical Society.
18. Ungchusak, K, et al. 2005. Probable Person to Person Transmission of Avian Influenza A (H5N1). N Engl J Med, Massachusetts Medical Society.
19. Anonim. 2005. Avian Influenza Protecting Poultry Workers at Risk. Safety and Health Information Bulletin. U.S. Dept. of Labor, Washington.
20. Chotpitayasunondh, T et al. 2005. Human Disease from Influenza A (H5N1), Thailand, 2004. Queen Sirikit National Institute of Child Health, Bangkok
21. Hien, TT et al. 2004. Avian Influenza A (H5N1) in Patients in Vietnam. N Engl J Med, Massachusetts Medical Society
22. De Jong, MD et al. 2005. Fatal Avian Influenza A (H5N1) in Child Presenting with Diarrhea Followed by Coma. N Engl J Med, Massachusetts Medical Society 2
3. Anonim. 2005. Avian Influenza
24. De Jong, MD et al. 2005. Fatal Avian Influenza A (H5N1). Journal Clin Virol. Ho Chi Minh City 25. Moscona, A. 2005. Neuraminidase Inhibitors for Influenza. N Engl J Med, Massachusetts Medical Society.

PERSALINAN LETAK LINTANG


Letak lintang merupakan salah satu malpresentasi janin yang dapat menyebabkan kelambatan atau kesulitan dalam persalinan. Letak lintang merupakan keadaan yang berbahaya karena besarnya kemungkinan risiko kegawatdaruratan pada proses persalinan baik pada ibu maupun janin (1).

Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Dr.Pirngadi, Medan dilaporkan angka kejadian letak lintang sebesar 0,6 %; RS Hasan Sadikin bandung 1,9 %; RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo selama 5 tahun 0,1 % dari 12.827 persalinan; sedangkan Greenhill menyebut angka 0,3 % dan Holland 0,5-0,6 % (2).

Bila persalinan letak lintang dibiarkan tanpa pertolongan akan dapat menyebabkan kematian baik pada ibu maupun janin. Ruptur uteri, perdarahan dan infeksi berakibat fatal ba

gi ibu sedangkan pada janin bisa terjadi prolapsus umbilikus, asfiksia hingga berlanjut pada kematian janin (2).

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Pada umumnya bokong berada sedikit lebih tinggi daripada kepala janin, sedangkan bahu berada pada pintu atas panggul. Punggung janin dapat berada di depan (dorsoanterior), di belakang (dorsoposterior), di atas (dorsosuperior), atau di bawah (dorsoinferior) (2).

Insidensi
Letak lintang terjadi rata-rata pada 1 dari 322 kelahiran tunggal (0,3%) baik di Mayo Clinic maupun di University of Iowa Hospital (Cruikshank dan White, 1973; Johnson, 1964). Di Parkland Hospital, dijumpai letak lintang pada 1 dari 335 janin tunggal yang lahir selama lebih dari 4 tahun (3). Janin letak lintang seringkali ditemukan dengan pemeriksaan USG pada awal gestasi. Angka kejadian meningkat jika janinnya prematur (4).

Beberapa Rumah sakit di Indonesia melaporkan angka kejadian letak lintang, antara lain: RSUP Dr.Pirngadi, Medan 0,6 %; RS Hasan Sadikin Bandung 1,9 %; RSUP Dr.Cipto Mangunkusumo selama 5 tahun 0,1 % dari 12.827 persalinan; sedangkan Greenhill menyebut angka 0,3 % dan Holland 0,5-0,6 % (2).

Etiologi
Penyebab utama letak lintang adalah (2,5):
1. Relaksasi berlebihan dinding abdomen akibat multiparitas yang tinggi
2. Janin prematur
3. Kehamilan kembar
4. Plasenta previa
5. Cairan amnion berlebih
6. Panggul sempit
7. Tumor di daerah panggul
8. Kelainan bentuk rahim (uterus abnormal), seperti uterus arkuatus atau uterus subseptus

Wanita dengan paritas 4 atau lebih memiliki insiden letak lintang 10 kali lipat dibanding wanita nullipara. Relaksasi dinding abdomen pada perut gantung menyebabkan uterus jatuh ke depan, sehingga menimbulkan defleksi sumbu panjang bayi menjauhi sumbu jalan lahir, yang menyebabkan terjadinya posisi oblik atau melintang. Plasenta previa dan panggul sempit menyebabkan terjadinya posisi oblik atau melintang. Letak lintang atau letak oblik kadang-kadang terjadi dalam persalinan dari posisi awal longitudinal (3).

Diagnosis

Abdomen biasanya melebar dan fundus uteri membentang hinggga sedikit di atas umbilikus. Tidak ditemukan bagian bayi di fundus, dan balotemen kepala teraba pada salah satu fossa iliaca yang lain. Di atas simfisis juga tidak ditemukan bagian bayi, kecuali bila bahu sudah turun ke dalam panggul. Pada saat yang sama, posisi punggung mudah diketahui. Bila punggungnya terletak di anterior, suatu dataran yang keras membentang di bagian depan perut ibu; bila punggungnya di posterior, teraba nodulasi ireguler yang menggambarkan bagian-bagian kecil janin dapat ditemukan pada tempat yang sama. Denyut jantung ditemukan di sekitar umbilikus (2,3)

Pada pemeriksaan dalam, pada tahap awal persalinan, bagian dada bayi, jika dapat diraba, dapat dikenali dengan adanya “rasa bergerigi” dari tulang rusuk. Bila dilatasi bertambah, punggung dapat ditentukan dengan terabanya skapula dan ruas tulang belakang, sedangkan dada dapat diketahui dengan terabanya klavikula. Posisi aksila menunjukkan sisi tubuh ibu tempat bahu bayi menghadap. Kalau aksila menutup ke kiri, bahu bayi menghadap ke kiri, sebaliknya kalau aksila menutup ke kanan maka bahu bayi menghadap ke kanan. Pada tahap lanjut persalinan, bahu akan terjepit erat di rongga panggul dan salah satu tangan atau lengan sering mengalami prolaps ke vagina dan melewati vulva. Kadang-kadang dapat pula diraba tali pusat yang membubung (2,3).

Meskipun letak lintang baru diketahui menjelang persalinan, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi untuk mengetahui apakah ada faktor predisposisi, seperti plasenta previa atau massa pada pelvis, yang dapat mempengaruhi penatalaksanaan dari pasien yang bersangkutan. Selama tidak ada plasenta previa, banyak dokter kandungan yang melakukan pemeriksaan dalam berulang untuk mengetahui adanya dilatasi servik sejak awal dan konsekuensi dari meningkatnya prolaps tali pusat. Beberapa pasien berakhir dengan seksio sesaria untuk menghindari resiko ini (6).


Proses Persalinan

Setelah ketuban pecah, jika persalinan berlanjut, bahu janin akan dipaksa masuk ke dalam panggul dan tangan yang sesuai sering menumbung. Setelah terjadi sedikit penurunan, bahu tertahan oleh tepi atas panggul, dengan kepala di salah satu fossa iliaca dan bokong pada fossa iliaca yang lain. Bila proses persalinan berlanjut, bahu akan terjepit kuat di bagian atas panggul. Uterus kemudian berkontraksi dengan kuat dalam upayanya yang sia-sia untuk mengatasi halangan tersebut. Setelah beberapa saat, akan terbentuk cincin retraksi yang semakin lama semakin meninggi dan semakin nyata. Keadaan ini disebut sebagai letak lintang kasep. Jika tidak cepat ditangani dengan benar, uterus akhirnya akan mengalami ruptur dan baik ibu maupun bayi dapat meninggal (3).

Bila janin amat kecil (biasanya kurang dari 800 gram) dan panggul sangat lebar, persalinan spontan dapat terjadi meskipun kelainan tesebut menetap. Janin akan tertekan dengan kepala terdorong ke abdomen. Bagian dinding dada di bawah bahu kemudian menjadi bagian yang paling bergantung dan tampak di vulva. Kepala dan dada kemudian melewati rongga panggul secara bersamaan, dan bayi dapat dikeluarkan dalam keadaan terlipat (conduplicati corpore) (3).

Komplikasi
Letak lintang merupakan keadaan malpresentasi yang paling berat dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi pada ibu dan janin. Komplikasi akan bertambah berat jika kasus letak lintang telambat didiagnosa. Pada ibu, dapat terjadi dehidrasi, pireksia, sepsis, perdarahan antepartum, perdarahan pos partum, ruptur uteri, kerusakan organ abdominal hingga kematian ibu. Pada janin, dapat terjadi prematuritas, bayi lahir dengan apgar skor yang rendah, prolapsus umbilikus, maserasi, asfiksia hingga kematian janin (7,8).

Penatalaksanaan

Apabila pada pemeriksaan antenatal ditemukan letak lintang, sebaiknya diusahakan menjadi presentasi kepala dengan versi luar. Sebelum melakukan versi luar harus dilakukan pemeriksaan teliti ada atau tidaknya panggul sempit, tumor dalam panggul, atau plasenta previa, sebab dapat membahayakan janin dan meskipun versi luar berhasil, janin mungkin akan memutar kembali. Untuk mencegah janin memutar kembali, ibu dianjurkan menggunakan korset dan dilakukan pemeriksaan antenatal ulangan untuk menilai letak janin. Ibu diharuskan masuk rumah sakit lebih dini pada permulaan persalinan, sehingga apabila terjadi perubahan letak, segera dapat ditentukan prognosis dan penanganannya. Pada permulaan persalinan, masih dapat diusahakan mengubah letak lintang janin menjadi presentasi kepala asalkan pembukaan masih kurang dari 4 cm dan ketuban belum pecah (2).

Pada primigravida, jika versi luar tidak berhasil sebaiknya segera dilakukan seksio sesaria. Sikap ini berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahu tidak dapat melakukan dilatasi pada serviks dengan baik, sehingga pada primigravida kala I menjadi lama dan pembukaan serviks sukar menjadi lengkap
2. Karena tidak ada bagian besar janin yang menahan tekanan intra-uterin pada waktu his, maka lebih sering terjadi ketuban pecah sebelum pembukaan serviks sempurna dan dapat mengakibatkan terjadinya prolapsus funikuli
3. Pada primigravida versi ekstraksi sulit dilakukan (2).

Pertolongan persalinan letak lintang pada multipara bergantung kepada beberapa faktor. Apabila riwayat obstetri yang bersangkutan baik, tidak didapat kesempitan panggul, dan janin tidak seberapa besar, dapat ditunggu dan diawasi sampai pembukaan lengkap untuk melakukan versi ekstraksi. Selama menunggu harus diusahakan supaya ketuban tetap utuh dan melarang ibu meneran atau bangun. Apabila ketuban pecah sebelum pembukaan lengkap dan terdapat prolapsus funikuli, harus segera dilakukan seksio sesaria. Jika ketuban pecah, tetapi tidak ada prolapsus funikuli, maka bergantung tekanan dapat ditunggu sampai pembukaan lengkap kemudian dilakukan versi ekstraksi atau mengakhiri persalinan dengan seksio sesaria. Dalam hal ini, persalinan dapat diawasi untuk beberapa waktu guna mengetahui apakah pembukaan terjadi dengan lancar atau tidak. Versi ekstraksi dapat dilakukan pula pada kehamilan kembar, apabila setelah bayi pertama lahir, ditemukan bayi kedua berada dalam letak lintang (2).

Pada letak lintang kasep, bagian janin terendah tidak dapat didorong ke atas, dan tangan pemeriksa yang dimasukkan ke dalam uterus tertekan antara tubuh janin dan dinding uterus. Demikian pula ditemukan lingkaran Bandl yang tinggi. Berhubung adanya bahaya ruptur uteri, letak lintang kasep merupakan kontraindikasi mutlak melakukan versi ekstraksi. Bila janin masih hidup, hendaknya dilakukan seksio sesaria dengan segera (2).

Versi dalam merupakan alternatif lain pada kasus letak lintang. Versi dalam merupakan metode dimana salah satu tangan penolong masuk melalui serviks yang telah membuka dan menarik salah satu atau kedua tungkai janin ke arah bawah. Umumnya versi dalam dilakukan pada kasus janin letak lintang yang telah meninggal di dalam kandungan dengan pembukaan serviks lengkap. Namun, dalam keadaan tertentu, misalnya pada daerah-daerah terpencil, jika dilakukan oleh penolong yang kompeten dan berpengalaman, versi dalam dapat dilakukan untuk kasus janin letak lintang yang masih hidup untuk mengurangi risiko kematian ibu akibat ruptur uteri. Namun, pada kasus letak lintang dengan ruptur uteri mengancam, korioamnionitis dan risiko perdarahan akibat manipulasi uterus, maka pilihan utama tetaplah seksio sesaria (9).

Prognosis
Meskipun letak lintang dapat diubah menjadi presentasi kepala, tetapi kelainan-kelainan yang menyebabkan letak lintang, misalnya panggul sempit, tumor panggul dan plasenta previa, masih tetap dapat menimbulkan kelainan pada persalinan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dan janin pada letak lintang, disamping kemungkinan terjadinya letak lintang kasep dan ruptura uteri, juga sering akibat adanya tali pusat menumbung serta trauma akibat versi ekstraksi untuk mengeluarkan janin (2).

Prognosis pada kehamilan letak lintang sangat dipengaruhi oleh riwayat pemeriksaan kehamilan, kecepatan penegakkan diagnosa dan sarana-prasarana kesehatan yang ada. Semakin lambat diagnosa letak lintang ditegakkan, maka kemungkinan bayi akan tetap berada dalam posisi lintang pada saat persalinan akan semakin besar. Sebagai perbandingan jika diagnosa dibuat pada UK 20-25 minggu, ± 2,6 % akan tetap pada posisi lintang dan jika diagnosa dibuat pada UK 36-40 minggu, ± 11,8 % akan tetap pada posisi lintang (4). Di negara dengan sarana-prasarana yang sudah maju, angka kematian ibu dan janin pada kasus letak lintang sudah cukup rendah. Namun, pada negara tertinggal, berbagai komplikasi masih terjadi akibat tidak adanya fasilitas seksio sesaria (10).


Angka kematian ibu sekitar 0-2 % ( RS Hasan Sadikin Bandung, 1966). Sedangkan angka kematian janin sekitar 18,3 % (RS Hasan Sadikin) dan 23,3 % (RS Umum Pusat Prop. Medan). Angka ini kira-kira sama dengan yang didapatkan oleh Wilson santara tahun 1935-1950. Tetapi dengan meningkatnya frekuensi seksio sesaria pada letak lintang, pada tahun 1951-1956 Wilson melaporkan angka kematian janin sangat menurun menjadi 5,6 % (2).

Berdasarkan penelitian WHO pada tahun 2004, rerata angka kematian akibat malposisi dan malpresentasi janin di negara-negara berkembang, seperti Brazil, Nikaragua, Ekuador dan Meksiko, sebesar 1,3 % (11).

DAFTAR PUSTAKA


1. Mansjoer, A. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: FKUI, 2001.

2. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 2002.

3. Gary F. Cunningham, Norman F.Gant, Kenneth J.Leveno, Larr C.Gilstrap III, John C.Hauth, Katharine D.Wenstrom. Obstetri Williams. Edisi 21. Vol 1. Jakarta:EGC, 2006.

4. Watson AB. Management Of The Fetus In Intransverse Lie. 2006. (Online), (http://www.patients.uptodate.com, diakses 9 Desember 2007).
5. Scott MM. Shoulder Presentation Transverse Lie. Family Paractice Notebook.com. 2007.

6. OB-GYN101. Introductory Obstetrics & Gynecology. Medical Education Division, Brookside Associates, Ltd. 2005.
7. WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. 2003. (Online), (http://www.who.int/ reproductive-help/impac.html, diakses 9 Desember 2007).
8. Nasir NK, Shamim SM, Musarrat H, Naeema U. Maternal and foetal complications in neglected transverse lie. J Postgrad Med Inst. 2006;20(2):126-30.
9. Mahendru A, Onome O, Ketan G, Charu R. Role Of Internal Podalic Version In Developing Countries. The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics. 2006;6(1).
10. Brown, Teri. The Sideways Baby :Dealing with Transverse Pregnancies. (Online), (http://att.iparenting.com, diakses 9 Desember 2007).
11. WHO. Mortality Statistics: Obstructed Labour due to Malposition and Malpresentation of Fetus (most recent) by Country. 2004. (Online), (http://www.nationmaster.com, diakses 9 Desember 2007).
12. Mochtar, R. Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jilid 1. EGC: Jakarta, 1998.


Mola hidatidosa (hamil anggur)


Mola hidatidosa (hamil anggur)



Mola hidatidosa adalah kehamilan yang abnormal di mana hampir seluruh villi chorialis dan jaringan trofoblas mengalami degenerasi hidrofik pada usia kehamilan muda. Kadar B-hCG meningkat sangat tinggi, menyebabkan timbul gejala-gejala kehamilan muda yang berlebihan. Mola hidatidosa mempunyai ciri-ciri stroma villi korialis langka vaskularisasi dan edematus. Janin biasanya meninggal dan villi korialis yang membesar itu hidup dan terus tumbuh sehingga memberikan gambaran sebagai segugus buah anggur.1,2,3



 
Di negara barat (USA), frekuensi mola hidatidosa mempengaruhi 1 per 1000-2000 kehamilan. Frekuensi mola umumnya pada wanita di Asia lebih tinggi (1 atas 120 kehamilan) daripada wanita di negara-negara barat (1 atas 2000). Secara internasional, di negara-negara Asia tingkat kejadiannya 15 kali lebih tinggi dibandingkan negara barat.4,5,6

Pada mola, uterus membesar lebih cepat dari biasa, penderita mengeluh tentang mual dan muntah, tidak jarang terjadi perdarahan per vaginam. Kadang-kadang pengeluaran darah disertai dengan pengeluaran beberapa gelembung villus, yang memastikan diagnosis mola hidatidosa. Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa ialah edema stroma villi, tidak ada pembuluh darah pada villi dan proliferasi sel-sel trofoblas.3,6

Mola hidatidosa dibagi menjadi 2 macam yaitu mola hidatidosa klasik/komplit, jika tidak ditemukan janin dan mola hidatidosa parsial/inkomplet, jika disertai janin atau bagian janin.2,7,8

TINJAUAN PUSTAKA


Definisi


Mola hidatidosa adalah kehamilan yang abnormal di mana hampir seluruh villi chorialis dan jaringan trofoblas mengalami degenerasi hidrofik pada usia kehamilan muda. Kadar B-hCG meningkat sangat tinggi, menyebabkan timbul gejala-gejala kehamilan muda yang berlebihan. Mola hidatidosa mempunyai ciri-ciri stroma villi korialis langka vaskularisasi dan edematus. Janin biasanya meninggal dan villi korialis yang membesar itu hidup dan terus tumbuh sehingga memberikan gambaran sebagai segugus buah anggur1,2,3 . Istilah awam disebut dengan “hamil anggur”, karena gambaran yang ditemukan seperti buah anggur. Jaringan trofoblast pada villi kadang berproliferasi ringan, kadang keras dan mengeluarkan hormon human chorionic gonadotrophin (hCG), hCG merupakan hormon glikoprotein yang diproduksi oleh jaringan trophoblastic dan oleh karenanya hCG menjadi marker adanya Gestational Trphoblastic Disease (GTD).2,9

Insidensi
Insidensi teringgi mola hidatidosa ada di Asia tenggara, Indonesia, India dan Turki dengan rata-rata kejadian 2-12 insiden per 1000 kehamilan, di Amerika utara dan Eropa insidensinya lebih rendah yakni 0,5-1 per 1000 kehamilan. Insidensi terendah terdapat di Jepang, Korea dan Taiwan9. Laksmi Sintari dan kawan-kawan melakukan penelitian berdasarkan populasi di Malang dan menemukan angka untuk mola hidatidosa 2,47:1000 atau 1:405 persalinan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara barat, dimana insidensinya berkisar 1:1000 sampai 1:2500 kehamilan.6

Klasifikasi
Penyakit trofoblas Gestasional (GTD) berasal dari kelainan pertumbuhan trofoblast plasenta atau calon plasenta yang bersifat neoplastik. Penyakit ini dibagi 2 menjadi : 6,7,10,11

1. Penyakit trofoblas jinak
Mola hidatidosa klasik/komplet
Tidak terdapat janin atau bagian tubuh janin. Ciri histologik, ada gambaran proliferasi trofoblas, degenerasi hidrofik villi chorialis dan berkurangnya vaskularisasi/kapiler dalam stroma. Sering disertai pembentukan kista lutein (25-30 %).
Mola hidatidosa parsial/inkomplet
Terdapat janin atau bagian tubuh janin. Ciri histologik, terdapat jaringan plasenta yang sehat dan fetus. Gambaran edema villi hanya fokal dan proliferasi trofoblas hanya ringan dan terbatas pada lapisan sinsitiotrofoblas. Perkembangan janin terhambat akibat kelainan kromosom dan umumnya mati pada trimester pertama.

2. Penyakit trofoblas ganas
• Koriokarsinoma vilosum
Tipe ini terdapat pembesaran abnormal dari plasenta dan villi chorionic yang oedematus yang dlingkupi oleh proliferasi abnormal dari trophoblas11.
• Koriokarsinoma non vilosum
Merupkan bentuk utama dari choriocarcinoma, merupakan tumor haemoragic derivat dari intermediet trophoblas dan terjadi pada tempat implantasi dari plasenta11.


Etiologi
Walaupun etiologi penyakit ini tidak diketahui, namun terdapat faktor-faktor yang dapat menyebabkannya antara lain :6,7

1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan.
2. Imunoselektif dari trofoblast
3. Keadaan sosial ekonomi yang rendah
4. Paritas tinggi
5. Teori Acosta-Sison : defisiensi protein
6. Infeksi virus
7. Sitogenetika : mola hidatidosa komplet berasal dari genom paternal (genotipe 46 xx sering, 46 xy jarang, tapi 46 xy nya berasal dari reduplikasi haploid sperma dan tanpa kromosom dari ovum). Mola parsial mempunyai 69 kromosom 2 haploid paternal dan 1 haploid maternal (triploid, 69 xxx atau 69 xxy dari 1 haploid ovum dan lainnya reduplikasi haploid paternal dari satu sperma atau fertilisasi dispermia)11

Kelompok Resiko Tinggi
Beberapa faktor resiko terjadinya mola hidatidosa adalah :4,6,7,10
1. Usia
2. Mola hidatidosa lebih umum terjadi pada usia reproduktif yaitu wanita di bawah usia 20 tahun atau pada usia perimenopause (di atas 34 tahun). Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun memiliki peningkatan resiko 2 kali lipat, sedangkan wanita berusia lebih dari 40 tahun mengalami peningkatan resiko 7 kali lipat dibandingkan wanita yang lebih muda.
3. Golongan sosioekonomi rendah
Kebanyakan peneliti melaporkan resiko mola hidatidosa tinggi pada golongan sosial ekonomi rendah.
4. Jumlah paritas tinggi
5. Riwayat kehamilan mola sebelumnya
Beberapa peneliti mendapatkan bahwa resiko mola hidatidosa naik pada wanita yang pernah menderita kehamilan mola hidatidosa (4-5 kali resiko kehamilan mola hidatidosa pertama).
6. Kehamilan ganda
Wanita yang hamil kembar meningkatkan resiko mola hidatidosa.
7. Golongan darah
Berdasarkan klinis penelitian didapatkan pada golongan darah O (42,9 %), B (30,5 %), A (21,2 %) dan AB (5,4 %).

Patogenesa
Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari mola hidatidosa. Pertama teori missed abortion. Mudigah mati pada kehamilan 3 -5 minggu (missed abortion). Karena itu terjadi gangguan peredaran darah sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenkim dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung. Menurut Reynolds, kematian mudigah itu disebabkan kekurangan gizi berupa asam folik dan histidine pada kehamilan hari ke 13 dan 21. Hal ini kemudian mengakibatkan gangguan angiogenesis. Kedua, teori neoplasma dari Park yang mengatakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyaim fungsi abnormal pula,dimana terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam villi sehingga timbul gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah.5


Manifestasi Klinis 6,7,8
- Amenore dan tanda-tanda kehamilan muda yang berlebihan seperti hiperemesis, pusing, mual dan sebagainya.
- Perdarahan per vaginam berulang. Darah cenderung berwarna coklat. Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.
- Pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.
- Tidak terabanya bagian janin dari palpasi dan tidak terdengarnya bunyi jantung janin (BJJ) sekalipun uterus sudah membesar setinggi pusar atau lebih.
- Preeklampsia atau eklampsia yang terjadi sebelum kehamilan 24 minggu.
- Kadar hCG tinggi dalam darah dan kencing.

Diagnosa 2,6
1. Anamnesis
Ada kehamilan disertai gejala dan tanda kehamilan muda yang berlebihan, perdarahan per vaginam berulang cenderung berwarna coklat dan kadang bergelembung seperti busa.

2. Pemeriksaan fisik
Uterus membesar melebihi ukuran usia kehamilan yang sesuai, tidak teraba bagian janin, tidak ada bunyi jantung janin. Uji batang sonde (Acosta-Sison/Hanifa) tidak ada tahanan massa konsepsi.

3. Pemeriksaan penunjang
Jika memungkinkan, periksa B-hCG kuantitatif dan USG 9,11. Pada USG memberikan gambaran seperti badai salju (snowflake/snowstorm-like appearance)9,11. Foto thoraks, kadar T3/T4 dan pemeriksaan sitologi Patologi anatomi juga dianjurkan .
Pemeriksaan B-hCG :
- Biologis : Gaili Mainnini, Friedman
Gaili Mainnini 1/300 (+), maka suspek mola hidatidosa
Gaili Mainnini 1/200 (+), maka kemungkinan mola hidatidosa atau hamil kembar. Bahkan pada mola atau koriokarsinoma, uji biologik atau imunologik cairan serebrospinal dapat menjadi positif.
- Tes imunologik : tidak kuantitatif
- Radioimunoassay : kuantitatif

Diagnosa Banding
Kehamilan dengan mioma, abortus, hidramnion dan gemeli.7

Komplikasi
Anemia, syok, infeksi, eklampsia, tirotoksikosis dan bisa menjadi ganas pada kira-kira 18-20 % kasus dimana akan menjadi mola destruens atau koriokarsinoma.7


Penatalaksanaan 1,5,7,9
Terapi mola hidatidosa terdiri 4 tahap yaitu :1) perbaikan keadaan umum; 2) pengeluaran jaringan mola; 3) terapi profilaksis dengan sitostatika; 4) pemeriksaan tindak lanjut (follow up).
1. Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia dan tirotoksikosis.
2. Pengeluaran jaringan mola
Ada dua cara yaitu:
1) Kuretase: Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase. Kuretase pertama dilakukan dengan kuret tumpul, kuretase kedua selang 1 minggu dengan kuret tajam.
2) Histerektomi : Tindakan ini dilakukan pada wanita yang telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan.
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Terapi profilaksis diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadinya keganasan misalnya umur tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan histerektomi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan. Biasanya diberikan methotrexate atau actinomycin D.
4. Pemeriksaan tindak lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola hidatidosa. Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil. Pasien juga dipesan untuk kontrol rutin dan awasi tentang kemungkinan terjadinya koriokarsinoma.

Prognosis
Hampir 20 % mola hidatidosa komplet berlanjut menjadi keganasan, sedangkan mola hidatidosa parsial jarang. Prognosis memburuk dengan kadar B-hCG > 100.000 mIU/ml, Mola yang terjadi berulang disertai tirotoksikosis atau kista lutein memiliki kemungkinan menjadi ganas lebih tinggi.2,7

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonymous. Standar Diagnosa dan Terapi. Edisi ke-2. RSU Ulin, Banjarmasin. 1997;
128.

2. Anonymous.MolaHidatidosa.http://www.geocities.com/yosmite/rapids/1744/cklgin7.html

3. Prawirohardjo, S. Mola Hidatidosa dalam Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. 1999; 362-4

4. Moore, Lisa. E. Hydatidiform Mole. eMedicine Journal, Volume 3, Number 3. Last updated March 14, 2002. Dari URL : http://www.eMedicine.com

5. Kudelka, Andrzej. P. Gestational Trophoblastic Tumors Chapter 23. 2003. Dari URL : http://www.cancernetwork.com

6. Martaadisoebrata, D. Penyakit serta Kelainan Plasenta dalam Selaput Janin tentang Penyakit Trofoblas dalam Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.1999; 349-60

7. Kampono, Nugroho, dr. Penyakit Trofoblastik Gestasional (PTG). Kuliah Obstetri/Ginekologi. 2004. Dari URL : http://www.geocities.com

8. Mansjoer, Arif. Mola Hidatidosa dalam Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Media Aesculapius FKUI, Jakarta.1999; 265-67

9. Nienke EV et al. (2005). Diagnosis of hydatidiform mole and persistent trophoblastic disease: diagnostic accuracy of total human chorionic gonadotropin (hCG), free hCG a- and b-subunits, and their ratios. European Journal of Endocrinology .153 .565–575.

10. Supriyono, Y. Neoplasma Trofoblast Gestasional. Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi. FK UNDIP-RS Karyadi, Semarang. 1991; 13-61

11. Nienke EV. Refinements in the Management of Persistent Trophoblastic Disease. University of Nijmagen, Rotterdam. 2006 ; 16.




KEHAMILAN EKTOPIK KRONIS


Kehamilan ektopik pertama kali ditemukan pada abad ke-11 dan insidensinya terus meningkat yang kemungkinan karena meningkatnya pula insidensi pelvic inflammatory disease (PID) terutama akibat Chlamydia dan gonorrhea. Sekarang ini lebih dari 1% dari semua kehamilan adalah kehamilan ektopik. Di Rumah sakit Pringadi Medan (1979-1981) dilaporkan frekuensi kehamilan ektopik 1 diantara 139 kehamilan. Di RSCM terdapat 1 diantara 26 kehamilan. Di negara berkembang berkisar antara 1 :38 sampai 1 : 150 kehamilan. Di negara maju berkisar 1:250 kehamilan. Sedangkan frekuensi kehamilan ektopik berulang 1-14,6%. Kira-kira 6% dari kehamilan ektopik adalah kehamilan ektopik lama (1,2,3)
Kehamilan ektopik ialah kehamilan dengan hasil konsepsi yang berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium uterus. Kehamilan ektopik (KE) merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu terutama pada kehamilan trimester pertama. Suatu kehamilan ektopik dapat mengalami resolusi spontan tanpa gejala. Akan tetapi kehamilan ektopik yang terlantar atau tidak terdiagnosis berkembang menjadi suatu kehamilan ektopik terganggu (KET) dengan segala penyebabnya. Tanpa penanganan yang adekuat maka morbiditas akan meningkat bahkan dapat menyebabkan kematian ibu (4)
Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi perempuan karena besarnya kemungkinan kedaruratan bila kehamilan ektopik tersebut terganggu (5)
KET merupakan peristiwa yang sering dihadapi oleh setiap dokter. Karena beragamnya gambaran klinik KET maka perlu diketahui dan diingat bahwa setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan dan keterlambatan haid yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah perlu dipikirkan kemungkinan mengalami KET (5)

TINJAUAN PUSTAKA


Definisi

Kehamilan ektopik ialah kehamilan dengan hasil konsepsi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium uterus. Kata ektopik dapat diartikan tempat atau posisi yang abnormal. Istilah lainnya bagi kehamilan ektopik yaitu ectopic pregnancy, ectopic gestation dan eccecyesis. Istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah ekstrauterin yang sekarang masih juga banyak dipakai, oleh karena kehamilan ekstrauterin tidaklah identik dengan kehamilan ektopik, misalnya kehamilan pada pars intertisial tuba dan kehamilan pada kanalis servikalis masih terdapat dalam rahim, namun jelas sifatnya abnormal dan ektopik (1,6,7)

Klasifikasi

Menurut Titus klasifikasi pembagian tempat-tempat terjadinya kehamilan ektopik adalah (1,8):
(1) Kehamilan tuba
- Interstisial (2%)
- Isthmus (25%)
- Ampula (55%)
- Fimbrial (17%)
(2) Kehamilan ovarial (0,5%)
(3) Kehamilan tubo-ovarial
(4) Kehamilan intraligamenter
(5) Kehamilan servikal
(6) Kehamilan abdominal primer dan sekunder
(7) Kehamilan tanduk rahim rudimenter

Kehamilan ektopik ini didiagnosa ketika hasil fertilisasi berimplantasi diluar cavum uterus. 95% dari kehamilan ektopik terjadi pada tuba fallopi yang disebut kehamilan tuba. Bagian ampula tuba fallopi adalah daerah yang paling sering mengalami kehamilan ektopik yang didukung oleh bagian isthmus yang menyempit. Insidensi kehamilan ektopik semakin meningkat yang kemungkinan karena meningkatnya pula insidensi pelvic inflammatory disease (PID) terutama akibat Chlamydia dan gonorrhea (2)

Frekuensi

Frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas, sehingga tidak dibuat diagnosisnya. Tidak semua kehamilan ektopik berakhir dengan abortus dalam tuba atau ruptur tuba. Sebagian hasil konsepsi mati dan pada umur muda kemudian diresorbsi. Pada hal yang terakhir ini penderita hanya mengeluh haidnya terlambat untuk beberapa hari (9). Sekarang ini lebih dari 1% dari semua kehamilan adalah kehamilan ektopik dan angka kehamilan heterotopik juga meningkat dengan lebih meningkatnya pengobatan atau perawatan dengan IVF yang merupakan salah satu teknologi reproduktif. Kehamilan heterotopik ialah terjadinya dua kehamilan yang berdekatan dimana kehamilan yang satu terjadi dalam cavum uteri sedang kehamilan yang lain dapat terjadi di tuba, ovarium ataupun servik (2)

Etiologi
Penyebab kehamilan ektopik ada yang diketahui dan ada pula yang belum diketahui. Hampir 50% wanita dengan kehamilan ektopik memiliki riwayat pelvic inflammatory disease (PID). Infeksi ini terjadi di tuba fallopi dan dapat menyebar ke uterus dan ovarium. Infeksi ini paling sering disebabkan oleh organisme gonorrhea dan chlamydia yang biasanya ditularkan melalui hubungan sexual (6).

Beberapa faktor penyebab kehamilan ektopik antara lain (1) :

a. Faktor uterus
    (1) Tumor uterus yang menekan tuba
    (2) Uterus hipoplastis
b. Faktor tuba
   (1) Penyempitan lumen tuba oleh karena infeksi endosalfing
   (2) Kelainan bawaan pada tuba berupa tuba sempit, panjang dan berlekuk-lekuk
   (3) Gangguan fungsi rambut getar (silia) tuba
   (4) Operasi dan sterilisasi tuba yang tidak sempurna
   (5) Striktur tuba
   (6) Divertikel tuba dan kelainan congenital lain
   (7) Perlekatan perituba dan lekukan tuba
   (8) Tumor lain menekan tuba
c. Faktor ovum
   (1) Migrasi eksterna dari ovum
   (2) Perlekatan membrane granulose
   (3) Rapid cell devision
   (4) Migrasi internal ovum

Kondisi Lain yang juga meningkatkan resiko kehamilan ektopik (6) :

♦ Endometriosis
Suatu keadaan dimana jaringan normal uterus ditemukan di luar dari uterus dan dapat menyumbat tuba fallopi.
♦ Paparan dietilsilbestrol (DES)
Bila wanita mendapat DES (hormone estrogen sintetik) selama hamil, wanita tersebut akan mengalami abnormalitas pada tuba fallopi yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik.
♦ Terapi hormone
Estrogen dan progesteron ialah hormon yang mengatur siklus menstruasi dan dapat juga untuk pengobatan. Terapi hormon ini dapat mempengaruhi lapisan dalam dari tuba fallopi dan memperlambat pergerakan zigot untuk menuju uterus. Wanita yang hamil walaupun hanya mendapatkan kontrasepsi yang mengandung progesteron memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami kehamilan ektopik.
♦ Penggunan IUD (Intrauterine device)
Kontrasepsi ini merupakan alat yang dirancang untuk mencegah hasil fertilisasi berimplantasi di uterus tetapi hanya memiliki efek yang minimal untuk mencegah kehamilan ektopik. Jadi bila wanita menjadi hamil selama menggunakan kontrasepsi IUD maka hasil fertilisasi akan berimplantasi di beberapa tempat lain selain di uterus. Sebagai contoh seorang wanita hamil selama menggunakan kontrasepsi IUD yang mengandung progesteron, 15% akan mengalami kehamilan ektopik bila akhirnya wanita tersebut hamil.
♦ Pembedahan pada tuba fallopi
Resiko kehamilan ektopik dapat meningkat 60% setelah dilakukan sterilisasi tuba elektif yaitu prosedur dimana tuba fallopi dipotong untuk mencegah terjadinya kehamilan. Wanita yang tidak berhasil dalam pembedahan akan mengalami kehamilan ektopik.
♦ Bekas radang pada tuba
Radang menyebabkan perubahan-perubahan pada endosalfing sehingga walaupun fertilisasi masih dapat terjadi, gerakan ovum ke uterus terlambat (7)


Patofisiologi
Setiap kehamilan dimulai dengan pembuahan ovum di bagian ampula tuba, dan dalam keadaan normal akan terjadi nidasi pada uterus. Kehamilan ektopik dapat berupa kehamilan tuba, kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal dan kehamilan intraabdominal. Yang paling sering terjadi adalah kehamilan tuba. Kehamilan tuba dapat terjadi pada pars interstitialis, pars ismika, pars ampularis dan infundibulum tuba (10)

Pada kehamilan tuba, dalam perjalanannya ovum yang dibuahi ke uterus mengalami hambatan sehingga pada saat nidasi masih berada di tuba. Disamping itu juga sebagai akibat kelainan dari ovum itu sendiri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau interkolumner. Secara kolumner telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi secara interkolumner telur bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna dan kadang-kadang tidak tampak, dengan mudah villi khorealis menembus endosalping dan masuk ke dalam lapisan otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin selanjutnya bergantung pada beberapa faktor seperti tempat implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi tropoblas (1,11)

Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum graviditatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, bahkan endometrium dapat berubah pula menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-perubahan pada endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Setelah janin mati, desidua dalam uterus mengalami degenerasi dan kemudian dikeluarkan berkeping-keping, tetapi kadang-kadang dilepaskan secara utuh. Perdarahan pada kehamilan ektopik terganggu berasal dari uterus dan disebabkan oleh pelepasan desidua yang degeneratif (11)

Karena tuba bukan merupakan tempat normal bagi kehamilan, maka sebagian besar kehamilan tuba akan terganggu pada umur 6 – 10 minggu kehamilan. Dan nasib dari hasil konsepsi bisa menjadi (1) :
1. mati dan kemudian diresorbsi
2. terjadi abortus tuba (65%), ibu mengalami keguguran dan hasil konsepsi terlepas dari dinding tuba kemudian terjadi perdarahan yang bisa sedikit atau banyak. Hasil konsepsi dan perdarahan bisa keluar ke arah kavum uteri dan dikeluarkan per vaginam.
3. Terjadi ruptura tuba (35%). Bila robekan kecil maka hasil konsepsi tetap tinggal dalam tuba, sedangkan dari robekan terjadi perdarahan yang banyak. Bila robekan besar, maka hasil konsepsi keluar dan masuk dalam rongga perut sehingga bertumpuk di belakang rahim disebut juga massa pelvis (pelvic mass). Nasib hasil konsepsi ini bisa berupa:
a. mati dan bersama darah berkumpul di retrouteri
b. bila janin agak besar dan mati akan menjadi litopedion dalam rongga perut, atau
c. janin keluar dari tuba diselubungi kantong amnion dan plasenta yang utuh, kemungkinan terus tumbuh dalam rongga perut dan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Plasenta akan melebar mencari kebutuhan janin pada usus, ligamentum latum, dan organ-organ disekitarnya. Selanjutnya janin dapat tumbuh terus, bahkan sampai aterm.

Gambaran Klinik
Kebanyakan kehamilan ektopik terjadi pada wanita usia 25 sampai 34 tahun. Wanita usia 35-39 tahun mempunyai risiko 2,6 kali lebih besar daripada wanita usia 25-29 tahun, dan risiko ini 5,9 kali lebih tinggi pada wanita usia lebih dari 40 tahun keatas (5)

Gambaran klinik kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak khas dan penderita maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainan dalam kehamilan, sampai terjadinya gangguan. Pada umumnya penderita menunjukkan kehamilan muda, dan mungkin merasa nyeri sedikit di perut bagian bawah yang tidak seberapa dihiraukan (11)

Uterus juga membesar dan lembek seperti pada kehamilan intra uterin walaupun mungkin tidak sebesar seperti pada kehamilan normal. Seringkali tuba yang mengandung hasil konsepsi sukar diraba pada pemeriksaan bimanual (11,12)

Amenore diikuti dengan perdarahan merupakan gejala yang sering dijumpai pada kehamilan ektopik. Biasanya perdarahan tidak banyak tetapi dapat berlangsung cukup lama dan darah berwarna hitam. Jika mudigah telah mati, desidual dapat terlepas seluruhnya dan pada pemeriksaan histopatologik pada desidua ini tidak ditemukan villi khorialis (12)

Pada abortus tuba, penderita biasanya kelihatan biasa saja atau sedikit anemis. Hal ini tergantung pada banyaknya darah yang keluar dari vagina atau ke dalam kavum abdomen. Suhu badan sedikit meningkat dan di tempat hematosalping terdapat nyeri pada palpasi dan kadang-kadang dapat teraba tumor (12)

Pada ruptur tuba, darah yang terkumpul dalam kavum Dauglasi akan menonjol ke vagina. Kadang-kadang teraba hematokel sebagai tumor yang agak lembek. Salah satu tanda yang penting adalah timbulnya nyeri yang hebat bila uterus digerakkan (11,12,13). Peristiwa ini terjadi mendadak dan penderita umumnya gawat. Adanya anemi jelas terlihat dan penderita, kadang-kadang dengan keadaan syok dengan berat badan turun, nadi cepat dan kecil, hipotensi dan pada bagian perifer teraba dingin. Perut agak membesar menunjukkan adanya rangsangan peritoneum dengan rasa nyeri yang hebat pada palpasi. Kadang-kadang dapat ditemukan cairan bebas intra abdomen. Pada pemeriksaan ginekologik, uterus tidak dapat dilihat dengan jelas karena dinding menegang dan uterus dikelilingi oleh darah serta gerakan pada serviks nyeri sekali (11,12)


Diagnosis
Diagnosis hamil ektopik sangat ditentukan dengan kondisi sebagai berikut (14) :
           a. Kehamilan ektopik yang belum terganggu
Pada keadaan ini, ditemukan gejala-gejala kehamilan muda atau abortus imminens (terlambat haid, mual, muntah, pembesaran payudara, hiperpigmentasi areola dan garis tengah perut, peningkatan rasa ingin berkemih, porsio livide, perlunakan serviks, perdarahan bercak berulang).
           b.Kehamilan ektopik yang terganggu
Pada tahapan ini, selain gejala kehamilan muda dan abortus imminens, pada umumnya juga ditemui gawat darurat dan abdominal akut seperti :
- Pucat/ anemis
- Kesadaran menurun dan lemah
- Syok (hipovolemik) sehingga isi dan tekanan denyut nadi berkurang serta meningkatnya frekuensi nadi (diatas 112x/menit).
- Perut kembung (adanya cairan bebas intra abdomen) dan nyeri tekan.
- Nyeri perut bawah yang makin hebat apabila tubuh digerakkan.
- Nyeri goyang porsio.


Beberapa tahapan untuk menegakkan diagnosis :

a. Anamnesis
Terjadi amenorhea, yaitu haid terlambat mulai beberapa hari sampai beberapa bulan atau hanya haid yang tidak teratur. Kadang-kadang dijumpai keluhan hamil muda dan gejala hamil lainnya. Adanya keluhan nyeri perut bagian bawah pada semua penderita, nyeri menjalar kebahu dan tenesmus. Nyeri bahu tersebut disebabkan oleh perangsangan diafragma. Pada gangguan yang mendadak timbul perasaan nyeri yang sakit dan tiba-tiba diperut, seperti di iris pisau disertai muntah dan jatuh pingsan. Perdarahan pervaginam juga merupakan tanda-tanda penting kedua setelah nyeri perut (1,5,15). Pada abortus tuba keluhan dan gejala kemungkinan tidak begitu berat, hanya rasa sakit diperut dan perdarahan pervaginam, hal ini dapat dikacaukan dengan abortus biasa. Tetapi bila terjadi ruptur tuba, maka gejala akan lebih berat dan dapat membahayakan jiwa ibu.

b. Pemeriksaan umum
Tergantung dari banyaknya perdarahan yang terjadi dari tuba, keadaan umum penderita bisa normal sampai gawat dengan syok berat dan anemi. Pada jenis yang tidak mendadak perut bagian bawah hanya sedikit menggembung dan nyeri tekan, suhu kadang-kadang naik dan terdapat leukositosis sehingga sulit dibedakan dengan infeksi pelvik. Dapat ditemukan tanda cullen, yaitu sekitar pusat atau linea alba kelihatan biru hitam dan lebam. Pada palpasi perut dan pada perkusi ada tanda-tanda perdarahan intra abdominal (shifthing dullnes)(15)

c. Pemeriksaan Ginekologis, terdapat (15):
- Adanya nyeri ayun : dengan mengerakkan porsio dan serviks, penderita akan merasa sangat kesakitan
- Douglass Crise : rasa nyeri hebat pada penekanan kavum douglas
- Cavum douglass terasa menonjol karena terkumpul darah, begitu pula teraba massa retrouteri ( massa pelvis)

d. Pemeriksaan Penunjang
- pemeriksaan Hb serial tiap jam menunjukkan adanya proses perdarahan yang sedang berlangsung, bila kadar Hb terus menurun (5,15)
- Perhitungan jumlah leukosit yang terus meningkat juga menunjukkan adanya perdarahan yang sedang berlangsung. Untuk membedakan dengan infeksi pelvik adalah bila kadar leukosit diatas 20.000 menunjukkan adanya infeksi pelvis (1,5,15)
- Tes kehamilan berguna apabila positif, tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan kemungkinan KE karena kematian hasil konsepsi dan degenerasi tropoblas menyebabkan produksi HCG menurun dan hasil tes menjadi negatif
- Kuldosintesis
Suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah dalam cavum douglas ada darah. Cara ini sangat berguna dalam membantu menegakkan diagnosis KET. Bila dalam pengisapan ditemukan darah, maka isinya disemprotkan pada kain kasa dan diperhatikan apakah darah yang keluar merupakan :
• darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
• Darah tua berwarna coklat sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil, darah ini menunjukkan adanya hematokel retrouterina (5)
Punksi douglas positif, tidak selalu berarti graviditas ektopik terganggu. Perdarahan intra abdominal dapat juga disebabkan oleh :
 Varises pecah
 Perdarahan corpus luteum

- Ultrasonografi
Sangat membantu kemampuan mendeteksi kehamilan ektopik dini ”Gold Standard” kombinasi dengan hCG serum (12)
- Laparoskopi
Merupakan cara pemeriksaan yang sangat penting untuk diagnosis kehamilan ektopik pada umumnya dan kehamilan ektopik tidak terganggu tetapi laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnosis terakhir untuk kehamilan ektopik, apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain meragukan. Melalui prosedur laparoskopi, alat kandungan bagian dalam dapat dinilai. Adanya darah dalam rongga pelvis mungkin mempersulit visualisasi alat kandungan, tetapi hal ini menjadi indikasi untuk dilakukan laparotomi (12)

Diagnosa Banding
Beberapa keadaan yang dapat memberikan gambaran klinik yang serupa dengan KET adalah (14) :
- abortus
- salpingitis akut
- appendisitis akut
- ruptur korpus luteum
- torsi kista ovarium
- kista folikel

Penanganan
Prinsip umum :

a. Perbaikan keadaan umum dengan memberikan transfusi darah dan pemberian cairan untuk koreksi terhadap anemia dan hipovolemiknya (16)

b. Laparatomi segera setelah diagnosis ditegakkan
Dalam menangani kasus KE, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan yaitu : kondisi penderita saat itu, keinginan penderita akan fungsi reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik organ pelvis, kemampuan teknis bedah dokter operator dan kemampuan teknologi fertilisasi in vitro setempat. Hasil pertimbangan ini menentukan apakah perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba atau dapat dilakukan pembedahan konservatif dalam arti hanya dilakukan salpingostomi atau reanastomosis tuba.
Salpingektomi dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, yaitu (4) :
- kondisi penderita buruk, misalnya dalam keadaan syok
- kondisi tuba buruk, terdapat jaringan parut dengan risiko akan kehamilan ektopik berulang.
- Penderita tidak ingin mempunyai anak lagi.
Apabila tindakan konservatif dilakukan, maka harus dipertimbangkan :
- kondisi tuba yang mengalami kehamilan ektopik, yaitu berapa panjang bagian yang rusak dan berapa panjang yang masih sehat; berapa luas mesosalping yang rusak, dan berapa luas pembuluh darah tuba yang rusak.
- Kemampuan operator akan teknik bedah minor dan kelengkapan alatnya, oleh karena pelaksanaan teknik pembedahan harus sama seperti pelaksanaan bedah mikro.
Pada kasus KE di pars ampularis tuba yang belum pecah pernah dicoba ditangani dengan menggunakan kemoterapi untuk menghindari tindakan bedah. Kriteria kasus yang diobati dengan cara ini adalah :
- kehamilan di pars ampularis tuba yang belum pecah
- diameter kantong gestasi kurang dari 4 cm
- tanda vital baik dan stabil
Obat yang digunakan adalah Methotrexate 1 mg/kg BB im, berselang-selang setiap hari selama 8 hari.

Prognosis
Prognosis bergantung pada jumlah darah yang keluar, kecepatan menetapkan diagnosis dan tindakan yang tepat. Dewasa ini prognosisnya lebih baik daripada beberapa waktu yang silam berkat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan bidang kedokteran (16). Hanya 60 % wanita yang pernah mengalami KET mengalami hamil lagi walaupun angka kemandulannya akan lebih tinggi. Angka kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan berkisar antara 0 - 14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi cukup bulan adalah 50% (18).

Komplikasi
Komplikasi yang utama adalah akibat yang ditimbulkan oleh perdarahan yaitu anemia, syok, hilangnya organ reproduktif setelah pembedahan dan kematian. Komplikasi lanjutan lain umumnya adalah infeksi dalam rongga panggul yang bisa bersifat lokal seperti salpingitis atau bersifat meluas seperti pelvio-peritonitis dan bahkan sepsis. Infertilitas dan berulangnya kejadian kehamilan ektopik juga merupakan komplikasi. Dapat terjadi juga ileus dan fistula sebagai akibat sekunder dari hemoperitoneum dan peritonitis (16)

DAFTAR PUSTAKA
1. Mochtar R. 1998. Kelainan letak kehamilan (KE) dalam Sinopsis Obstetri. Edisi II. Valentino Group, Medan
2. Diagnosis and manajement ectopic pregnancy. By consultant Gynecologist AtHihtgate. Htm. 2003. Ectopic Pregnancy. Family health Site. 2006
3. Corlett RCJR. Chronic ectopic pregnancy. American college of obstetric and gynecologies. Obstetric and gynecology 1982 ; 59 : 63 -8
4. Pusponegoro AD. 1994. Perkembangan diagnosa kehamilan ektopik. Medika IX
5. Rachimhamdhi T. 1992. Kehamilan ektopik dalam Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Hal 323-338
6. Ectopic Pregnancy. Html doc 44kb
7. Wiknjosastro, Hanifa. 2002. Ilmu kebidanan. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta
8. Wiknjosastro, Hanifa. 2000. Ilmu bedah kebidanan. Yayasan Bina Pustaka, Jakarta
9. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, et al. Kapita selekta kedokteran jilid 1. Edisi ke 3. Jakarta: Media Aesculapius FK UI, 2000.
10. Saifuddin AB. 2002. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal Edisi 1. Yayasan Bina Pustaka - Sarwono Prawirohardjo, Jakarta
11. Lozlau AM, Potter B. Diagnosis and managemen of ectopic pregnancy. American Academi of Family Physician 2005 ; 72 : 1719
12. Chalik TMA. 1997. Haemoragik utama obstetric dan gynekologi. Widya Medika, Jakarta
13. Scott JR. 2002. Obstetri dan gynekologi. Widya Medika, Jakarta

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer