Peran Ibu Dalam Pengasuhan
Peranan Kaum Ibu
Setiap tanggal 22 Desember, kita jadikan itu sebagai Hari Ibu. Melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959, Presiden Soekarno menetapkan tanggal itu sebagai Hari Ibu. Sejarahnya, penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938.
Ini antara lain untuk menandai momen keterlibatan kaum ibu pada perjuangan kemajuan bangsa yang dinilai sangat banyak. Seberapa banyak peranan ibu bagi kemajuan bangsa? Kalau melihat nama-nama pejuang dari kaum ibu di sejarah, di sana ada Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, dan lain-lain.
Nah, khusus yang terkait dengan pengasuhan anak, yang merupakan generasi penerus perjuangan bangsa, ada refleksi menarik dari Prof. Qurasih yang barangkali pas kita renungkan. Kata ibu yang dalam bahasa betawi disebut "umi", bahasa Arab disebut "ummun", ternyata berasal dari akar kata yang sama dengan kata imam (leader) dan ummat (follower) - Lentara Hati, Mizan, 1994.
Artinya apa? Kalau kita yakin tidak ada kebetulan yang kebetulan di dunia ini, bisa kita katakan bahwa sebetulnya ibulah yang paling dekat atau yang paling berperan vital atas lahirnya pemimpin bangsa atau atas kemajuan bangsa. Di kita sendiri, kata ibu juga kita pakai untuk menyebut hal-hal yang berperan vital atau induk dalam kehidupan, seperti ibu kota.
Beberapa kali saya mendengar pendapat kaum ibu dalam talkshow di radio atau acara yang mengangkat peranan kaum ibu. Sebagian ibu menyimpulkan, jika peran ayah terlalu lemah, atau terlalu kuat, atau bahkan tidak ada sama sekali, keluarga itu masih punya peluang untuk membentuk generasi yang baik, asalkan ibunya masih baik. Tapi bila ibunya yang tidak baik, maka peluang untuk melahirkan generasi yang baik jadi lebih kecil. Begitu katanya.
Barangkali kesimpulan itu bisa saja dibilang subyektif dan tidak berlaku umum. Tapi setidak-tidaknya, kesimpulan semacam itu mengisyaratkan pengakuan betapa vitalnya peranan ibu dalam pengasuhan. Meski secara sosial dan kultural, peranan ibu lebih sering dinomerduakan atau menomerduakan dirinya, setidaknya bagi sebagian orang, tapi secara esensialnya, antara peranan ibu dan ayah tidak ada yang patut disebut nomor dua atau nomor satu.
Di kajian psikologi, ada temuan menarik yang bisa kita pakai untuk mendudukkan peranan ibu dan ayah. Seperti yang dikutip Philip G. Zimbardo, Scott, (1979), dalam bukunya Psychology & Life, ayah punya kontribusi besar untuk memprediksi keberhasilan anak di karier atau studi. Bahkan dinyatakan, peranan ayah lebih powerful ketimbang lembaga akademik.
Kalau ditarik benang merahnya, ibu berperan dalam memperkuat pondasi mental dan moral bagi perkembangan anak. Sementara, ayah berperan mengarahkan terbentuknya bangunan (konstruksi kepribadian) yang terkait dengan kompetensi akademik atau kompetensi profesi. Ini mungkin yang bisa menjelaskan, kenapa orang itu kalau memilih profesi atau pekerjaan kerap mereferensi figur ayah.
Wilayah peranan ibu itu, kalau dijelaskan melalui temuan di bidang kompetensi manajemen, berada di wilayah yang disebut kepribadian inti (core personality). Cakupannya antara lain: nilai, bawaan, dan motif (mental attitude). Kepribadian inti termasuk bagian dari diri kita yang sulit diubah (vital, induk, pokok). Sedangkan wilayah peranan ayah berada di wilayah permukaan (surface) yang mudah diubah. Cakupannya meliputi: pengetahuan, informasi, atau skill.
Buktinya, kalau kita ingin mengubah pengatahuan atau skill seseorang, itu lebih possible (meski tidak mudah), ketimbang harus mengubah sikap mentalnya. Mengubah skill atau pengetahuan, bisa kita kursuskan atau di drill sendiri. Tapi untuk mengubah sikap mental, cara ini tidak berlaku. Mengubah mental butuh pendekatan, keteladanan, kesabaran dan proses yang terus menerus.
Ibu & Kekerasan
Salah satu isu besar yang diangkat media selama tahun 2007-2008, terkait dengan ibu adalah kekerasan (dan mungkin kekejaman) dalam pengasuhan. Mudah-mudahan, dengan belajar dari kasus yang ada, momen Hari Ibu tahun ini bisa kita jadikan refleksi untuk mencegah itu terulang kembali di tahun berikutnya.
Selama tahun itu, telah terjadi praktek kekerasan dan kekejaman di sejumlah daerah. Ada yang menjual anak kandungnya ke hidung belang, membakar dirinya dan anaknya, membunuh, melakukan praktek yang mengakibatkan kematian dan kecacatan seumur hidup, dan lain-lain. Kak Seto, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, menyebutkan, sebagian besar kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Pada 2008, kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung mencapai 9,27 persen. Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah 5,85 persen.
Itu belum lagi kalau mengacu ke Konvensi Hak Anak (KHA) mengenai pengertian kekerasan. Mudah-mudahan angkanya tidak lebih banyak. Dalam Konvensi dinyatakan bahwa yang termasuk kekerasan itu bukan semata kekerasan fisik. Ada kekerasan emosional dan kekerasan dalam bentuk penelantaran
Beberapa perilaku yang masuk dalam kategori kekerasan adalah menghukum secara berlebihan, memukul, menampar, membanting, mengkritik terus menerus, mengancam atau menunjukan sikap penolakan terhadap anak, menyerang anak secara agresif, membiarkannya tumbuh dan berkembang tanpa bimbingan dan pengasuhan yang memadai.
Apa Penyebabnya?
Apa yang menyebabkan seorang ibu melakukan perbuatan yang berlawanan dengan nalurinya sendiri? Dari pendapat sejumlah pakar yang dikutip media, baik cetak atau elektronik, bisa dicatat ada dua pendapat yang berbeda. Pertama, pendapat yang menunjuk faktor eksternal sebagai sebab. Ini misalnya dikaitkan dengan kesusahan hidup yang semakin menghimpit.
Dengan biaya hidup yang semakin mencekik, sementara usaha untuk meningkatkan penghasilan makin susah, dipandang sebagai sebab yang mengakibatkan seseorang mengalami stress. Jika stress itu terus menguat, akibatnya timbul depresi. Jika orang sudah depresi, maka orang itu akan gampang melakukan tindakan nekad yang di luar kontrol.
Ada lagi yang mengkaitkan itu dengan taraf pendidikan masyarakat yang masih rendah. Dengan pendidikan yang rendah, seseorang akan mudah menemui jalan buntu ketika menghadapi problem. Akhirnya, kebuntuan pikiran dan langkah itu mengakibatkan seseorang bertindak "bodoh". Sehingga tersulut oleh kenakalan anak sedikit saja langsung bereaksi kebablasan.
Pendapat dan contoh yang dikemukakan di atas ditampik oleh pakar lain. Katanya, meskipun itu benar, namun tidak bisa dijadikan pembenar. Benar memang kalau orang terhimpit ekonomi, orang itu akan stress. Tapi ini tidak bisa dijadikan pembenar untuk melakukan tindakan nekad. Dan lagi, masih banyak keluarga yang ekonominya bagus dan pendidikannya tinggi tapi masih melakukan kekerasan. Faktor ekonomi dan pendidikan tidak bisa dijadikan ukuran.
Kedua, ada pendapat yang menunjuk faktor internal sebagai penyebab. Ini kerapkali diarahkan pada lemahnya kapasitas internal seseorang dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebut itu sebagai bukti dari lemahnya keimanan, lemahnya kontrol emosi, atau hancurnya mental dan harga diri bangsa ini.
Kalau dilihat dari sisi manusia sebagai makhluk yang berinisiatif dan manusia sebagai makhluk yang bisa dipengaruhi, peranan faktor eksternal itu baru sebatas mempengaruhi atau memicu. Sedangkan peranan faktor internal itu sebagai penentu. Orang itulah yang berinisiatif untuk melakukan kekerasan, bukan faktor ekonomi atau pendidikan rendah.
Cinta Nurani & Cinta Nafsu
Kepada polisi yang menangkapnya, seorang ibu di Bandung yang membekap anaknya sampai meninggal, mengaku itu ia lakukan karena cinta. Saking cintanya dia pada anaknya, maka ia memilih membunuh supaya si anak tidak mengalami kesusahan hidup seperti dirinya. Yang membikin banyak orang bertanya-tanya adalah, cinta seperti apa yang melahirkan tindakan seperti itu?
Kalau kita lihat ke acuan dasarnya, memang semua orangtua, lebih-lebih ibu, pasti punya naluri untuk mencintai anaknya. Tapi, tidak semua cinta itu membuahkan perilaku positif. Kalau kita membelikan televisi yang canggih dan nyaman supaya anak kita lebih lama nongkrong di depan televisi berjam-jam di kamar, belum tentu itu cinta yang positif. Sama juga dengan memanjakan anak berlebihan.
Dengan bahasa yang sederhana bisa kita katakan bahwa cintanya kita pada anak itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: cinta nafsu dan cinta nurani. Cinta nafsu adalah rasa cinta yang digerakan oleh keinginan diri subyektif yang berlebihan atau yang melanggar apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang bermanfaat. Sangat mungkin kekerasan itu terjadi karena cintanya kita masih di level nafsu; kita mencintai karena sebatas dorongan keinginan diri subyektif.
Bagaimana dengan cinta nurani? Nur artinya cahaya. Cinta nurani adalah cinta yang sudah mendapatkan cahaya bimbingan dari ajaran kebijaksanaan dan kebenaran, entah itu ajaran agama, ilmu pengetahuan, atau ajaran kebenaran lainnya. Kita baru bisa mencintai anak secara nurani apabila sudah sanggup menundukkan nafsu subyektif kita di bawah nurani.
Privasi Pengembangan Diri
Banyak kaum ibu yang, entah sadar atau tidak, menghilangkan haknya untuk mengembangan diri setelah berkeluarga. Alasannya klasik. Selama 24 jam sehari, waktunya habis untuk mengurus anak, suami, dan keluarga. Menjadi ibu adalah rutinitas seperti lilin - memberi cahaya dengan cara memupuskan dirinya.
Padahal, jika kita tidak meniadakan hak untuk mengembangkan diri, entah karena pilihan atau paksaan, akibatnya tidak kembali selain kepada kita. Secara alamiah, berhentinya aktivitas pengembangan diri bisa membuat dinamika diri jadi statis. Kalau diri yang merupakan gabungan dari dimensi lahir dan batin, jiwa dan raga, menjadi statis, maka kapasitas problem solving juga mentok, tidak ada perkembangan, tidak ada kreativitas, dan akibatnya hidup jadi terus berputar pada lingkaran sebab akibat yang sama. Tak heran jika hidup terasa bosan, hambar, susah, tidak merasa bahagia dan persoalan hidup kok terus itu-itu saja yang muncul.
Intinya, pengembangan diri terkait dengan kualitas hubungan kita dengan diri sendiri, orang lain (anak, suami, keluarga), dan keadaan. Pengembangan diri ini bisa dilakukan dari sekarang juga, terlepas apapun keadaannya. Beberapa hal mendasar dalam pengembangan diri itu antara lain:
* Memunculkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Begitu kita sudah tak merasa butuh perbaikan, berhentilah pengembangan itu.
* Memperbaiki strategi dalam menghadapi persoalan. Jika kita berpikir kekerasan itu sudah watak kita yang tak bisa diubah, maka kekerasan itulah yang terus kita lakukan. Padahal, semua bisa diubah.
* Membaca materi yang bisa mencerahkan pikiran kita, membaca buku, majalah, tayangan, radio, dan lain-lain; bukan yang sekedar mengasikkan dan melupakan tanggung jawab
* Memperbaiki pemahaman terhadap rutinitas sehari-hari. Rutinitas itu bisa membuat jiwa beku dan bisa membuat jiwa dinamis, tergantung pemahaman yang kita ciptakan.
* Memperluas kemampuan sosial untuk memperbaiki diri, belajar dari orang yang lebih baik dan orang yang lebih buruk, terutama dalam mendidik anak.
* Meningkatkan komitmen terhadap nilai atau ajaran yang sudah jelas-jelas benarnya, baiknya, dan manfaatnya.
* Menambah aktivitas positif, berkumpul dengan orang positif, dan untuk mencapai tujuan positif. Ini akan membuat jiwa kita makin positif.
Apa semua ini terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh dan atau terhadap ibu? Apakah ini pun berpengaruh terhadap pengasuhan ke anak-anak? Kalau melihat teorinya, semakin seorang ibu mendapatkan dan menggunakan haknya untuk menambah ilmu pengetahuan, belajar, bertumbuh, berkarya, bereksistensi, maka semakin luas pengetahuannya dan makin banyak ragam alternatif pendekatan dan tindakan yang bisa dipakai dalam menghadapi kompleksitas hidup. Dengan demikian, bukan hanya potensi kekerasan yang bakal tereduksi, tetapi malahan dapat meningkatkan kualitas ibu serta keluarganya secara umum. Semoga bermanfaat.
Nah, khusus yang terkait dengan pengasuhan anak, yang merupakan generasi penerus perjuangan bangsa, ada refleksi menarik dari Prof. Qurasih yang barangkali pas kita renungkan. Kata ibu yang dalam bahasa betawi disebut "umi", bahasa Arab disebut "ummun", ternyata berasal dari akar kata yang sama dengan kata imam (leader) dan ummat (follower) - Lentara Hati, Mizan, 1994.
Artinya apa? Kalau kita yakin tidak ada kebetulan yang kebetulan di dunia ini, bisa kita katakan bahwa sebetulnya ibulah yang paling dekat atau yang paling berperan vital atas lahirnya pemimpin bangsa atau atas kemajuan bangsa. Di kita sendiri, kata ibu juga kita pakai untuk menyebut hal-hal yang berperan vital atau induk dalam kehidupan, seperti ibu kota.
Beberapa kali saya mendengar pendapat kaum ibu dalam talkshow di radio atau acara yang mengangkat peranan kaum ibu. Sebagian ibu menyimpulkan, jika peran ayah terlalu lemah, atau terlalu kuat, atau bahkan tidak ada sama sekali, keluarga itu masih punya peluang untuk membentuk generasi yang baik, asalkan ibunya masih baik. Tapi bila ibunya yang tidak baik, maka peluang untuk melahirkan generasi yang baik jadi lebih kecil. Begitu katanya.
Barangkali kesimpulan itu bisa saja dibilang subyektif dan tidak berlaku umum. Tapi setidak-tidaknya, kesimpulan semacam itu mengisyaratkan pengakuan betapa vitalnya peranan ibu dalam pengasuhan. Meski secara sosial dan kultural, peranan ibu lebih sering dinomerduakan atau menomerduakan dirinya, setidaknya bagi sebagian orang, tapi secara esensialnya, antara peranan ibu dan ayah tidak ada yang patut disebut nomor dua atau nomor satu.
Di kajian psikologi, ada temuan menarik yang bisa kita pakai untuk mendudukkan peranan ibu dan ayah. Seperti yang dikutip Philip G. Zimbardo, Scott, (1979), dalam bukunya Psychology & Life, ayah punya kontribusi besar untuk memprediksi keberhasilan anak di karier atau studi. Bahkan dinyatakan, peranan ayah lebih powerful ketimbang lembaga akademik.
Kalau ditarik benang merahnya, ibu berperan dalam memperkuat pondasi mental dan moral bagi perkembangan anak. Sementara, ayah berperan mengarahkan terbentuknya bangunan (konstruksi kepribadian) yang terkait dengan kompetensi akademik atau kompetensi profesi. Ini mungkin yang bisa menjelaskan, kenapa orang itu kalau memilih profesi atau pekerjaan kerap mereferensi figur ayah.
Wilayah peranan ibu itu, kalau dijelaskan melalui temuan di bidang kompetensi manajemen, berada di wilayah yang disebut kepribadian inti (core personality). Cakupannya antara lain: nilai, bawaan, dan motif (mental attitude). Kepribadian inti termasuk bagian dari diri kita yang sulit diubah (vital, induk, pokok). Sedangkan wilayah peranan ayah berada di wilayah permukaan (surface) yang mudah diubah. Cakupannya meliputi: pengetahuan, informasi, atau skill.
Buktinya, kalau kita ingin mengubah pengatahuan atau skill seseorang, itu lebih possible (meski tidak mudah), ketimbang harus mengubah sikap mentalnya. Mengubah skill atau pengetahuan, bisa kita kursuskan atau di drill sendiri. Tapi untuk mengubah sikap mental, cara ini tidak berlaku. Mengubah mental butuh pendekatan, keteladanan, kesabaran dan proses yang terus menerus.
Ibu & Kekerasan
Salah satu isu besar yang diangkat media selama tahun 2007-2008, terkait dengan ibu adalah kekerasan (dan mungkin kekejaman) dalam pengasuhan. Mudah-mudahan, dengan belajar dari kasus yang ada, momen Hari Ibu tahun ini bisa kita jadikan refleksi untuk mencegah itu terulang kembali di tahun berikutnya.
Selama tahun itu, telah terjadi praktek kekerasan dan kekejaman di sejumlah daerah. Ada yang menjual anak kandungnya ke hidung belang, membakar dirinya dan anaknya, membunuh, melakukan praktek yang mengakibatkan kematian dan kecacatan seumur hidup, dan lain-lain. Kak Seto, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, menyebutkan, sebagian besar kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh ibu kandungnya sendiri. Pada 2008, kekerasan fisik terhadap anak yang dilakukan oleh ibu kandung mencapai 9,27 persen. Sedangkan kekerasan yang dilakukan oleh ayah kandung adalah 5,85 persen.
Itu belum lagi kalau mengacu ke Konvensi Hak Anak (KHA) mengenai pengertian kekerasan. Mudah-mudahan angkanya tidak lebih banyak. Dalam Konvensi dinyatakan bahwa yang termasuk kekerasan itu bukan semata kekerasan fisik. Ada kekerasan emosional dan kekerasan dalam bentuk penelantaran
Beberapa perilaku yang masuk dalam kategori kekerasan adalah menghukum secara berlebihan, memukul, menampar, membanting, mengkritik terus menerus, mengancam atau menunjukan sikap penolakan terhadap anak, menyerang anak secara agresif, membiarkannya tumbuh dan berkembang tanpa bimbingan dan pengasuhan yang memadai.
Apa Penyebabnya?
Apa yang menyebabkan seorang ibu melakukan perbuatan yang berlawanan dengan nalurinya sendiri? Dari pendapat sejumlah pakar yang dikutip media, baik cetak atau elektronik, bisa dicatat ada dua pendapat yang berbeda. Pertama, pendapat yang menunjuk faktor eksternal sebagai sebab. Ini misalnya dikaitkan dengan kesusahan hidup yang semakin menghimpit.
Dengan biaya hidup yang semakin mencekik, sementara usaha untuk meningkatkan penghasilan makin susah, dipandang sebagai sebab yang mengakibatkan seseorang mengalami stress. Jika stress itu terus menguat, akibatnya timbul depresi. Jika orang sudah depresi, maka orang itu akan gampang melakukan tindakan nekad yang di luar kontrol.
Ada lagi yang mengkaitkan itu dengan taraf pendidikan masyarakat yang masih rendah. Dengan pendidikan yang rendah, seseorang akan mudah menemui jalan buntu ketika menghadapi problem. Akhirnya, kebuntuan pikiran dan langkah itu mengakibatkan seseorang bertindak "bodoh". Sehingga tersulut oleh kenakalan anak sedikit saja langsung bereaksi kebablasan.
Pendapat dan contoh yang dikemukakan di atas ditampik oleh pakar lain. Katanya, meskipun itu benar, namun tidak bisa dijadikan pembenar. Benar memang kalau orang terhimpit ekonomi, orang itu akan stress. Tapi ini tidak bisa dijadikan pembenar untuk melakukan tindakan nekad. Dan lagi, masih banyak keluarga yang ekonominya bagus dan pendidikannya tinggi tapi masih melakukan kekerasan. Faktor ekonomi dan pendidikan tidak bisa dijadikan ukuran.
Kedua, ada pendapat yang menunjuk faktor internal sebagai penyebab. Ini kerapkali diarahkan pada lemahnya kapasitas internal seseorang dengan istilah yang berbeda-beda. Ada yang menyebut itu sebagai bukti dari lemahnya keimanan, lemahnya kontrol emosi, atau hancurnya mental dan harga diri bangsa ini.
Kalau dilihat dari sisi manusia sebagai makhluk yang berinisiatif dan manusia sebagai makhluk yang bisa dipengaruhi, peranan faktor eksternal itu baru sebatas mempengaruhi atau memicu. Sedangkan peranan faktor internal itu sebagai penentu. Orang itulah yang berinisiatif untuk melakukan kekerasan, bukan faktor ekonomi atau pendidikan rendah.
Cinta Nurani & Cinta Nafsu
Kepada polisi yang menangkapnya, seorang ibu di Bandung yang membekap anaknya sampai meninggal, mengaku itu ia lakukan karena cinta. Saking cintanya dia pada anaknya, maka ia memilih membunuh supaya si anak tidak mengalami kesusahan hidup seperti dirinya. Yang membikin banyak orang bertanya-tanya adalah, cinta seperti apa yang melahirkan tindakan seperti itu?
Kalau kita lihat ke acuan dasarnya, memang semua orangtua, lebih-lebih ibu, pasti punya naluri untuk mencintai anaknya. Tapi, tidak semua cinta itu membuahkan perilaku positif. Kalau kita membelikan televisi yang canggih dan nyaman supaya anak kita lebih lama nongkrong di depan televisi berjam-jam di kamar, belum tentu itu cinta yang positif. Sama juga dengan memanjakan anak berlebihan.
Dengan bahasa yang sederhana bisa kita katakan bahwa cintanya kita pada anak itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: cinta nafsu dan cinta nurani. Cinta nafsu adalah rasa cinta yang digerakan oleh keinginan diri subyektif yang berlebihan atau yang melanggar apa yang benar, apa yang baik, dan apa yang bermanfaat. Sangat mungkin kekerasan itu terjadi karena cintanya kita masih di level nafsu; kita mencintai karena sebatas dorongan keinginan diri subyektif.
Bagaimana dengan cinta nurani? Nur artinya cahaya. Cinta nurani adalah cinta yang sudah mendapatkan cahaya bimbingan dari ajaran kebijaksanaan dan kebenaran, entah itu ajaran agama, ilmu pengetahuan, atau ajaran kebenaran lainnya. Kita baru bisa mencintai anak secara nurani apabila sudah sanggup menundukkan nafsu subyektif kita di bawah nurani.
Privasi Pengembangan Diri
Banyak kaum ibu yang, entah sadar atau tidak, menghilangkan haknya untuk mengembangan diri setelah berkeluarga. Alasannya klasik. Selama 24 jam sehari, waktunya habis untuk mengurus anak, suami, dan keluarga. Menjadi ibu adalah rutinitas seperti lilin - memberi cahaya dengan cara memupuskan dirinya.
Padahal, jika kita tidak meniadakan hak untuk mengembangkan diri, entah karena pilihan atau paksaan, akibatnya tidak kembali selain kepada kita. Secara alamiah, berhentinya aktivitas pengembangan diri bisa membuat dinamika diri jadi statis. Kalau diri yang merupakan gabungan dari dimensi lahir dan batin, jiwa dan raga, menjadi statis, maka kapasitas problem solving juga mentok, tidak ada perkembangan, tidak ada kreativitas, dan akibatnya hidup jadi terus berputar pada lingkaran sebab akibat yang sama. Tak heran jika hidup terasa bosan, hambar, susah, tidak merasa bahagia dan persoalan hidup kok terus itu-itu saja yang muncul.
Intinya, pengembangan diri terkait dengan kualitas hubungan kita dengan diri sendiri, orang lain (anak, suami, keluarga), dan keadaan. Pengembangan diri ini bisa dilakukan dari sekarang juga, terlepas apapun keadaannya. Beberapa hal mendasar dalam pengembangan diri itu antara lain:
* Memunculkan dorongan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Begitu kita sudah tak merasa butuh perbaikan, berhentilah pengembangan itu.
* Memperbaiki strategi dalam menghadapi persoalan. Jika kita berpikir kekerasan itu sudah watak kita yang tak bisa diubah, maka kekerasan itulah yang terus kita lakukan. Padahal, semua bisa diubah.
* Membaca materi yang bisa mencerahkan pikiran kita, membaca buku, majalah, tayangan, radio, dan lain-lain; bukan yang sekedar mengasikkan dan melupakan tanggung jawab
* Memperbaiki pemahaman terhadap rutinitas sehari-hari. Rutinitas itu bisa membuat jiwa beku dan bisa membuat jiwa dinamis, tergantung pemahaman yang kita ciptakan.
* Memperluas kemampuan sosial untuk memperbaiki diri, belajar dari orang yang lebih baik dan orang yang lebih buruk, terutama dalam mendidik anak.
* Meningkatkan komitmen terhadap nilai atau ajaran yang sudah jelas-jelas benarnya, baiknya, dan manfaatnya.
* Menambah aktivitas positif, berkumpul dengan orang positif, dan untuk mencapai tujuan positif. Ini akan membuat jiwa kita makin positif.
Apa semua ini terkait dengan kekerasan yang dilakukan oleh dan atau terhadap ibu? Apakah ini pun berpengaruh terhadap pengasuhan ke anak-anak? Kalau melihat teorinya, semakin seorang ibu mendapatkan dan menggunakan haknya untuk menambah ilmu pengetahuan, belajar, bertumbuh, berkarya, bereksistensi, maka semakin luas pengetahuannya dan makin banyak ragam alternatif pendekatan dan tindakan yang bisa dipakai dalam menghadapi kompleksitas hidup. Dengan demikian, bukan hanya potensi kekerasan yang bakal tereduksi, tetapi malahan dapat meningkatkan kualitas ibu serta keluarganya secara umum. Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar