kesehatan anak, Psikologi anak, Ebook Kedokteran,

Sabtu, 28 Mei 2016

Memarahi Tindakan Anak ataukah Memarahi Orangnya?

Jarak Itu Adanya di Dalam
Kalau melihat ke teorinya, jika kita ingin mengajarkan anak tentang sesuatu yang baik, maka kita tidak bisa hanya mengajarkan tindakannya dengan menyuruh si anak untuk menghafalkan tip-tip singkat. Yang perlu diajari bukan tindakannya, melainkan orangnya. Kalau orang yang kita ajari, maka tindakan itu akan ia ciptakan sendiri berdasarkan keadaan tertentu yang ia alami. Mengajari orang inilah yang disebut education (pendidikan). Pendidikan, karena itu, mahal nilainya.
Tetapi, kata berbagai teori juga, jika kita menghukum anak (termasuk memarahi), maka janganlah yang dihukum itu orangnya. Cukuplah kita menghukum tindakannya saja. Kenapa dan untuk apa kita hanya perlu mengukum tindakannya saja, ini semua sudah sering dibahas di sini dan di lain tempat. Yang akan kita bahas di sini adalah, bagaimana membedakan antara memarahi orangnya atau memarahi tindakannya.
Orangtua A tidak sabar melihat anaknya keasyikan nonton program kesayangannya di televisi. Tanpa bertanya, televisi itu langsung dimatikan. Kepada si anak, orangtua ini mengatakan: "Hei, ini jam berapa? Bukankah kamu ada PR? Kenapa kamu nonton aja? Ayo belajar!" Karena si anak tidak bisa terima diperlakukan seperti itu, anak langsung ke luar menuju kamar lain dengan membanting pintu.
Melihat perilaku anak yang seperti itu, si orangtua makin terbakar, panas, panas, dan panas. Terjadilah percekcokan mulut. Si anak ngambek tidak mau belajar. Orangtua yang kesal akhirnya ngomel merembet kemana-mana hingga sampai pada ucapan, misalnya begini: dasar anak nakal, bandel, suka ngelawan orangtua, anak bodoh, dan lain-lain. Meskipun televisi sudah dimatikan, tetapi belajar urung dikerjakan.
Masalah yang sama dialami oleh orangtua B. Sama-sama jengkel juga melihat si anak yang sudah mulai maniak menonton acara televisi pada jam-jam yang mestinya dia harus belajar. Bedanya, orangtua B ini mengajarkan tawaran dulu. "Kapan mau belajar?" Karena si anak sedang keasyikan, acuh saja dia. Si ayah masih menawarkan kesepakatan lagi. "Mana yang akan dipilih: TV ini dimatikan ayah atau belajar dulu, baru nanti nonton lagi."
Karena merasa risih keasyikannya diganggu ayahnya, si anak keluar membanting pintu juga. Sambil kesal si anak mengatakan: "Ya udah matiin aja tivinya. Emang gue pikiran." Si ayah menghindari konfrontasi mulut secara langsung. Setelah mematikan televisi, si ayah kembali ke aktivitasnya dan memanggil ibunya agar mendampingi atau membujuk anak agar belajar. Si Ibu yang saat itu posisinya netral lebih mudah mengarahkan anak. Tindakan belajar akhirnya tercapai dengan mematikan televisi dan berkat bantuan ibu.
Dari dua contoh di atas, apa yang membedakan antara orangtua yang marah ke orangnya dan yang marah ke tindakannya? Memang, dalam praktek nyatanya, yang terjadi pasti tidak sesimpel seperti itu. Cuma, pasti ada benang merah yang akhirnya membedakan antara orangtua yang marahnya merempet kemana-mana sehingga targetnya tidak tercapai dan orangtua yang focused on action and target, dengan berbabagai cara yang mungkin.
Secara teori, memang tidak sulit untuk membedakan antara marah pada orangnya dan marah pada tindakannya. Tetapi dalam prakteknya, mungkin hanya sedikit orang yang berani mengatakan bahwa itu bisa dilakukan setelah latihan yang tidak sebentar. Kenapa tidak mudah? Alasannya adalah, pertama, perbedaan orang dan tindakan itu tidak kelihatan fisiknya, secara as it is. Kalau kita melihat si anak tidak mau belajar, maka secara fisiknya yang kita lihat adalah orangnya dan tindakannya menyatu.
Kedua, perbedaan itu adannya bukan pada apa yang kita lihat di luar diri kita, melainkan pada apa yang kita ciptakan di dalam diri kita. Jika saat itu kita sedang 'terbawa emosi', kemungkinan besar kita lupa menciptakan perbedaan itu. Faktor lupa itulah yang memberikan kontribusi besar pada munculnya temuan bahwa ternyata kekerasaan pada anak itu sebagian besarnya dilakukan oleh orangtuanya sendiri.
"Kemarahan yang positif adalah kemarahan yang kita ketahui (well-controlled) sebabnya, sasaranya, tujuannya, kapan mulainya dan kapan berhentinya."

Beberapa Alat Bantu
Memang tidak ada orangtua yang sempurna atau tak pernah tersandung ketika menjalankan fungsi-fungsi parenting. Karena itu, sumber yang paling bagus untuk memperbaiki kemampuan parenting kita adalah memperbaiki kesalahan atau belajar dari kesalahan orang lain. Di bawah ini ada beberapa alat bantu (tool) yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki itu bagi yang belum terlatih membedakan orang dan tindakan:
Pertama, memiliki target riil dan spesifik. Supaya target itu dipahami bersama, memang harus ada kesepakatan dulu atau disiplin tertentu yang sudah diterapkan. Misalnya saja disiplin waktu belajar. Dengan target berarti kita dan dia tahu kenapa kita marah, apa sasarannya, dan kapan berhentiya. Begitu target sudah dijalankan berarti kita sudah harus berhenti mengeluarkan berbagai ungkapan dan penyikapan yang bernada marah.
Target akan menghindarkan kita dari marah yang kebablasan atau marah yang sasarannya terlalu umum sehingga anak sulit memahami apa yang harus dilakukan. Tentu saja, namanya juga anak, pasti ada pelanggaran atau pengabaian. Tetapi, dengan target riil atau disiplin akan memudahkan kita dan dia untuk mengetahui apa yang segera harus dilakukan.
Kedua, mempersiapkan skenario mental. Kenapa skenario mental ini penting? Ini terkait dengan komunikasi kita. Komunikasi di sini yang saya maksudkan adalah isi pesan dan bagaimana pesan itu disampaikan. Isi pesan yang baik apabila disampaikan dengan cara, gaya, dan nada yang tidak mendukung, bisa-bisa isinya gagal. Karena itu butuh dirancang dalam skenario mental. Ini agar kita bisa menyampaikan pesan secara asertif, konstruktif, dan clear: punya wibawa, bisa diterima, dan mengarah kepada tindakan.
Kalau kita sudah siap dengan skenario tentang apa yang akan kita ucapkan, alternatif yang akan kita ambil jika gagal, anggota keluarga yang akan kita ajak bekerjasama, dan lain-lain, maka kita akan terbantu untuk menyadari apa saja yang harus kita hindari dan apa saja yang perlu kita lakukan. Tapi kalau skenario ini tidak kita siapkan, mungkin kita akan mudah terbawa emosi ketika melihat reaksi anak yang tidak kita harapkan.
Ketiga, lebih baik diam dan memikirkan alternatif lain jika cara yang kita tempuh menemui jalan buntu atau penolakan atau mendapatkan penyerangan kata-kata. Diam terkadang punya wibawa yang lebih besar ketimbang ngomel. Minimalnya, dengan diam berarti kita telah menghindarkan diri dari praktek pemberian label negatif pada diri anak. Kalau belum ketemu, kita bisa minta bantu ayahnya, ibunya, neneknya atau siapa saja yang di rumah untuk menyampaikan maksud kita atau membujuknya. Yang penting, target atau tujuannya tercapai.
Keempat, segera memunculkan emosi kedua yang positif guna menghapus emosi pertama yang negatif. Atau minimalnya kita tetap bisa menjaga jarak antara kita dengan kemarahan kita. Menjaga jarak artinya marahnya kita itu bukan marah emosional, melainkan kemarahan yang hanya kita gunakan sebagai strategi saja. Yang penting si anak paham bahwa kita tidak sedang bercanda atau tidak serius menyuruhnya belajar.
Kalau kita marah melihat nilainya jeblok lalu kemarahan itu kita lanjutkan pada kejengkelan, kekecewaan, dan seterusnya dan seterusnya, biasanya ini malah memperburuk hubungan dan berpotensi menyerang ke orangnya. Akan lebih positif dan produktif kalau kita menghentikannya dengan memunculkan emosi kedua yang positif. Misalnya saja kita berniat akan lebih care lagi terhadap perkembangannya, lebih "hadir" lagi, lebih dekat lagi, lebih commit lagi, dan lain-lain.
Kelima, tetap memiliki harapan yang positif atas kemajuan anak. Apa ada orangtua yang tidak memiliki harapan positif? Kalau harapan dalam arti yang "kulit", pasti tidak ada. Tetapi, harapan yang pengertiannya lebih ke "esensi", belum tentu semua dan mungkin hanya sedikit. Seperti apa harapan yang pengertiannya agak ke esensi itu? Harapan di sini pengertiannya adalah, kita tidak berhenti menyuarakan, mengajak, menemukan berbagai cara untuk mengembangkan / memperbaiki si anak agar anak menjadi orang positif.
Jadi, harapan di sini bukanlah harapan yang sebatas harapan, melainkan tindakan / program nyata yang dilandasi harapan itu. Harapan yang terakhir inilah yang terbukti sanggup membimbing para orangtua yang menjadi pahlawan pembebasan putra-putri kesayangannya dari jeratan narkoba. Di dunia ini pasti tidak ada orangtua yang secara mental siap menghadapi musibah semacam itu. Yang membedakan bukan siap atau tidak siap (karena pasti tidak ada yang siap). Yang membedakan adalah level harapannya.
"Harapan positif hanya akan berguna bagi orang yang sedang menjalankan agenda positif."

Kenapa Perlu Membedakan?
Kenapa kita perlu membedakan antara tindakan dan orangnya? Sekedar sebagai tambahan atau pengulangan dari yang sudah kita ketahui, sedikitnya ada tiga hal yang terkait di sini. Pertama, ketika kita mengarahkan kemarahan itu kepada tindakannya yang spesifik, berarti patokannya jelas dan ini akan relatif lebih bisa menutup pintu pembelaan-diri, penyangkalan, atau pembatahan dari si anak.
Tetapi kalau yang kita serang itu orangnya, misalnya memberikan label dengan sifat-sifat tertentu, lebih-lebih itu umum pengertiannya, atau mengomel karena reaksi sesaat, ya akhirnya kembali ke hukum dasar yang berlaku di dunia ini: "Semua orang punya kepentingan untuk membela dirinya" Sudah banyak bukti bahwa kita ini sering kalah bermain silat lidah dengan anak kita karena kelihaian mereka "ngeles". Orangtua yang tidak siap dengan kekalahannya akan gampang menggunakan senjata kemarahan yang lebih besar.
Lalu yang kedua, dengan mengarahkan kemarahan hanya pada tindakannya akan membuat kita lebih selamat dari upaya penanaman konsep-diri negatif (negative self-concept). Tentang hal ini sudah sering kita bahas di sini. Untuk anak-anak, self-concept yang terbentuk di dirinya lebih banyak disumbang oleh orangtua / luar (Cooley: 1991). Sayangnya, untuk sumbangan satu self-concept yang positif, orangtua telah mendahuluinya degan menyumbangan enam self-concept yang negatif (Jack Canfield: 1982). Padahal, self-concept ini terkait dengan kepercayaan-diri, motivasi-diri, dan harga-diri (Harter: 1991)
Dan yang ketiga adalah benteng antisipasi dari penyimpangan pola asuh. Kalau melihat teori idealnya, baik itu ke agama atau ke psikologi, pola asuh yang ideal adalah pola asuh yang tidak ekstrim kerasnya atau ekstrim lunaknya. Menurut teorinya Adler (Allpsych & Heffner, 2003), pola asuh yang mendatangkan problem adalah antara terlalu pampering (terlalu protektif) atau terlalu neglecting (kurang peduli). Begitu juga dengan berbagai konsep parenting lain.
Cuma memang kita sendiri sudah tahu bahwa acuan ideal itu kan tidak mungkin bisa kita terapkan secara sempurna di lapangan. Dengan berkonsentrasi pada tindakan, meskipun kita tidak bisa menerapkan secara sempurna, tetapi akan terjadi penyempurnaan terus-menerus. Ini karena tindakan itu dinamik. Mudahan-mudahan kita termasuk orangtua yang bisa mendampingi anak-anak kita dalam mengembangkan dirinya dengan kualitas yang lebih bagus dari kita dulu.
Semoga bermanfaat.























































cara menghukum anak nakalmenghukum anak yang nakalcara menghukum anak yang nakal,  menghukum anak nakalcara menghukum anak nakalcara menghukum anak nakalsolusi anak nakalmemarahi anak di depan umummemarahi anak 2tahunmemarahi anak dalam islammemarahi anak yatimmemarahi anak dengankata-katamemarahi anak umur 2 tahunmemarahi anak umur 3 tahunmemarahianak balitamemarahi anak menurut islammemarahi anak usia 2 tahunmemarahianakmemarahi anak saat belajarmemarahi anak autisakibat memarahi anakakibat memarahi anak balitaakibat memarahi anak berlebihanadab memarahi anakayah memarahi anakakibat memarahi anak yatimakibat memarahi anak kecilcara memarahi anak anjingmemarahi anak berlebihanmemarahi anak bayimemarahianak buahefek memarahi anak balitacara memarahi anak balitadampak memarahianak bayidampak memarahi anak bayimemarahi anak dengan bijakmemarahi anakyang benarcara memarahi anakcara memarahi anak yang benarcara memarahianak yang benarcara memarahi anak dalam islamcara memarahi anak denganbaikcara memarahi dengan benarcara memarahi anak usia 2 tahuncara memarahianak yg baikmemarahi anak dengan memukulmemarahi anak dengan suara kerashukummemarahi anak dalam islamhukum memarahi anak dlm islam,  efek memarahi anakefek memarahi anak 2tahunefek memarahi anak keciletika memarahi anakibu memarahi anaklarangan memarahi anak dalam islamcara memarahi anak secara islami, jangan memarahianakjangan memarahi anak kecillarangan memarahi anakmemarahi anak tanpamemukul


0 komentar:

EBOOK GRATIS

”buku ”buku ”buku ”diagnosis ”buku

Entri Populer