HIDUP DAN ALAM PIKIRAN ORANG KARO
Suatu tinjauan filosofis-antropologis:
Orang Karo tradisional, sejak mereka
membentuk kehidupan bersama, mereka sudah mencari landasan hidupnya.
Hal ini terlaksana melalui terciptanya adat-istiadat yang mengatur
hidup mereka setiap hari dengan sesama, dengan alam dan Yang
Adikodrati. Bagaimana hidup dan alam pikiran orang karo???
1. Pengantar
sumber : http://rolsan.blog.friendster.com
Orang Karo tradisional, sejak mereka
membentuk kehidupan bersama, mereka sudah mencari landasan hidupnya.
Hal ini terlaksana melalui terciptanya adat-istiadat yang mengatur
hidup mereka setiap hari dengan sesama, dengan alam dan Yang
Adikodrati. Bagaimana hidup dan alam pikiran orang karo???
1. Pengantar
Manusia dalam hidupnya selalu berusaha menuju ke arah yang lebih
baik. Perhatiannya ditujukan pada hidup yang aman, damai, tenteram,
makmur dan sejahtera. Sejak manuisa mengenal dunia dalam sejarah,
perhatiannya selalu diarahkan untuk mencapai dasar pokok sebagai
landasan hidupnya. Sejarah dan alam pikiran manusia serta evolusinya
merupakan bukti usaha manusia untuk menembus dunia materi menuju ke
alam rohani. Manusia tidak pernah puas hanya dengan aspek materi saja,
karena itu ia mencari kepuasan dan menyandarkan kehendaknya kepada
hal-hal yang bersifat rohani .
Demikian juga halnya dengan Orang Karo tradisional, sejak mereka
membentuk kehidupan bersama, mereka sudah mencari landasan hidupnya.
Hal ini terlaksana melalui terciptanya adat-istiadat yang mengatur
hidup mereka setiap hari dengan sesama, dengan alam dan Yang
Adikodrati.
2. Kehidupan Orang Karo
Orang Karo adalah satu suku di Sumatera Utara, yang mendiami
daerah bagian utara Sumatera Timur, terutama Dataran Tinggi Karo.
Istilah “Karo” berasal dari kata “ha-roh” sesuai dengan aksara Karo
yang pertama ha; artinya pertama datang (ha = pertama, awal, roh =
datang). Dalam perkembangan ha-roh berubah menjadi Karo .
Namun menurut sumber lain istilah “Karo” asalnya dari bahasa
Arab, yakni Qarau, artinya telah diajari membaca atau sembahyang,
kemudian kata Qarau ini lama kelamaan berubah menadi “Karo”. Sumber
lain mengatakan bahwa istilah “Karo” berasal dari kata “ke’ra”, artinya
“tanah tinggi yang keras”, dan kata ke’ra ini dalam perkembangan
berubah menadi Karo. Sumber lain mengatakan bahwa istilah “Karo”
berasal dari kata aru (haru). Aru adalah nama sebuah pulau di Teluk Aru
dekat Belawan sekarang. Pulau Aru inilah yang pertama di tempati oleh
para pendatang dari luar dan mereka mendirikan perkampungan di sana.
Setelah jumlah orang Aru itu menadi banyak dan kampung mereka semakin
besar, maka kampung itu berubah menadi “Kerajaan Haru”. Dan lambat laun
kata haru itu berubah menjadi “Karo”. Menurut penelitian para ahli,
lahirnya bahasa, aksara, seni suara dan tari-tarian serta adat-istiadat
Karo terjadi pada zaman Haru ini, yang pada mulanya masih sangat
sederhana sekali. Namun dalam Kongres Budaya Karo yang di selengarakan
di Berastagi, yang berlangsung dari tanggal 1-3 Desember 1995,
dikatakan bahwa istilah “Karo” berasal dari kata kar’o, artinya kar =
dunia, o = bulat, jadi kar’o itu dunia bulat .
Daerah yang didiami Orang Karo meliputi Dataran Tingi Karo, Deli
Serdang, Langkat, sebagaian Dairi, Simalungun dan Aceh Tenggara (Alas).
Orang Karo yang mendiami daerah tersebut memakai bahasa yang sama,
yaitu bahasa Karo dan mereka juga memiliki aksara sendiri yang disebut
dengan aksara Karo.
Asal-usul nenek moyang suku-suku bangsa di Indonesia bagian Barat
pada mumnya berasal dari Hindia Belakang. Suku Karo merupakan salah
satu suku yang termasuk dalam jajaran kelompok yang berasal dari sana.
Dalam pembagiannya secara global, para antropolog membagi kedatangan
mereka menjadi dua gelombang. Menurut dugaan, para emigran pertama tiba
di pantai Timur Sumater sekitar abad VIII SM. Mereka berdiam di
sepanjang pesisir pantai Timur Pulau Sumatera, mulai dari Sumatera
Timur sampai ke daerah Riau dan Jambi. Setelah berselang beberapa
waktu, mereka terpaksa menyingkir ke hutan-hutan Bukit Barisan, karena
kedatangan kelompok emigran kedua. Rupanya mereka tidak lagi dapat
saling menyesuaikan diri karena peradaban dan budaya mereka sudah
terlalu jauh berbera. Mereka yang tersingkir itulah yang kemudian
menadi nenek moyang suku-suku primitif. Salah satu di antaranya adalah
suku Karo yang tinggal di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Sedangkan
kelompok emigran kedua lazim disebut suku Melayu pesisir atau
Maya-maya, yang hingga kini tetap tinggal di pesisir pantai Timur
Sumatera. Kebanyakan dari mereka ini hidup sebagai nelayan .
Daerah yang didiami Orang Karo merupakan daerah pegunungan yang
bergelombang, di sekitar Liang Melas hutanya lebat dan di daerah
pegunungan memiliki jurang yang dalam dan curam. Gunung-gunung yang
terkenal; seperti Deleng Sibayak (2170 m), Deleng Sinabung (2417 m)
Deleng Si Piso-Piso, Deleng Pinto, Deleng Linggargar, dan Deleng
Sibuaten. Dan sungai-sungai yang mengalir di daerah ini adalah Lau
Biang (Wampu) yang bermuara ke Selat Malaka, Lau Lisang, sedangkan Lau
Menggap bermuara ke Samudera Hindia. Di daerah ini juga hidup binatang
buas; seperti gajah, harimau, beruang, beruk, kera, rusa, babi hutan
dan binatang berkaki empat lainnya, juga terdapat ular sawah serta ular
sendok yang bebisa .
Pada umumnya daerah yang didiami Orang Karo merupakan daerah
subur, walaupun ada juga wilayah-wilayah tertentu yang agak tandus.
Oleh karena itu mata percaharian mereka yang utama adalah bertani.
Hasil-hasil pertanian yang utama dari daerah ini meliputi. Sayur-myur
seperti kol-kubis, tomat, sayur putih dan sawi, kentang, wortel dan
cabe; buah-buahan seperti jeruk, apokat, markisa; dan berbagai macam
jenis bunga-bungaan segar. Tehnik pengolahan pertanian ini pada umumnya
dilakukan dengan sistem tegalan dan persawahan. Sehabis panen padi
daerah persawahan ditanami dengan tanaman palawija seperti kacang,
jagung dan bawang .
Ditinjau dari segi kebudayaan, Orang Karo termasuk kelompok yang
mempunyai peradaban yang cukup tinggi. Di bidang pertukangan misalnya,
mereka sudah mepunyai tehnik tersendiri. Orang Karo tradisional sudah
tahu bagaimana cara membuat cangkul dan parang yang baik agar tahan
lama. Hasil tenunan mereka yang terkenal adalah uis gara yakni sejenis
kain adat yang liberi hiasan berkilau-kilauan seperti emas. Kain ini
sering dipakai dalam upacara keagamaan, adat dan perkawinan. Kebolehan
mereka dalam hal ukir mengukir dapat kita amati dalam bentuk-bentuk
ukiran yang terdapat pada pintu, jendela dan dinding rumah adat Karo,
yang hingga kini masih dapat kita jumpai di kampung-kampung seperti:
Lingga, Barus Jahe dan Kutabuluh. Di bidang sastra-seni pun mereka
culup maju. Orang Karo punya penanggalan dan bentuk tulisan sendiri,
yang dahulu hanya dipelajari oleh raja (sibayak), pengetua-pengetua
adat dan orang-orang penting dalam masyarakat di setiap kampung. Mereka
mempunyai cukup banyak cerita sastra yang disebut turi-turin. Bahkan
jenis sastra pantun sudah cukup lama dikenal, khususnya di kalangan
muda-mudi. Dalam hal tari-tarian serta nyanyian, mereka mempunyai
banyak bentuk yang berbeda satu sama lain sesuai dengan situasi dan
kebutuhan. Misalnya tarian untuk upacara keagamaan berbera dengan
tarian pada pesta perkawinan atau tarian adat biasa yang lazim di
pertunjukkan dalam aneka pesta. Mereka juga mempunyai seperangkat alat
musik tradisional yang disebut gendang, yang dipakai untuk mengiringi
nyanyian dan tartan pada setiap pesta atau upacara keagamaan .
Mengacu pada unsur kebudayaan, wujud dan bentuk kebudayaan Karo
mempunyai bentuk dan nilai tersendiri yang memberikan warna dan
karakteristik Orang Karo, baik dalam tingkah laku, pola hidup, sistem
pergaulan dan kebiasaan-kebiasaan sebagai suku yang senantiasa
bereksistensi.
3. Alam Pikiran Orang Karo
Alam pikiran Orang Karo pada hakekatnya dipengaruhi oleh keadaan
dan situasi alam di mana Orang Karo hidup sejak dulu. Situasi dan
keadaan alam pegunungan membentuk alam pikiran, pandangan hidup dan
hubungan-hubungan yang ada di antara Orang Karo itu sendiri. Eksistensi
dan esensi mereka ditentukan oleh alam. Alam pegunungan yang sejuk dan
indah dapat mendatangkan hidup damai, aman dan tenteram. Namun disisi
lain kadang kala mendatangkan bencana dan marabahaya yang sulit
dibatasi. Tantangan-tantangan alam sangat nyata dalam hidup mereka.
Realitas yang mereka hadapi sungguh nyata. Kenyataan inilah yang
membuat mereka berpikir secara realistis dan selalu siapsiaga dan
waspada dalam menghadapi segala tantangan dan ancaman. Oleh karena itu
Orang Karo sejak dulu sampai turun temurun selalu menyelipkan pisau di
pingganya dan sedapat mungkin belajar silat (ndikkar). Konstruksi rumah
adat Karo menunjukkan kesiagaan menghadapi musuh, termasuk perlindungan
terhadap binatang piaraan di bawah kolongnya serta setiap kampung
senantiasa dipagari dengan tanaman lulang (jarak) .
Kenyataan hidup yang mereka hadapi inilah mendorong Orang Karo
tradisional hidup secara berkelompok. Dalam hidup bersama ini
terciptalah kebiasaan-kebiasaan yang menadi pola hidup mereka bersama,
yakni adat. Adat menadi pedoman hidup mereka yang utama. Segala
perilaku dan aktivitas hidup mereka ditentukan dan diatur oleh adat.
Barang siapa yang melanggar adat akan dihukum dan dikucilkan. Dalam
adat terkandung prinsip-prinsip hidup dan norma-norma hukum yang harus
ditaati. Adat menadi dasar kehidupan yang mempunyai peranan paling
fundamental dalam hubungan-hubungan mereka antara yang satu dan yang
lain agar dapat hidup selaras dengan alam, dengan sesama dan yang
adikodrati. Sebab adat ini bersumber pada hukum alam, dan alam
merupakan manifestasi dari Yang Adikodrati. Dengan demikian adat itu
merupakan pemberian Yang Adikodrati kepada manusia .
Alam pemikiran Orang Karo yang terealisir dalam adat dan
bersumber pada alam ini membentuk sifat dan kepribadian mereka. Sifat
dan kepribadian itu nampak dalam tidakan jujur, sopan, tegas dan
berani, berpendirian teguh, percaya diri, rasional dan kritis, mudah
menyesuaikan diri, gigih mencari pengetahuan, pragmatis, dan tidak
serakah. Mereka selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dan gigih mepertahankan hak-haknya; kalau itu diyakini sebagai haknya.
Namun mereka tidaklah mau merampas apa yang menadi hak orang lain.
Mereka selalu medahulukan orang lain dalam kegiatan tertentu. Mereka
sangat menghormati orang lain. Ha lini nampak dalam gaya bicara mereka
yang sangat demokratis, tidak memonopoli pembicaraan dan malah lebih
banyak mendengarkan; meskipun Orang Karo “bedarah panas”, lekas naik
darah, lebih-lebih bila mereka diperlakukan secara tidak adil. Meraka
akan melepaskan dendamnya dengan cara apa saja bila ada orang
memperlakukan mereka dengan tidak adil. Tetapi sebaliknya, mereka akan
bersikap lemah lembut penuh sopan santun kepada setiap orang, yang
berlaku baik terhadapnya. Dalam hal ini Orang Karo mempunyai pepatah
yang berbunyi: Keri gia isi polana, gelah mehuli penangketken kitangna.
Artinya, biarlah air nira diminuì habis, asal yang meminumnya itu
menggantungkan kembali tempatnya dengan baik pada tempatnya semula.
Tentu saja dari kata-kata pepatah ini dapat diketahui bahwa Orang Karo
mempunyai kebiasaan mengambil air nira untuk dijadikan gula, akan
tetapi pepatah ini mempunyai arti jauh lebih luas. Maksudnya, walaupun
harta kita habis, bila kahabisannya itu wajar dan demi kebaikan serta
persahabatan tidak menjadi persoalan.
4. Pandangan Hidup Orang Karo
Pandangan hidup Orang Karo terwujud dalam sikap dan perbuatan
sehari-hari. Sikap dan perbuatan itu tumbuh dan berkembang dalam adat
dan kepercayaan yang bersumber pada alam. Dalam alam ada suatu makna
yang memberi arti bagi hidup manusia yang menjadi penggerak untuk
menumbuhkan suatu tekat dalam mencapai nilai-nilai, makna dan tujuan
hidup. Oleh karena itu pandangan hidup Orang Karo dalam melaksanakan
aktivitas hidup tidak ada sebagai penonton, tetapi semua sebagai
pelaksana adat berdasarkan kedudukan dan fungsinya dalam rakut si telu
(sistem kekerabatan: kalimbubu, anak beru, senina). Setiap orang harus
aktif menjalankan tugasnya sesuai dengan kedudukan dan fungsi tersebut.
Sebab dalam masyarakat Karo setiap orang akan mengalami sebagai
kalimbubu, anak beru dan senina .
Dalam aplikasinya, Orang Karo mendasarkan diri pada
prinsip-prinsip hidup yang di yakini kebenaran dan kemanfaatannya dalam
hidup, yakni: kiniteken (keyakinan); Orang Karo yakin bahwa setiap
pekerjaan yang ia lakukan memberikan hasil bagi kehidupan yang menadi
kekuatan dalam hidupnya; kehamaten (kesopanan): setiap orang harus
sopan dan rendah hati serta hormat terhadap semua orang, agar mendapat
kepercayaan dari orang lain; megenggeng (sabar dan tahan menderita) :
setiap orang harus sabar dan tahan menderita sekalipun berat untuk
memperoleh perubahan di masa mendatang sesuai dengan yang
dicita-citakan; metenget (cermat): segala tingkah laku dan perbuatan
harus direfleksikan, direnungkan dengan baik agar mendapat hasil sesuai
dengan yang diinginkan, tek man Dibata (percaya kepada Allah): Orang
Karo percaya bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali
kepadaNya dan segala usaha dan perbuatan manusia ditentukan oleh Allah
.
Namun realisasinya dalam hidup, Orang Karo tidak menyatakannya
secara eksplisit, tetapi diungkapkan secara terselubung dalam bentuk
perumpamaan, cerita atau kata-kata pendek. Ha lini menunjukkan sifat
dan karakteristik Orang Karo yang tidak mau menonjolkan diri, tetapi
dengan sikap demikian diandaikan orang lain sudah mengerti maksudnya.
Sebab hakekat hidup dalam pandangan Orang Karo berada dalam keadaan
tidak tetap, selalu berubah karena dipengaruhi oleh unsur alam yang
terus mengalami perubahan. Dalam diri manusia ada terkandung unsur
imanensi dan transendensi. Unsur imanensi dan transendensi ini terjadi
dalam relasi dialektis antara alam dengan manusia. Oleh karena itu
manusia tidak pernah tetap, artinya manusia tidak pernah berada dalam
kehidupan dan perilaku yang tetap antara yang baik dan yang jahat,
sehat jasmani dan rohani .
Manusia yang sehat dalam pandangan Orang Karo adalah manusia yang
ada dalam keseimbangan dalam dan keseimbangan luar. Keseimbangan dalam
mencakup lima unsur penting yang ada dalam diri manusia, yakni: tubuh,
nafas, pikiran, jiwa dan hati. Kelima unsur ini harus terintegrasi dan
hubungan antara satu dan yang lain harus seimbang, jika tidak maka
dalam diri orang itu timbul penyakit. Keseimbangan luar mencakup relasi
personal dengan individu lain, yang mencaku keseimbangan antara nilai
kehidupan sosial (rakut si telu), keseimbangan terhadap lingkungan
(alam), dan keseimbangan terhadap yang bersifat transendental
(kerohanian, religiositas). Dengan demikian manusia dalam pandangan
Orang Karo bersifat holistik, utuh menyeluruh, jika ada di dalam
dirinya keseimbangan intern dan ekstern, dan hal inilah yang menadi
salah satu tujuan hidup Orang Karo.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Orang Karo menciptakan berbagai
ungkapan dan kata-kata yang dapat dipakai sebagai pegangan hidup dalam
pergaulan dan aktivitas hidup setiap hari. Ungkapan-ungkapan itu
dituliskan dalam alat-alat rumah tangga yang dipakai setiap hari atau
di tempat-tempat lain yang mudah dilihat, seperti tulisan endi-enta
(memberi-menerima) dalam sendok sayur yang terbuat dari bambu disebut
surat ukat. Maksudnya terlebih dahulu memberi kemudian menerima.
Tulisan ini mengandung arti yang cukup dalam mengenai hubungan antara
sesama agar ia diterima dan dihargai di dalam masyarakat .
Ada juga petuah yang berbetuk cerita yang disenandungkan yang
mengisahkan penderitaan hidup mereka di masa lalu. Ha lini dilakukan
agar anak-anak mereka tahu mengambil sikap dan tindakan bila berhadapan
dengan tantangan hidup yang berat. Ungkpan seperti itu disebut
bilang-bilang .
Selain itu bila berhadapan dengan suatu masalah, Orang Karo tidak
mudah emosional, tetapi terlebih dahulu dipikirkan secara rasional dan
kritis. Sifat kritis inilah yang membuat Orang berpendirian teguh,
karena segala sesuatu itu dipikirkan untung ruginya bagi kehidupan di
kemudian hari. Namun demikian Orang Karo tidak henti-hentinya berusaha
mencari yang terbaik bagi perkembangan hidup dan anak-anaknya.
Dengan demikian nampak bahwa Orang Karo mempunyai pandangan jauh
ke depan. Hal ini nampak dalam wujud kebudayaan yang diciptakannya,
seperti konstruksi rumah adat, yang dapat ditempati oleh delapan
keluarga. Dalam rumah adat itu terdapat ukiran-ukiran pada dinding yang
mempunyai arti dan simbolis tertentu, melambangkan suatu pesan,
gagasan, harapan dan kenangan. Hal ini semua menunjukkan bagaimana
mereka harus berhubungan antara yang satu dan yang lain.
5. Hubungan dengan manusia, alam dan Yang Adikodrati
Dasar peradatan Orang Karo adalah sangkep nggeluh, yang merupakan
idealitas identitas kehidupan mereka. Identitas hidup Orang Karo
tercakup dalam merga si lima (memiliki lima marga: Karo-Karo, Tarigan,
Ginting, Sembiring, dan Perangin-angin dengan cabangnya masing-masing);
rakut si telu (kalimbubu, anak beru, senina), sistem kekerabatan dalam
menjalankan adat; memiliki bahasa sendiri yakni bahasa Karo; ada daerah
yang menadi tempat tinggal mereka, yaitu Tanah Karo Simalem;
melaksanakan tutur si waluh (tinggi rendahnya tata pergaulan dalam
masyarakat Karo) berdasarkan merga si lima dan menjalankannya dalam
adat Karo. Ha lini hanya dapat terlaksana dengan baik jika sangkep
nggeluh dalam hidup mereka telah lengkap. Oleh karena sangkep nggeluh
ini menadi idealitas identitas Orang Karo. Suatu cita-cita ideal yang
hendak di capai dengan sempurna dan nyata dalam hidup .
Pengertian sangkep nggeluh adalah: nggeluh artinya hidup, sangkep
adalah kepenuhan, maka sangkep nggeluh adalah kepenuhan dalam hidup,
sempurna, lengkap semua apa yang seharusnya ada sebagaimana layaknya
hidup suatu keluarga. Ada anak laki-laki dan perempuan lengkap dengan
hubungan kekerabatannya. Sikap yang paling fundamental dalam sangkep
nggeluh ini adalah mehamat erkalimbubu (hormat terhadap kalimbubu);
medes ersenina (sikap solider dan toleran terhadap sesama saudara);
metami eranak beru (sabar dan menyanyangi anak beru sebagai pelaksana
dalam setiap kegiatan). Dengan demikian dalam sangkep nggeluh ini telah
terpenuhi semua bagian-bagian adat yang harus dilaksanakan dalam suatu
aktivitas hidup. Sangkep nggeluh ini sebagai pengikat antara sesama
manusia untuk saling tolong menolong dan kasih mengasihi serta mendapat
pasu-pasu (rahnat dan berkat) dari yang Mahakuasa.
Melalui sangkep nggeluh ini, Orang Karo membina relasinya dengan sesama dengan alam dan Yang Adikodrati.
5.1. Relasi dengan sesama manusia
Dalam kehidupan Orang Karo, hubungan kekerabatan menadi unsur
terpenting, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Hubungan
kekerabatan ini terjadi dalam marga yang diikat oleh adat. Dasar dari
hubungan kekerabatan ini berdasarkan hubungan darah yang dihitung
menurut garis pihak laki-laki, karena Orang Karo menganut prinsip
patrilineal. Kelompok kekerabatan yang paling kecil disebut jabu
(keluarga). Istilah jabu dapat juga menunjuk kepada kelompok sada bapa
(satu ayah) yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri atas para pria
sekandung yang telah menikah, dan kelompok sada nini (satu kakek) yang
masih dapat diketahui garis silsilahnya. Kelompok kekerabatan yang
terbesar adalah merga (marga, klen).
Asal usul merga diturunkan dari me-her-ga, artinya mempunyai
harga atau kuasa. Menurut cerita rakyat yang dikumpulkan oleh P.
Tamboen, dalam usahanya mendalami adat-istiadat Karo, meherga adalah
nama nenek moyang Orang Karo, yang dahulu mempunyai kekuasaan atas
rakyat dan keturunannya. Kekuasaannya sangat termasyur karena
kemampuannya mengatur serta mengendalikan masyarakat. Meherga mempunyai
lima orang anak laki-laki, yaitu: Karo-Karo, Tarigan, Ginting,
Sembiring dan Perangin-angin. Nama kelima orang inilah kemudian menjadi
merga (marga) dan ciri identitas yang dipakai Orang Karo turun temurun.
Kemudian kelima merga itu mempunyai cabangnya masing-masing, yakni:
Karo-Karo memiliki 18 cabang, Tarigan 13 cabang, Ginting 16 cabang,
Sembiring 18 cabang dan Perangin-angin 18 cabang. Semua adat-istiadat,
tutur (tinggi rendahnya derajat/gradus dalam tata pergaulan umum) dan
norma-norma etis masyarakat ditentukan berdasarkan kelima merga
tersebut. Atas dasar merga ini pula ditentukan hukum-hukum perkawinan.
Orang-orang dari marga yang sama tidak boleh saling mengawini .
Fungsi sosial dalam hubungan kekerabatan dikenal dengan merga
silima, rakut sitelu, tutur siwaluh, dan pervade-kadeen sisepuluh dua.
Rakut sitelu – kalimbubu-anak beru-senina – merupakan fungsi
pengelompokan aktivitas sosial, ia merupakan penjelmaan dari seluruh
kehadiran fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Dalam rakut sitelu
seluruh unsur fungsi sosial telah berkelompok, sehingga masing-masing
individu mengetahui peran, status dan kedudukannya dalam masyarakat
umum dengan jelas. Artinya, ada atau tidak ada kegiatan masing-masing
kelompok sudah mengerti akan tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Anak
beru merupakan kelompok kerja, pengatur pelaksana dan pengendali setiap
kegiatan. Senina merupakan kelompok pemilik kegiatan dan tugas mereka
melimpahkan wewenangnya kepada anak beru. Kalimbubu sebagai orang yang
dimuliakan, ia bertindak sebagai penasehat, pemberi saran, petunjuk,
bimbingan kepada anak beru dan senina. Untuk mengetahui peran, status
dan kedudukan seseorang dalam masyarakat itu dilakukan dengan ertutur
(perkenalan untuk mengetahui tinggi rendahnya derajat/gradus sesorang
dalam tata pergaulan umum). Artinya perlu diketahui bagaimana kedudukan
yang satu dengan yang lain. Apabila ia sudah mengetahui tutur mereka
antara yang satu dan yang lain, maka ia juga harus mengetahui bagaimana
sifat tutur itu dan fungsi kekeluargaannya. Dalam hal ini tutur si
waluh menyatakan fungsi sosial, dan perkade-kaden sepuluh dua
menyatakan kekeluargaan.
5.2. Relasi dengan alam
Orang Karo tradisional mempunyai kepercayaan terhadap makhluk
Pencipta yang menguasai dirinya dan mereka harus menyembah Sang
Pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Menurut pandangan orang
Karo mereka harus menjaga ciptaan Sang Pencipta dan tidak boleh
sembarangan disebutkan. Sebab menurut pandangan mereka, manusia
merupakan bagian dari alam; berasal dari alam dan harus kembali ke
alam.
Dalam pandangan orang Karo kejadian manusia, yang berasal dari
alam dapat diterangkan melalui sebuah mantera singkat berikut: “Asap
jadi asap, asap jadi tungga, tungga jadi antu, antu jadi bungi, bungi
jadi busi, busi jadi teras bunga, teras bunga jadi jelma”. Dari mantera
ini jelas dapat dilihat bahwa manusia itu berasal dari alam. Juga dalam
pandangan orang Karo tradisional, tempat di mana tali pusatnya jatuh
merupakan tempat kemulihenna (kembali ke asalnya) .
Dunia di mana manusia hidup dan berkehidupan merupakan
manifestasi Yang Adikodrati. Alam dengan segala yang ada di dalamnya
merupakan tanda kehadiran Yang Ilahi. Oleh karena itu orang Karo sangat
memperhatikan dan menghormati alam tempat ia berada. Mereka tidak
sembarangan memperlakukan alam ini untuk kepentingan diri sendiri.
Sebab alam ini merupakan bagian dari hidupnya. Semua kebutuhan mereka
dipenuhi oleh alam. Maka jika mereka ingin selamat, mereka harus
melestarikan alam; setiap kali memasuki hutan atau membuka lahan
pertanian yang baru, mereka terlebih dahulu mengucapkan tabas-tabas
(mantera) agar roh yang menempati dan menguasai alam itu tidak marah
dan malahan memberkatinya.
5.3. Relasi dengan Yang Adikodrati
Orang Karo mempercayai kekuatan supernatural yang menguasai alam
semesta ini. Mereka mempercayai adanya Allah yang disebut Dibata.
Dialah pencipta alam semesta beserta segala isinya. Orang Karo percaya
bahwa alam semesta ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu banua (dunia)
atas, banua tengah dan banua bawah, dan masing-masing banua dikuasai
seorang Dibata (Allah). Penguasa banua atas adalah guru butara yang
bertugas mengatur hidup dan mati semua manusia; memberi apa yang
dibutuhkan dan yang harus dilakukan manusia serta memberi keberanian
kepada manusia. Penguasa banua tengah adalan tuan paduka ni aji yang
bertuga sebagai pemberi dan menganugerahkan anak-anak kepada manusia;
menciptakan manusia selagi dalam kandungan dan memegang pimpinan atas
manusia. Dan penguasa banua bawah adalah tuan banua koling, tugasnya
mengirim cahaya, hari, dan nasib manusia serta memberikan kesuburan
tanah.
Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman hidup mereka sehari-hari,
di mana dalam suka duka hidup mereka menyapa Yang Ilahi untuk mohon
perlindungan dari bahaya yang mengancam; baik dari pihak musuh, bencana
alam, penyakit, roh jahat dan dari pihak manusia yang jahat. Dengan
kata lain, mengenal Yang Numinous, Yang Gaib, Yang Transenden hanya
melalui peristiwa-peristiwa hidup dan gelala-gejala alami yang terjadi
dalam alam semesta ini. Oleh karena itu gambaran mereka tentang Allah,
Yang Adikodrati, Dibata itu sangat diwarnai oleh pikiran, suasana hati,
keinginan, dan kecenderungan mereka.
Dibata yang dikenal orang Karo itu adalah Allah Yang Mahakuasa.
Dibata itu tidak mengadakan komunikasi langsung dengan manusia, tetapi
Dia dipandang sebagai tujuan, pelindung dan penjamin ketertiban alam.
KehendakNya telah tertuang dalam adat-istiadat Karo. Dengan demikian
barang siapa mengemban dan melaksanakan adat dengan baik, berarti ia
telah melakukan pemujaan terhadap Dibata dan membina relasi yang
harmonis denganNya. Oleh karena itu semua kegiatan yang bersifat
religius dilaksanakan dalam adat.
6. Kesimpulan
Orang Karo adalah salah satu suku bangsa yang ada di Sumatera
Utara bagian Timur. Mereka mendiami daerah induk disepamjang pegunungan
Bukit Barisan yang meliputi Dataran Tingi Karo, Deli Serdang, Langkat,
Dairi, Simalungun, dan aceh Tenggara (Alas). Mereka ini memiliki
adat-istiadat, bahasa dan aksara sendiri. Istilah “karo” menurut
beberapa sumber yang dihimpun oleh para ahli berasal dari kata ha-roh
(ha=pertama, roh=datang), Qarau (bhs. Arab: telah diajari membaca dan
sembahyang), ke’ra (tanah tinggi yang keras), aru atao haru (nama
sebuah tempat, pulau), dan kar’o (dunia bulat). Kemudian kata-kata
tersebut berubah menadi hanya kata “Karo”.
Asal usul nenek moyang orang Karo menurut ipotesa para ahli
berasal dari Hindia Belakang yang bermigrasi ke arah Selatan sekitar
abad VIII SM. Pada umumnya daerah yang didiami orang karo merupakan
daerah subur. Oleh karena itu mata pencaharian mereka yang utama adalah
bertani. Orang Karo memiliki peradaban yang cukup tinggi. Wujud dan
bentuk kebudayaan Karo mempunyai bentuk dan nilai tersendiri, yang
memberikan corak dan karakteristik tertentu, baik dalam tingkah laku,
pola hidup, sistem pergaulan, dan kebiasaan-kebiasaan yang menunjukkan
mereka sebagai suku yang senantiasa bereksistensi.
Situasi dan keadaan alam dengan segala tantangannya turut
mempengaruhi alam pikiran, pandangan hidup, dan hubungan-hubungan
antara orang Karo itu sendiri, yang terwujud dalam adat. Adat merupakan
pedoman hidup mereka yang utama. Dalam adat terkandung prinsip-prinsip
hidup yang mengatur hubungan-hubungan mereka antara yang satu dengan
yang lain agar dapat hidup selaras dengan sesama, alam dan Yang
Adikodrati. Sifat dan kepribadian orang Karo nampak dalam perwatakannya
yang jujur, tegas dan berani, percaya diri, pemalu, tidak serakah dan
tahu hak dan kewajibannya, mudah tersinggung dan dendam, berpendirian
teguh, rasional dan kritis serta gigih mencari ilmu. Sifat dan
kepribadian seperti ini membuat mereka berpikir secara realistis dan
pragmatis.
Dalam falsafah hidup orang Karo, semua orang ikut ambil bagian
dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsi dan kedudukannya dalam
rakut sitelu (kalimbubu. Anak beru, senina). Agar dapat melaksanakan
tuganya masing-masing dengan baik, mereka harus berpedoman pada
kiniteken, kehamaten, megenggeng, metenget, dan tek man Dibata sebagai
pegangan dalam hidup. Dasar dari semua ini adalah sangkep nggeluh
sebagai idealitas identitas orang Karo yang mengikat dan menunjukkan
mereka dalam hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang divina dalam
adat-istiadat sedemikian rupa sehingga menadi suatu ikatan yang utuh
menyeluruh untuk mempersatukan mereka antara yang satu dan yang lain
melalui merga si lima, rakut sitelu, tutur siwaluh dan pervade-kaden
sepuluhdua.
Dengan demikian, mereka dapat hidup damai dan aman di dalam alam
semesta ini, yang merupakan anugerah Sang Pencipta bagi mereka. Alam
merupakan manifestasi dan tanda kehadiran Yang Adikodrati di antara
manusia, dan kehidupan mereka tergantung dari alam. Manusia berasal
dari alam dan kembali ke alam. Oleh karena itu mereka sangat
menghormati dan memelihara alam ini. Mereka menjaga kelestariannya dan
mengolahnya tanpa merusaknya, tetapi menyesuaikan diri dengan alam,
agar terjadi keselarasan antara manusia dan alamnya.
Dengan demikian, orang Karo percaya terhadap adanya Dibata Yang
Mahakuasa pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Kekuasaan Dibata
itu begitu besar dan dahsyat, sehingga manusia tidak mungkin
berhubungan langsung denganNya. Tetapi diyakini bahwa Dibata itu
melindungi dan menjamin keselamatan manusia, dan kehendaknya tertuang
dalam adat-istiadat. Oleh karena itu barang siapa yang mengemban dan
melaksanakan adat itu dengan baik, ia telah melakukan pemujaan dan
berhubunngan secara harmonis dengan Sang Penciptanya.
baik. Perhatiannya ditujukan pada hidup yang aman, damai, tenteram,
makmur dan sejahtera. Sejak manuisa mengenal dunia dalam sejarah,
perhatiannya selalu diarahkan untuk mencapai dasar pokok sebagai
landasan hidupnya. Sejarah dan alam pikiran manusia serta evolusinya
merupakan bukti usaha manusia untuk menembus dunia materi menuju ke
alam rohani. Manusia tidak pernah puas hanya dengan aspek materi saja,
karena itu ia mencari kepuasan dan menyandarkan kehendaknya kepada
hal-hal yang bersifat rohani .
Demikian juga halnya dengan Orang Karo tradisional, sejak mereka
membentuk kehidupan bersama, mereka sudah mencari landasan hidupnya.
Hal ini terlaksana melalui terciptanya adat-istiadat yang mengatur
hidup mereka setiap hari dengan sesama, dengan alam dan Yang
Adikodrati.
2. Kehidupan Orang Karo
Orang Karo adalah satu suku di Sumatera Utara, yang mendiami
daerah bagian utara Sumatera Timur, terutama Dataran Tinggi Karo.
Istilah “Karo” berasal dari kata “ha-roh” sesuai dengan aksara Karo
yang pertama ha; artinya pertama datang (ha = pertama, awal, roh =
datang). Dalam perkembangan ha-roh berubah menjadi Karo .
Namun menurut sumber lain istilah “Karo” asalnya dari bahasa
Arab, yakni Qarau, artinya telah diajari membaca atau sembahyang,
kemudian kata Qarau ini lama kelamaan berubah menadi “Karo”. Sumber
lain mengatakan bahwa istilah “Karo” berasal dari kata “ke’ra”, artinya
“tanah tinggi yang keras”, dan kata ke’ra ini dalam perkembangan
berubah menadi Karo. Sumber lain mengatakan bahwa istilah “Karo”
berasal dari kata aru (haru). Aru adalah nama sebuah pulau di Teluk Aru
dekat Belawan sekarang. Pulau Aru inilah yang pertama di tempati oleh
para pendatang dari luar dan mereka mendirikan perkampungan di sana.
Setelah jumlah orang Aru itu menadi banyak dan kampung mereka semakin
besar, maka kampung itu berubah menadi “Kerajaan Haru”. Dan lambat laun
kata haru itu berubah menjadi “Karo”. Menurut penelitian para ahli,
lahirnya bahasa, aksara, seni suara dan tari-tarian serta adat-istiadat
Karo terjadi pada zaman Haru ini, yang pada mulanya masih sangat
sederhana sekali. Namun dalam Kongres Budaya Karo yang di selengarakan
di Berastagi, yang berlangsung dari tanggal 1-3 Desember 1995,
dikatakan bahwa istilah “Karo” berasal dari kata kar’o, artinya kar =
dunia, o = bulat, jadi kar’o itu dunia bulat .
Daerah yang didiami Orang Karo meliputi Dataran Tingi Karo, Deli
Serdang, Langkat, sebagaian Dairi, Simalungun dan Aceh Tenggara (Alas).
Orang Karo yang mendiami daerah tersebut memakai bahasa yang sama,
yaitu bahasa Karo dan mereka juga memiliki aksara sendiri yang disebut
dengan aksara Karo.
Asal-usul nenek moyang suku-suku bangsa di Indonesia bagian Barat
pada mumnya berasal dari Hindia Belakang. Suku Karo merupakan salah
satu suku yang termasuk dalam jajaran kelompok yang berasal dari sana.
Dalam pembagiannya secara global, para antropolog membagi kedatangan
mereka menjadi dua gelombang. Menurut dugaan, para emigran pertama tiba
di pantai Timur Sumater sekitar abad VIII SM. Mereka berdiam di
sepanjang pesisir pantai Timur Pulau Sumatera, mulai dari Sumatera
Timur sampai ke daerah Riau dan Jambi. Setelah berselang beberapa
waktu, mereka terpaksa menyingkir ke hutan-hutan Bukit Barisan, karena
kedatangan kelompok emigran kedua. Rupanya mereka tidak lagi dapat
saling menyesuaikan diri karena peradaban dan budaya mereka sudah
terlalu jauh berbera. Mereka yang tersingkir itulah yang kemudian
menadi nenek moyang suku-suku primitif. Salah satu di antaranya adalah
suku Karo yang tinggal di sepanjang pegunungan Bukit Barisan. Sedangkan
kelompok emigran kedua lazim disebut suku Melayu pesisir atau
Maya-maya, yang hingga kini tetap tinggal di pesisir pantai Timur
Sumatera. Kebanyakan dari mereka ini hidup sebagai nelayan .
Daerah yang didiami Orang Karo merupakan daerah pegunungan yang
bergelombang, di sekitar Liang Melas hutanya lebat dan di daerah
pegunungan memiliki jurang yang dalam dan curam. Gunung-gunung yang
terkenal; seperti Deleng Sibayak (2170 m), Deleng Sinabung (2417 m)
Deleng Si Piso-Piso, Deleng Pinto, Deleng Linggargar, dan Deleng
Sibuaten. Dan sungai-sungai yang mengalir di daerah ini adalah Lau
Biang (Wampu) yang bermuara ke Selat Malaka, Lau Lisang, sedangkan Lau
Menggap bermuara ke Samudera Hindia. Di daerah ini juga hidup binatang
buas; seperti gajah, harimau, beruang, beruk, kera, rusa, babi hutan
dan binatang berkaki empat lainnya, juga terdapat ular sawah serta ular
sendok yang bebisa .
Pada umumnya daerah yang didiami Orang Karo merupakan daerah
subur, walaupun ada juga wilayah-wilayah tertentu yang agak tandus.
Oleh karena itu mata percaharian mereka yang utama adalah bertani.
Hasil-hasil pertanian yang utama dari daerah ini meliputi. Sayur-myur
seperti kol-kubis, tomat, sayur putih dan sawi, kentang, wortel dan
cabe; buah-buahan seperti jeruk, apokat, markisa; dan berbagai macam
jenis bunga-bungaan segar. Tehnik pengolahan pertanian ini pada umumnya
dilakukan dengan sistem tegalan dan persawahan. Sehabis panen padi
daerah persawahan ditanami dengan tanaman palawija seperti kacang,
jagung dan bawang .
Ditinjau dari segi kebudayaan, Orang Karo termasuk kelompok yang
mempunyai peradaban yang cukup tinggi. Di bidang pertukangan misalnya,
mereka sudah mepunyai tehnik tersendiri. Orang Karo tradisional sudah
tahu bagaimana cara membuat cangkul dan parang yang baik agar tahan
lama. Hasil tenunan mereka yang terkenal adalah uis gara yakni sejenis
kain adat yang liberi hiasan berkilau-kilauan seperti emas. Kain ini
sering dipakai dalam upacara keagamaan, adat dan perkawinan. Kebolehan
mereka dalam hal ukir mengukir dapat kita amati dalam bentuk-bentuk
ukiran yang terdapat pada pintu, jendela dan dinding rumah adat Karo,
yang hingga kini masih dapat kita jumpai di kampung-kampung seperti:
Lingga, Barus Jahe dan Kutabuluh. Di bidang sastra-seni pun mereka
culup maju. Orang Karo punya penanggalan dan bentuk tulisan sendiri,
yang dahulu hanya dipelajari oleh raja (sibayak), pengetua-pengetua
adat dan orang-orang penting dalam masyarakat di setiap kampung. Mereka
mempunyai cukup banyak cerita sastra yang disebut turi-turin. Bahkan
jenis sastra pantun sudah cukup lama dikenal, khususnya di kalangan
muda-mudi. Dalam hal tari-tarian serta nyanyian, mereka mempunyai
banyak bentuk yang berbeda satu sama lain sesuai dengan situasi dan
kebutuhan. Misalnya tarian untuk upacara keagamaan berbera dengan
tarian pada pesta perkawinan atau tarian adat biasa yang lazim di
pertunjukkan dalam aneka pesta. Mereka juga mempunyai seperangkat alat
musik tradisional yang disebut gendang, yang dipakai untuk mengiringi
nyanyian dan tartan pada setiap pesta atau upacara keagamaan .
Mengacu pada unsur kebudayaan, wujud dan bentuk kebudayaan Karo
mempunyai bentuk dan nilai tersendiri yang memberikan warna dan
karakteristik Orang Karo, baik dalam tingkah laku, pola hidup, sistem
pergaulan dan kebiasaan-kebiasaan sebagai suku yang senantiasa
bereksistensi.
3. Alam Pikiran Orang Karo
Alam pikiran Orang Karo pada hakekatnya dipengaruhi oleh keadaan
dan situasi alam di mana Orang Karo hidup sejak dulu. Situasi dan
keadaan alam pegunungan membentuk alam pikiran, pandangan hidup dan
hubungan-hubungan yang ada di antara Orang Karo itu sendiri. Eksistensi
dan esensi mereka ditentukan oleh alam. Alam pegunungan yang sejuk dan
indah dapat mendatangkan hidup damai, aman dan tenteram. Namun disisi
lain kadang kala mendatangkan bencana dan marabahaya yang sulit
dibatasi. Tantangan-tantangan alam sangat nyata dalam hidup mereka.
Realitas yang mereka hadapi sungguh nyata. Kenyataan inilah yang
membuat mereka berpikir secara realistis dan selalu siapsiaga dan
waspada dalam menghadapi segala tantangan dan ancaman. Oleh karena itu
Orang Karo sejak dulu sampai turun temurun selalu menyelipkan pisau di
pingganya dan sedapat mungkin belajar silat (ndikkar). Konstruksi rumah
adat Karo menunjukkan kesiagaan menghadapi musuh, termasuk perlindungan
terhadap binatang piaraan di bawah kolongnya serta setiap kampung
senantiasa dipagari dengan tanaman lulang (jarak) .
Kenyataan hidup yang mereka hadapi inilah mendorong Orang Karo
tradisional hidup secara berkelompok. Dalam hidup bersama ini
terciptalah kebiasaan-kebiasaan yang menadi pola hidup mereka bersama,
yakni adat. Adat menadi pedoman hidup mereka yang utama. Segala
perilaku dan aktivitas hidup mereka ditentukan dan diatur oleh adat.
Barang siapa yang melanggar adat akan dihukum dan dikucilkan. Dalam
adat terkandung prinsip-prinsip hidup dan norma-norma hukum yang harus
ditaati. Adat menadi dasar kehidupan yang mempunyai peranan paling
fundamental dalam hubungan-hubungan mereka antara yang satu dan yang
lain agar dapat hidup selaras dengan alam, dengan sesama dan yang
adikodrati. Sebab adat ini bersumber pada hukum alam, dan alam
merupakan manifestasi dari Yang Adikodrati. Dengan demikian adat itu
merupakan pemberian Yang Adikodrati kepada manusia .
Alam pemikiran Orang Karo yang terealisir dalam adat dan
bersumber pada alam ini membentuk sifat dan kepribadian mereka. Sifat
dan kepribadian itu nampak dalam tidakan jujur, sopan, tegas dan
berani, berpendirian teguh, percaya diri, rasional dan kritis, mudah
menyesuaikan diri, gigih mencari pengetahuan, pragmatis, dan tidak
serakah. Mereka selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dan gigih mepertahankan hak-haknya; kalau itu diyakini sebagai haknya.
Namun mereka tidaklah mau merampas apa yang menadi hak orang lain.
Mereka selalu medahulukan orang lain dalam kegiatan tertentu. Mereka
sangat menghormati orang lain. Ha lini nampak dalam gaya bicara mereka
yang sangat demokratis, tidak memonopoli pembicaraan dan malah lebih
banyak mendengarkan; meskipun Orang Karo “bedarah panas”, lekas naik
darah, lebih-lebih bila mereka diperlakukan secara tidak adil. Meraka
akan melepaskan dendamnya dengan cara apa saja bila ada orang
memperlakukan mereka dengan tidak adil. Tetapi sebaliknya, mereka akan
bersikap lemah lembut penuh sopan santun kepada setiap orang, yang
berlaku baik terhadapnya. Dalam hal ini Orang Karo mempunyai pepatah
yang berbunyi: Keri gia isi polana, gelah mehuli penangketken kitangna.
Artinya, biarlah air nira diminuì habis, asal yang meminumnya itu
menggantungkan kembali tempatnya dengan baik pada tempatnya semula.
Tentu saja dari kata-kata pepatah ini dapat diketahui bahwa Orang Karo
mempunyai kebiasaan mengambil air nira untuk dijadikan gula, akan
tetapi pepatah ini mempunyai arti jauh lebih luas. Maksudnya, walaupun
harta kita habis, bila kahabisannya itu wajar dan demi kebaikan serta
persahabatan tidak menjadi persoalan.
4. Pandangan Hidup Orang Karo
Pandangan hidup Orang Karo terwujud dalam sikap dan perbuatan
sehari-hari. Sikap dan perbuatan itu tumbuh dan berkembang dalam adat
dan kepercayaan yang bersumber pada alam. Dalam alam ada suatu makna
yang memberi arti bagi hidup manusia yang menjadi penggerak untuk
menumbuhkan suatu tekat dalam mencapai nilai-nilai, makna dan tujuan
hidup. Oleh karena itu pandangan hidup Orang Karo dalam melaksanakan
aktivitas hidup tidak ada sebagai penonton, tetapi semua sebagai
pelaksana adat berdasarkan kedudukan dan fungsinya dalam rakut si telu
(sistem kekerabatan: kalimbubu, anak beru, senina). Setiap orang harus
aktif menjalankan tugasnya sesuai dengan kedudukan dan fungsi tersebut.
Sebab dalam masyarakat Karo setiap orang akan mengalami sebagai
kalimbubu, anak beru dan senina .
Dalam aplikasinya, Orang Karo mendasarkan diri pada
prinsip-prinsip hidup yang di yakini kebenaran dan kemanfaatannya dalam
hidup, yakni: kiniteken (keyakinan); Orang Karo yakin bahwa setiap
pekerjaan yang ia lakukan memberikan hasil bagi kehidupan yang menadi
kekuatan dalam hidupnya; kehamaten (kesopanan): setiap orang harus
sopan dan rendah hati serta hormat terhadap semua orang, agar mendapat
kepercayaan dari orang lain; megenggeng (sabar dan tahan menderita) :
setiap orang harus sabar dan tahan menderita sekalipun berat untuk
memperoleh perubahan di masa mendatang sesuai dengan yang
dicita-citakan; metenget (cermat): segala tingkah laku dan perbuatan
harus direfleksikan, direnungkan dengan baik agar mendapat hasil sesuai
dengan yang diinginkan, tek man Dibata (percaya kepada Allah): Orang
Karo percaya bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali
kepadaNya dan segala usaha dan perbuatan manusia ditentukan oleh Allah
.
Namun realisasinya dalam hidup, Orang Karo tidak menyatakannya
secara eksplisit, tetapi diungkapkan secara terselubung dalam bentuk
perumpamaan, cerita atau kata-kata pendek. Ha lini menunjukkan sifat
dan karakteristik Orang Karo yang tidak mau menonjolkan diri, tetapi
dengan sikap demikian diandaikan orang lain sudah mengerti maksudnya.
Sebab hakekat hidup dalam pandangan Orang Karo berada dalam keadaan
tidak tetap, selalu berubah karena dipengaruhi oleh unsur alam yang
terus mengalami perubahan. Dalam diri manusia ada terkandung unsur
imanensi dan transendensi. Unsur imanensi dan transendensi ini terjadi
dalam relasi dialektis antara alam dengan manusia. Oleh karena itu
manusia tidak pernah tetap, artinya manusia tidak pernah berada dalam
kehidupan dan perilaku yang tetap antara yang baik dan yang jahat,
sehat jasmani dan rohani .
Manusia yang sehat dalam pandangan Orang Karo adalah manusia yang
ada dalam keseimbangan dalam dan keseimbangan luar. Keseimbangan dalam
mencakup lima unsur penting yang ada dalam diri manusia, yakni: tubuh,
nafas, pikiran, jiwa dan hati. Kelima unsur ini harus terintegrasi dan
hubungan antara satu dan yang lain harus seimbang, jika tidak maka
dalam diri orang itu timbul penyakit. Keseimbangan luar mencakup relasi
personal dengan individu lain, yang mencaku keseimbangan antara nilai
kehidupan sosial (rakut si telu), keseimbangan terhadap lingkungan
(alam), dan keseimbangan terhadap yang bersifat transendental
(kerohanian, religiositas). Dengan demikian manusia dalam pandangan
Orang Karo bersifat holistik, utuh menyeluruh, jika ada di dalam
dirinya keseimbangan intern dan ekstern, dan hal inilah yang menadi
salah satu tujuan hidup Orang Karo.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Orang Karo menciptakan berbagai
ungkapan dan kata-kata yang dapat dipakai sebagai pegangan hidup dalam
pergaulan dan aktivitas hidup setiap hari. Ungkapan-ungkapan itu
dituliskan dalam alat-alat rumah tangga yang dipakai setiap hari atau
di tempat-tempat lain yang mudah dilihat, seperti tulisan endi-enta
(memberi-menerima) dalam sendok sayur yang terbuat dari bambu disebut
surat ukat. Maksudnya terlebih dahulu memberi kemudian menerima.
Tulisan ini mengandung arti yang cukup dalam mengenai hubungan antara
sesama agar ia diterima dan dihargai di dalam masyarakat .
Ada juga petuah yang berbetuk cerita yang disenandungkan yang
mengisahkan penderitaan hidup mereka di masa lalu. Ha lini dilakukan
agar anak-anak mereka tahu mengambil sikap dan tindakan bila berhadapan
dengan tantangan hidup yang berat. Ungkpan seperti itu disebut
bilang-bilang .
Selain itu bila berhadapan dengan suatu masalah, Orang Karo tidak
mudah emosional, tetapi terlebih dahulu dipikirkan secara rasional dan
kritis. Sifat kritis inilah yang membuat Orang berpendirian teguh,
karena segala sesuatu itu dipikirkan untung ruginya bagi kehidupan di
kemudian hari. Namun demikian Orang Karo tidak henti-hentinya berusaha
mencari yang terbaik bagi perkembangan hidup dan anak-anaknya.
Dengan demikian nampak bahwa Orang Karo mempunyai pandangan jauh
ke depan. Hal ini nampak dalam wujud kebudayaan yang diciptakannya,
seperti konstruksi rumah adat, yang dapat ditempati oleh delapan
keluarga. Dalam rumah adat itu terdapat ukiran-ukiran pada dinding yang
mempunyai arti dan simbolis tertentu, melambangkan suatu pesan,
gagasan, harapan dan kenangan. Hal ini semua menunjukkan bagaimana
mereka harus berhubungan antara yang satu dan yang lain.
5. Hubungan dengan manusia, alam dan Yang Adikodrati
Dasar peradatan Orang Karo adalah sangkep nggeluh, yang merupakan
idealitas identitas kehidupan mereka. Identitas hidup Orang Karo
tercakup dalam merga si lima (memiliki lima marga: Karo-Karo, Tarigan,
Ginting, Sembiring, dan Perangin-angin dengan cabangnya masing-masing);
rakut si telu (kalimbubu, anak beru, senina), sistem kekerabatan dalam
menjalankan adat; memiliki bahasa sendiri yakni bahasa Karo; ada daerah
yang menadi tempat tinggal mereka, yaitu Tanah Karo Simalem;
melaksanakan tutur si waluh (tinggi rendahnya tata pergaulan dalam
masyarakat Karo) berdasarkan merga si lima dan menjalankannya dalam
adat Karo. Ha lini hanya dapat terlaksana dengan baik jika sangkep
nggeluh dalam hidup mereka telah lengkap. Oleh karena sangkep nggeluh
ini menadi idealitas identitas Orang Karo. Suatu cita-cita ideal yang
hendak di capai dengan sempurna dan nyata dalam hidup .
Pengertian sangkep nggeluh adalah: nggeluh artinya hidup, sangkep
adalah kepenuhan, maka sangkep nggeluh adalah kepenuhan dalam hidup,
sempurna, lengkap semua apa yang seharusnya ada sebagaimana layaknya
hidup suatu keluarga. Ada anak laki-laki dan perempuan lengkap dengan
hubungan kekerabatannya. Sikap yang paling fundamental dalam sangkep
nggeluh ini adalah mehamat erkalimbubu (hormat terhadap kalimbubu);
medes ersenina (sikap solider dan toleran terhadap sesama saudara);
metami eranak beru (sabar dan menyanyangi anak beru sebagai pelaksana
dalam setiap kegiatan). Dengan demikian dalam sangkep nggeluh ini telah
terpenuhi semua bagian-bagian adat yang harus dilaksanakan dalam suatu
aktivitas hidup. Sangkep nggeluh ini sebagai pengikat antara sesama
manusia untuk saling tolong menolong dan kasih mengasihi serta mendapat
pasu-pasu (rahnat dan berkat) dari yang Mahakuasa.
Melalui sangkep nggeluh ini, Orang Karo membina relasinya dengan sesama dengan alam dan Yang Adikodrati.
5.1. Relasi dengan sesama manusia
Dalam kehidupan Orang Karo, hubungan kekerabatan menadi unsur
terpenting, yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan. Hubungan
kekerabatan ini terjadi dalam marga yang diikat oleh adat. Dasar dari
hubungan kekerabatan ini berdasarkan hubungan darah yang dihitung
menurut garis pihak laki-laki, karena Orang Karo menganut prinsip
patrilineal. Kelompok kekerabatan yang paling kecil disebut jabu
(keluarga). Istilah jabu dapat juga menunjuk kepada kelompok sada bapa
(satu ayah) yaitu kelompok kekerabatan yang terdiri atas para pria
sekandung yang telah menikah, dan kelompok sada nini (satu kakek) yang
masih dapat diketahui garis silsilahnya. Kelompok kekerabatan yang
terbesar adalah merga (marga, klen).
Asal usul merga diturunkan dari me-her-ga, artinya mempunyai
harga atau kuasa. Menurut cerita rakyat yang dikumpulkan oleh P.
Tamboen, dalam usahanya mendalami adat-istiadat Karo, meherga adalah
nama nenek moyang Orang Karo, yang dahulu mempunyai kekuasaan atas
rakyat dan keturunannya. Kekuasaannya sangat termasyur karena
kemampuannya mengatur serta mengendalikan masyarakat. Meherga mempunyai
lima orang anak laki-laki, yaitu: Karo-Karo, Tarigan, Ginting,
Sembiring dan Perangin-angin. Nama kelima orang inilah kemudian menjadi
merga (marga) dan ciri identitas yang dipakai Orang Karo turun temurun.
Kemudian kelima merga itu mempunyai cabangnya masing-masing, yakni:
Karo-Karo memiliki 18 cabang, Tarigan 13 cabang, Ginting 16 cabang,
Sembiring 18 cabang dan Perangin-angin 18 cabang. Semua adat-istiadat,
tutur (tinggi rendahnya derajat/gradus dalam tata pergaulan umum) dan
norma-norma etis masyarakat ditentukan berdasarkan kelima merga
tersebut. Atas dasar merga ini pula ditentukan hukum-hukum perkawinan.
Orang-orang dari marga yang sama tidak boleh saling mengawini .
Fungsi sosial dalam hubungan kekerabatan dikenal dengan merga
silima, rakut sitelu, tutur siwaluh, dan pervade-kadeen sisepuluh dua.
Rakut sitelu – kalimbubu-anak beru-senina – merupakan fungsi
pengelompokan aktivitas sosial, ia merupakan penjelmaan dari seluruh
kehadiran fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Dalam rakut sitelu
seluruh unsur fungsi sosial telah berkelompok, sehingga masing-masing
individu mengetahui peran, status dan kedudukannya dalam masyarakat
umum dengan jelas. Artinya, ada atau tidak ada kegiatan masing-masing
kelompok sudah mengerti akan tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Anak
beru merupakan kelompok kerja, pengatur pelaksana dan pengendali setiap
kegiatan. Senina merupakan kelompok pemilik kegiatan dan tugas mereka
melimpahkan wewenangnya kepada anak beru. Kalimbubu sebagai orang yang
dimuliakan, ia bertindak sebagai penasehat, pemberi saran, petunjuk,
bimbingan kepada anak beru dan senina. Untuk mengetahui peran, status
dan kedudukan seseorang dalam masyarakat itu dilakukan dengan ertutur
(perkenalan untuk mengetahui tinggi rendahnya derajat/gradus sesorang
dalam tata pergaulan umum). Artinya perlu diketahui bagaimana kedudukan
yang satu dengan yang lain. Apabila ia sudah mengetahui tutur mereka
antara yang satu dan yang lain, maka ia juga harus mengetahui bagaimana
sifat tutur itu dan fungsi kekeluargaannya. Dalam hal ini tutur si
waluh menyatakan fungsi sosial, dan perkade-kaden sepuluh dua
menyatakan kekeluargaan.
5.2. Relasi dengan alam
Orang Karo tradisional mempunyai kepercayaan terhadap makhluk
Pencipta yang menguasai dirinya dan mereka harus menyembah Sang
Pencipta seluruh alam semesta beserta isinya. Menurut pandangan orang
Karo mereka harus menjaga ciptaan Sang Pencipta dan tidak boleh
sembarangan disebutkan. Sebab menurut pandangan mereka, manusia
merupakan bagian dari alam; berasal dari alam dan harus kembali ke
alam.
Dalam pandangan orang Karo kejadian manusia, yang berasal dari
alam dapat diterangkan melalui sebuah mantera singkat berikut: “Asap
jadi asap, asap jadi tungga, tungga jadi antu, antu jadi bungi, bungi
jadi busi, busi jadi teras bunga, teras bunga jadi jelma”. Dari mantera
ini jelas dapat dilihat bahwa manusia itu berasal dari alam. Juga dalam
pandangan orang Karo tradisional, tempat di mana tali pusatnya jatuh
merupakan tempat kemulihenna (kembali ke asalnya) .
Dunia di mana manusia hidup dan berkehidupan merupakan
manifestasi Yang Adikodrati. Alam dengan segala yang ada di dalamnya
merupakan tanda kehadiran Yang Ilahi. Oleh karena itu orang Karo sangat
memperhatikan dan menghormati alam tempat ia berada. Mereka tidak
sembarangan memperlakukan alam ini untuk kepentingan diri sendiri.
Sebab alam ini merupakan bagian dari hidupnya. Semua kebutuhan mereka
dipenuhi oleh alam. Maka jika mereka ingin selamat, mereka harus
melestarikan alam; setiap kali memasuki hutan atau membuka lahan
pertanian yang baru, mereka terlebih dahulu mengucapkan tabas-tabas
(mantera) agar roh yang menempati dan menguasai alam itu tidak marah
dan malahan memberkatinya.
5.3. Relasi dengan Yang Adikodrati
Orang Karo mempercayai kekuatan supernatural yang menguasai alam
semesta ini. Mereka mempercayai adanya Allah yang disebut Dibata.
Dialah pencipta alam semesta beserta segala isinya. Orang Karo percaya
bahwa alam semesta ini terbagi dalam tiga bagian, yaitu banua (dunia)
atas, banua tengah dan banua bawah, dan masing-masing banua dikuasai
seorang Dibata (Allah). Penguasa banua atas adalah guru butara yang
bertugas mengatur hidup dan mati semua manusia; memberi apa yang
dibutuhkan dan yang harus dilakukan manusia serta memberi keberanian
kepada manusia. Penguasa banua tengah adalan tuan paduka ni aji yang
bertuga sebagai pemberi dan menganugerahkan anak-anak kepada manusia;
menciptakan manusia selagi dalam kandungan dan memegang pimpinan atas
manusia. Dan penguasa banua bawah adalah tuan banua koling, tugasnya
mengirim cahaya, hari, dan nasib manusia serta memberikan kesuburan
tanah.
Kepercayaan ini tumbuh dari pengalaman hidup mereka sehari-hari,
di mana dalam suka duka hidup mereka menyapa Yang Ilahi untuk mohon
perlindungan dari bahaya yang mengancam; baik dari pihak musuh, bencana
alam, penyakit, roh jahat dan dari pihak manusia yang jahat. Dengan
kata lain, mengenal Yang Numinous, Yang Gaib, Yang Transenden hanya
melalui peristiwa-peristiwa hidup dan gelala-gejala alami yang terjadi
dalam alam semesta ini. Oleh karena itu gambaran mereka tentang Allah,
Yang Adikodrati, Dibata itu sangat diwarnai oleh pikiran, suasana hati,
keinginan, dan kecenderungan mereka.
Dibata yang dikenal orang Karo itu adalah Allah Yang Mahakuasa.
Dibata itu tidak mengadakan komunikasi langsung dengan manusia, tetapi
Dia dipandang sebagai tujuan, pelindung dan penjamin ketertiban alam.
KehendakNya telah tertuang dalam adat-istiadat Karo. Dengan demikian
barang siapa mengemban dan melaksanakan adat dengan baik, berarti ia
telah melakukan pemujaan terhadap Dibata dan membina relasi yang
harmonis denganNya. Oleh karena itu semua kegiatan yang bersifat
religius dilaksanakan dalam adat.
6. Kesimpulan
Orang Karo adalah salah satu suku bangsa yang ada di Sumatera
Utara bagian Timur. Mereka mendiami daerah induk disepamjang pegunungan
Bukit Barisan yang meliputi Dataran Tingi Karo, Deli Serdang, Langkat,
Dairi, Simalungun, dan aceh Tenggara (Alas). Mereka ini memiliki
adat-istiadat, bahasa dan aksara sendiri. Istilah “karo” menurut
beberapa sumber yang dihimpun oleh para ahli berasal dari kata ha-roh
(ha=pertama, roh=datang), Qarau (bhs. Arab: telah diajari membaca dan
sembahyang), ke’ra (tanah tinggi yang keras), aru atao haru (nama
sebuah tempat, pulau), dan kar’o (dunia bulat). Kemudian kata-kata
tersebut berubah menadi hanya kata “Karo”.
Asal usul nenek moyang orang Karo menurut ipotesa para ahli
berasal dari Hindia Belakang yang bermigrasi ke arah Selatan sekitar
abad VIII SM. Pada umumnya daerah yang didiami orang karo merupakan
daerah subur. Oleh karena itu mata pencaharian mereka yang utama adalah
bertani. Orang Karo memiliki peradaban yang cukup tinggi. Wujud dan
bentuk kebudayaan Karo mempunyai bentuk dan nilai tersendiri, yang
memberikan corak dan karakteristik tertentu, baik dalam tingkah laku,
pola hidup, sistem pergaulan, dan kebiasaan-kebiasaan yang menunjukkan
mereka sebagai suku yang senantiasa bereksistensi.
Situasi dan keadaan alam dengan segala tantangannya turut
mempengaruhi alam pikiran, pandangan hidup, dan hubungan-hubungan
antara orang Karo itu sendiri, yang terwujud dalam adat. Adat merupakan
pedoman hidup mereka yang utama. Dalam adat terkandung prinsip-prinsip
hidup yang mengatur hubungan-hubungan mereka antara yang satu dengan
yang lain agar dapat hidup selaras dengan sesama, alam dan Yang
Adikodrati. Sifat dan kepribadian orang Karo nampak dalam perwatakannya
yang jujur, tegas dan berani, percaya diri, pemalu, tidak serakah dan
tahu hak dan kewajibannya, mudah tersinggung dan dendam, berpendirian
teguh, rasional dan kritis serta gigih mencari ilmu. Sifat dan
kepribadian seperti ini membuat mereka berpikir secara realistis dan
pragmatis.
Dalam falsafah hidup orang Karo, semua orang ikut ambil bagian
dalam melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsi dan kedudukannya dalam
rakut sitelu (kalimbubu. Anak beru, senina). Agar dapat melaksanakan
tuganya masing-masing dengan baik, mereka harus berpedoman pada
kiniteken, kehamaten, megenggeng, metenget, dan tek man Dibata sebagai
pegangan dalam hidup. Dasar dari semua ini adalah sangkep nggeluh
sebagai idealitas identitas orang Karo yang mengikat dan menunjukkan
mereka dalam hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang divina dalam
adat-istiadat sedemikian rupa sehingga menadi suatu ikatan yang utuh
menyeluruh untuk mempersatukan mereka antara yang satu dan yang lain
melalui merga si lima, rakut sitelu, tutur siwaluh dan pervade-kaden
sepuluhdua.
Dengan demikian, mereka dapat hidup damai dan aman di dalam alam
semesta ini, yang merupakan anugerah Sang Pencipta bagi mereka. Alam
merupakan manifestasi dan tanda kehadiran Yang Adikodrati di antara
manusia, dan kehidupan mereka tergantung dari alam. Manusia berasal
dari alam dan kembali ke alam. Oleh karena itu mereka sangat
menghormati dan memelihara alam ini. Mereka menjaga kelestariannya dan
mengolahnya tanpa merusaknya, tetapi menyesuaikan diri dengan alam,
agar terjadi keselarasan antara manusia dan alamnya.
Dengan demikian, orang Karo percaya terhadap adanya Dibata Yang
Mahakuasa pencipta langit dan bumi dan segala isinya. Kekuasaan Dibata
itu begitu besar dan dahsyat, sehingga manusia tidak mungkin
berhubungan langsung denganNya. Tetapi diyakini bahwa Dibata itu
melindungi dan menjamin keselamatan manusia, dan kehendaknya tertuang
dalam adat-istiadat. Oleh karena itu barang siapa yang mengemban dan
melaksanakan adat itu dengan baik, ia telah melakukan pemujaan dan
berhubunngan secara harmonis dengan Sang Penciptanya.
sumber : http://rolsan.blog.friendster.com
Budaya Karoshi, Budaya Karo - sejarah marga-marga, Budaya Karo ibas terang kata dibata, Budaya Karo kerja tahun, Budaya Karo pdf, budaya batak karo, sejarah Budaya Karo, seni Budaya Karo, budaya adat karo, budaya tanah karo, artikel Budaya Karo, budaya suku batak karo, lagu budaya batak Karo mp3 download, budaya adat batak karo, sejarah budaya batak karo, seni budaya batak karo, Perkembangan budaya batak karo, makalah budaya batak karo, unsur budaya batak karo, cerita Budaya Karo, contoh Budaya Karo, budaya daerah karo, filsafat Budaya Karo, jenis Budaya Karo, budaya kabupaten karo, budaya khas karo, budaya kalak karo, sosial budaya kabupaten karo, kesenian budaya karo, gambaran sosial budaya kabupaten karo, keragaman budaya karo, lagu budaya karo, mengenal budaya karo, makalah Budaya Karo, budaya orang karo, pengertian Budaya Karo, pantun Budaya Karo, radio Budaya Karo, pesta Budaya Karo, acara Budaya Karo, musik Budaya Karo, situs Budaya Karo, situs Budaya Karo, website Budaya Karo, tarian Budaya Karo, tenah Budaya Karo, tentang budaya karo.
mp3 lagu karo, lirik lagu karo, lagu karo mp3, lagu perjabun, lagu pengantin mp3, lagu pengantin teks, lirik lagu pengantin karo, download lagu karo, festival lagu karo, teks lagu karo, lagu pengantin karo, lagu pengantin karo mp3, gratis dowload lagu karo,
Masyarakat karo tempo dulu, Masyarakat karo terobos mendagri, Masyarakat karo demo bupati, himpunan Masyarakat karo indonesia, tokoh Masyarakat karo, demo Masyarakat karo, sejarah Masyarakat karo, tradisi Masyarakat karo, cerita masyarakat karo, legenda Masyarakat karo, masyarakat adat karo, agama Masyarakat karo, himpunan Masyarakat karo, karakteristik Masyarakat karo, kepercayaan Masyarakat karo, karakter Masyarakat karo, kekerabatan Masyarakat karo, asal usul Masyarakat karo, latar belakang Masyarakat karo, sistem kekerabatan Masyarakat karo, organisasi Masyarakat karo, masyarakat tanah karo.
2 komentar:
mathab kali pun.....
Bujur man kam man penulis,mbera arah cerita enda erguna man banta merga silima janah arah cerita enda pe sikeleng-kelengen ras sisampat-sampaten kita kerina ija pe kita kerina ringan mbelang-mbelang doni enda.bujur ras mejuah-juah kita kerina
Posting Komentar