Ada beberapa sistem pernikahan yang ada di Indonesia
:
a. System
endogami.
Pada sistem ini seorang hanya
diperbolehkan menikah dalam keluarganya sendiri. Contoh perkawinan seperti
ini menurut Van Vollenhoven hanya
terdapat di Toraja( Surojo Wingnjodipuro, 1973:152)
b. Sistem
eksogami.
Pada sistem ini seorang diharuskan
menikah dengan orang diluar merganya
(klannya) atau keluarganya. Perkawinan demikian terdapat di daerah-daerah Gayo,
Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru, Seram ( Surojo
Wingnyopuro, 1973, 153).
c. Sistem
Eleutherogami
Pada sistem ini tidak dikenal
larangan atau keharusan menikah pada kelompok tertentu. Larangan-larangan yang
ada hanyalah yang bertalian dengan ikatan darah atau kekeluargaan (keturunan)
yang dekat. Sistem pernikahan ini terdapat di Aceh, Sumatera Timur,
Bangka-Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat,
Timor, Lombok, dan seluruh jawa, Madura.
a. Sistem
perkawinan pada merga Ginting,
Karo-karo, dan tarigan.
Pada merga-merga ini berlaku
perkawinan eksogami murni, yaitu mereka yang berasal dari submarga Ginting,
Karo-karo, danTarigan di larang menikah didalam merga-merganya sendiri, tetapi
mereka di haruskan menikah dengan orang diluar merganya. Misalnya antara
Ginting Karo-karo atau tarigan dan lain-lainnya.
b. Sistem
perkawinan pada merga perangin-angin dan sembiring
Sistem perkawinan yang berlaku pada
kedua merga ini adalah eleutherogami terbatas. Letak keterbatasannya adalah
seseorang dari merga tertentu perangin angin atau sembiring di perbolehkan
menikah dengan orang tertentu dari merga yang sama asala submerganya (lineage)
berbeda. Misalnya dalam perangin angin, antara bangun dan sebayang atau antara
kuta buluh dan sebayang. Demikian juga dengan merga sembiring, antara brahmana
dan meliala, antara pelawi dan depari, dan sebagainya.
Larangan perkawinan dengan orang
dari luar merga-nya tidak dikenal, kecuali antara sebayang dan sitepu atau
antara sinulingga dan Tekang yang di sebut sejanji atau berdasarkan perjanjian.
Karena pada tempo dulu mereka telah mengadakan perjanjian tidak saling
berkawin. Dengan adanya eleutherogami terbatas ini menunjukkan bahwa merga
bukan sebagai hubungan genealogis dan asal usul merga tidak sama.
Syarat-syarat
perkawinan pada masyarakat karo.
Untuk dapat melangsungkan suatu perkawinan, maka
para pihak harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
- Tidak
berasal dari satu merga, kecuali untuk merga Perangin-angin dan Sembiring.
- Bukan
mereka yang menurut adat dilarang untukberkawin karena erturang ( bersaudara),
sepemeren, erturang impal.
- Sudah
dewasa, dalam hal ini untuk mengukur kedewasaan seseorang tidak dikenal batas
usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada kemampuan seseorang untuk bertanggung
jawab memenuhi kebetuhan keluarga. Untuk laki-laki, hal ini di ukur dengan
sudah mampu membuat peralatan rumah tangga, peralatan bertani, dan sudah
mengetahui adat berkeluarga ( meteh mehuli). Sedangkan untuk perempuan hal ini
di ukur dengan telah akil balik, telah mengetahui adat ( meteh tutur), dan
sebagainya.
- Sedang UU no.1/1974 tentang
perkawinan menentukan seorang perempuan boleh menikah apabila telah berusia 16
tahun dan laki-laki berumur 19 tahun.
Perkawinan pada masyarakat karo berfungsi untuk :
- a. Melanjutkan
hubungan kekeluargaan
- b. Menjalin
hubungan kekeluargaan apabila sebelumnya belum ada kekeluargaaan.
- c. Melanjutkan
keturunan dengan lahirnya anak-anak laki-laki dan perempuan.
- d. Menjaga
kemurnian suatu keturunan
- e. Menghindarkan
berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain.
- f. Mempertahankan
atau memperluas hubungan kekeluargaan.
Jenis-jenis perkawinan
Berdasarkan jumlah istri dikenal perkawinan monogamy
dan poligami. Perkawinan poligami biasanya terjadi karena :
- Tidak
mendapatkan keturuna
- Tidak
memperoleh keturunan laki-laki
- Saling
mencintai
- Tidak
adanya persesuaian dengan istri pertama
- Meneruskan
hubungan kekeluargaan
Berdasarkan proses terjadinya,
perkawinan dapat dibagi atas perkawinan senang sama senang ( karena percintaan) dan perkawinan atas
prakarsa (peranan orang tua) yang biasanya terjadi karena mempertahankan
hubungan kekelurgaan atau karena pihak perempuan telah hamil.
Berdasarkan status dari pihak yang
berkawin maka perkawinan pada masyarakat pada masyarakat karo di bagi yaitu:
1. Ganci
abu ( ganti tikar)
Ganci
abu yaitu bila seorang perempuan menikah dengan seroang laki-laki menggantikan
kedudukan saudaranya yang telah meninggal sebagai istri. Hal ini biasanya
terjadi untuk meneruskan hubungan kekeluargaan, melindungi kepentingan anak
yang telah dilahirkan pada perkawinan pertama dan untuk menjaga keutuhan harta
dari perkawinan pertama.
2. Lako
man ( turun ranjang)
Lako
man yaitu bila seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang awalnya
adalah istri saudaranya atau bapaknya yang terlah meninggal dunia.
Adapun
jenis-jenis “lako man” adalah:
a. Perkawinan
mindo nakan
Adalah
suatu perkawinan antara seorang laki-laki dengan seroang perempuan bekas istri
saudara ayahnya.
b. Perkawinan
mindo cina
Adalah
suatu perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan yang menurut
tutur adalah neneknya
c. Kawin
mindo ciken
Adalah
perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan bekas istri
ayah/saudaranya, yang telah diperjanjikan terlebih dahulu. Hal ini terjadi pada
zaman dahulu, dikarenakan seorang perempuan yang masih sangat muda dikawinkan
dengan seorang laki-laki yang sudah tua; lalu di perjanjikan sebelumnya bahwa
salah seorang dari putra/saudaranya sebagai ciken (tongkat) apabila suaminya
kelak meninggal dunia. Alasan adanya perkawinan ini untuk kepentingan keluarga.
d. Iyan
Pada
zaman dahulu bila seseorang mempunyai dua orang istri atau salah seorang
diantaranya tidak/belum mempunyai putra (keturunan), di lain pihak salah
seorang saudara suami itu belum mempunyai istri, lalu istri yang tidak berputra
itu dialihkan/disahkan menjadi istrinya dengan harapan :
-
Tetap terpeliharanya hubungan
kekeluargaan dengan pihak wanita.
-
Adanya harapan dengan suami baru itu, ia
akan memperoleh keturunan.
Contohnya
Liat dalam Pustaka Kembaren dan cerita antara Pincawan dan Lambing (Sebayang).
Inilah yang terjadi pada Sebayang dengan Pincawan dan Kembaren ( Sijagat)
dengan Kembaren Perti.
e. Ngalih
Adalah
lako man kepada isteri abang ( Kaka)
f. Ngianken
Adalah
lako man kepada isteri adik ( agi)
3. Piher
Tendi/ erbengkila Bana
Adalah
perkawinan antara orang yang menurut tutur siwanita memanggil bengkila kepada
suaminya. Didaerah karo langkat ini di sebut perkawinan piher tendi.
Berdasarkan
kesungguhan perkawinan, dikenal perkawinan sesungguhnya dan kawin
gantung/simbolis (cabur bulung), yaitu suatu perkawinan antara dua orang yang
belum cukup umur (anak-anak) yang hanya bersifat simbolis saja. Dengan alas an
untuk menghindarkan malapetaka bagi salah satu pihak, yang diketahui dari
suratan tangan, mimpi atau petunjuk dari dukun. Atau karena seorang diantaranya
sakit.
Proses
perkawinan seperti ini sama seperti perkawinan biasa, akibatnya apabila salah
seorang pada kemudian hari ingin kawin dengan orang lain, mengharuskan nya
untuk:
a. Memberitahukan
kepada pihak lainnya.
b. Kalau
pihak perempuan ingkar, maka ia harus mengembalikan uang jujuran tempo dulu.
c. Kalo
pihak pria yang ingkar, maka ia kehilangan uang jujuran yang telah
diserahkannya tempo dulu.
Pelaksanaan perkawinan
gantung ada kalanya juga didasari keinginan kedua belah pihak keluarga, agar
setelah mereka besar/dewasa benar benar menjadi suami istri.
Berdasarkan kedudukan
yang kawin terhadap saudaranya sendiri yang belum/sudah kawin, maka di kenal
perkawinan biasa yaitu bila yang kawin itu tidak mendahului kakak-kakaknya
untuk berkawin dan perkawinan nuranjang (ngelangkah), yaitu bila
seorang/kedua-duanya yang kawin mendahului kakaknya untuk kawin. Dalam hal
demikian, untuk menjaga agar yang diilangkahi kawin, jiwa (tendi)nya tidak
merasa terganggu, maka bagi adik yang mendahuluinya kawin diwajibkan oelh adat
untuk membayar utang (nabei) sebagai mohon doa restu.
Berdasarkan jauh dekat nya
hubungan kekeluargaan dari yang berkawin, maka di kenal 4 jenis perkawinan
yakni :
a. Pertuturken
Perkawinan
pertuturken yaitu suatu perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan; dimana mereka bukan rimpal (ayah siperempuan
bersaudara dengan ibu si pria). Perkawinan demikian dibolehkan oleh adat asal
tidak ada larangan seperti : erturang (
satu merga) untuk ginting, karo-karo, dan tarigan kecuali peranginangin dan
Sembiring, erturang impal, erturang sepemereen atau adanya larangan lain
seperti antara sitepu sebayang ( karena janji zaman dahulu)
Kiranya
perlu dicatat bahwa didalam merga peranginangin dan sembiring terjadi
perkawinan di dalam satu merga. Contohnya antara: Sebayang Kuta
Buluh/Sukatendel, antara bangun sebayang
dan sebagainya.
Menurut
cerita dibolehkan sebayang mengawini beru Kuta Buluh karena ditemukannya subang
beru Kuta Buluh yang hilang sewaktu ditempa ( wawancara dengan Gettum).
Akan
tetapi, bagaimana peranginangin Kuta buluh diperbolehkan mengawini beru
sebayang di Gunung atau antara Bangun dan Sebayang tidak ada cerita yang
memberi keterangan.
Hal
ini menurut hemat penulis dibenarkan karena memang submerga itu tidak berasal
dari satu keturunan darah atau karena kesulitan wanita pada waktu itu. Demikian
juga halnya pada merga sembiring simantangken biang ( yang tidak makan daging
anjing) mereka boleh berkawin sesamanya. Mengenai hal ini diceritakan karena
dahulu mereka membakar mayat (pekawaluh) yang membutuhkan biaya yang sangat
mahal. Akibatnya sehabis acara tersebut sering sekali mereka jatuh miskin. Oleh
karena itu gadis-gadis luar dari merga sembiring tidak mau kawin dengan mereka
( JH.Neumann 1972:27).
Cerita
kedua mengatakan pada zaman dahulu mereka adalah orang kaya-raya. Mereka takut
kalau kawin dengan orang diluar merga-nya. Akhirnya untuk menghindarkan itu
mereka membolehkan perkawinan sesame mereka sendiri didalam merganya (wawancara
dengan Ngatas Milala)
Menurut
cerita merga sembiring siman biang (sembiring yang makan daging anjing) seperti
keloko, kembaren, dan sinulaki tidak mau kawin di dalam merga sembiring. Akan tetapi didalam praktik seperti terjadi
di Limang, Sampe raya , atau di karo jahe, Merga kembaren/Keloko boleh
mengawini beru Brahmana.juga perkawinan antara sembiring Pelawi dengan beru
sembiring keloko (kembaren) di perbolehkan.
Jadi
kesimpulan bahwa sembiring siman biang tidak kawin dengan sembiring lainnya
ternyata tidak benar. Masalahnya sekarang bagaimana menjelaskan ketidaksesuaian
antara cerita dengan praktek ini? Ini menjadi bahan pemikiran.
Penulis
lebih menyetujui pendapat bahwa merga sembiring ini bukan berdasarkan hubungan
geneakologis, tetapi bersifat territorial. Oleh karena itu mereka boleh
berkawin di dalam merga-nya sendiri seperti pada merga peranginangin. Pada zaman dahulu memang setiap orang selalu
mendekatkan hubungan kekeluargaan dengan yang lainnya, karena itu ada cerita
yang mengatakan suku karo itu berasal dari putra-putra kakek/nenek yang bernama
Karo. Cerita demikian kalau kita teliti asal-usul masing-masing merga apalagi
submerge-nya, maka kita tidak dapat menerimanya.
b. Erdemu
Bayu
Perkawinan
erdemu bayu adalah perkawinan antara seorang laki-laki seorang perempuan dimana
ayah siperempuan bersaudara dengan ibu silaki-laki. Hubungan antara mereka yang
kawin dalam hal ini disebut rimpal. Atau siperempuan di sebut beru puhun atau
beru singumban dari silaki-laki dan perkawinan yang demikianlah yang diharapkan
oleh adat orang karo.
c. Merkat
senuan
Perkawinan
merka senuan adalah suatu perkawinan yang dilangsungkan antara seorang
laki-laki seroang dara, putri puang kalimbubunya. Perkawinan ini biasanya
sangat dihindarkan dan umumnya hanya terjadi dalam hal-hal tertentu saja seperti :
1) Kalimbubu
(putranya) tidak mengawini putrid dari puang kalimbubu itu.
2) Kalimbubu
tidak mempunyai istri untuk dikawini, maka untuk menghindarkan putusnya
hubungan kekeluargaan diadakanlah perkawinan merkat senuan.
3) Kalimbubu
tidak memiliki putra untuk mengawini putrid kalimbubunya atau puang kalimbubu
dari silaki-laki yang mengawini dara itu.
d. La
Arus
Adalah
perkawinan antara laki-laki dan perempuan menurut adat terlarang seperti
mengawini turang, turang impal atau putri anak beru. Untuk terlaksananya
perkawinan itu harus ada sanksi adat, seperti terjadi pada rumah empat tunduk
di Kuta Buluh. Dimana ia mengawini beru kembaren dari paya enggugung dan karenanya
tidak boleh menjadi sebayak di Kuta Buluh. Sebelum Runggu maba belo selembar
dimulai, terlebihdahulu diadakan acara nabei ngobah tutur (wawancara dengan
Jakup Sebayang dan Peringaten Peranginangin).
SUMBER :
Darwin Prinst, SH. Adat Karo, Bina Media Perintis, 2008
Budaya Karoshi, Budaya Karo - sejarah marga-marga, Budaya Karo ibas terang kata dibata, Budaya Karo kerja tahun, Budaya Karo pdf, budaya batak karo, sejarah Budaya Karo, seni Budaya Karo, budaya adat karo, budaya tanah karo, artikel Budaya Karo, budaya suku batak karo, lagu budaya batak Karo mp3 download, budaya adat batak karo, sejarah budaya batak karo, seni budaya batak karo, Perkembangan budaya batak karo, makalah budaya batak karo, unsur budaya batak karo, cerita Budaya Karo, contoh Budaya Karo, budaya daerah karo, filsafat Budaya Karo, jenis Budaya Karo, budaya kabupaten karo, budaya khas karo, budaya kalak karo, sosial budaya kabupaten karo, kesenian budaya karo, gambaran sosial budaya kabupaten karo, keragaman budaya karo, lagu budaya karo, mengenal budaya karo, makalah Budaya Karo, budaya orang karo, pengertian Budaya Karo, pantun Budaya Karo, radio Budaya Karo, pesta Budaya Karo, acara Budaya Karo, musik Budaya Karo, situs Budaya Karo, situs Budaya Karo, website Budaya Karo, tarian Budaya Karo, tenah Budaya Karo, tentang budaya karo.
mp3 lagu karo, lirik lagu karo, lagu karo mp3, lagu perjabun, lagu pengantin mp3, lagu pengantin teks, lirik lagu pengantin karo, download lagu karo, festival lagu karo, teks lagu karo, lagu pengantin karo, lagu pengantin karo mp3, gratis dowload lagu karo,
Masyarakat karo tempo dulu, Masyarakat karo terobos mendagri, Masyarakat karo demo bupati, himpunan Masyarakat karo indonesia, tokoh Masyarakat karo, demo Masyarakat karo, sejarah Masyarakat karo, tradisi Masyarakat karo, cerita masyarakat karo, legenda Masyarakat karo, masyarakat adat karo, agama Masyarakat karo, himpunan Masyarakat karo, karakteristik Masyarakat karo, kepercayaan Masyarakat karo, karakter Masyarakat karo, kekerabatan Masyarakat karo, asal usul Masyarakat karo, latar belakang Masyarakat karo, sistem kekerabatan Masyarakat karo, organisasi Masyarakat karo, masyarakat tanah karo.