Rumah Adat Siwaluh Jabu : Makna dan Fungsinya Bagi Masyarakat Karo, di Desa Lingga, Kab. Karo
Rumah Adat Siwaluh Jabu : Makna dan Fungsinya Bagi Masyarakat Karo, di Desa Lingga, Kab. Karo
Jika kita melihat judul yang tertera diatas, makaakan terlintas di dalam benak kita akan sebuat tempat tinggal yang mempunyai bentuk khas yang berasal dari Tanah Karo. Rumah adat Siwaluh Jabu, memang merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat karo untuk rumah adat mereka tersebut. Rumah adat siwaluh jabu jika diartikan ke dalam bahasa indonesia mempunyai arti rumah yang dihuni oleh delapan keluarga, dimana kedelapan keluarga yang menghuni rumah tersebut umumnya masih memiliki pertalian darah atau hubungan kekeluargaan yang sangat dekat.
Di dalam rumah tersebut, tata letak tempat tinggal kedelapan keluarga tersebut diatur menurut aturan adat yang masih melekat pada masyarakat karo. Penataan letak tempat tinggal masing-masing keluarga diatur sesuai dengan klafikasi (kelas-kelas) sosial yang pada orang karo masih berlaku sampai sekarang yaitu anak beru, kalimbubu, sembuyak dan senina. Untuk hal ini akan di bahas secara mendetail di dalam tulisan ini.
Rumah adat Siwaluh Jabu ini masih dapat kita jumpai di tanah Karo, tepat nya di desa lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. di desa ini masih dapat kita temukan beberapa rumah adat yang sudah berumur ratusan tahun akan tetapi masih berdiri dengan kokoh.
Desa lingga merupakan desa yang terletak sekitar 4,5 km dari kota Kabanjahe. Desa tersebut berada pada ketinggian 1300 m dari permukaan laut dengan luat 2624 Ha. Desa lingga berbatasan dengan desa Surbakti di sebelah utara, Desa Kacaribu di sebelah Selatan, Desa kaban di sebelah Timur dan Desa Nang Belawan di sebelah barat. Pola pemukiman masyarakat di desa tersebut adalah pola menyebar mengikuti jalan raya. Penduduk desa lingga sekitar 2.945 jiwa yang terdiri dari 793 kepala keluarga.
Di desa tersebut sebagian besar penduduknya memeluk agama kristen Protestan dan sebagian lagi memeluk agama islam, akan tetapi masih terdapat beberapa warga yang memeluk suatu aliran kepercayaan yang dalam bahasa karo di sebut dengan istilah pemena atau parbegu.
Sejarah terbentuknya Rumah Adat
Pada awalnya masyarakat yang tinggal di Tanah Karo biasanya mendirikan rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggal masing-masing rumah tangga. Bentuk rumah tersebut sangat sederhana seperti pondok (gubuk) yang dalam bahasa karo di sebut barung atau sapo. Bahan yang digunakan untuk mendirikan barung ini adalah bahan-bahan lainnya yang masih sangat mudah di temukan di hutan. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya penduduk dan mulai hadirnya para pendatang, secara langsung berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah barung-barung yang ada. Dari situasi seperti itu kemudian muncul ide untuk mendirikan rumah yang lebih besar dan lebih tahan lama untuk mereka tempati bersama. Mereka berpendapat bahwa dengan mendirikan rumah yang lebih kokoh dan tahan lama tersebut maka keamanan mereka akan lebih terjamin. Untuk lebih melihat tentang apa-apa saja hal yang berhubungan seputar rumah adat siwaluh jabu, kita dapat membacanya pada hasil penelitian di bawah ini.
Uraian Hasil Penelitian
A. Sejarah terbentuknya Rumah Adat
Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di suatu daerah di wilayah Tanah karo mendirikan rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggalnya (satu keluarga). Bentuk rumah tersebut masih sangat sederhana seperti pondok (gubuk) dalam bahasa Kari dinamakan barung atau sapo, bahan-bahan yang digunakan mudah diambil di hutan sekitar tempat tinggal penduduk. karena bertambahnya penduduk dan karena adanya pendatang baru dan bertambahnya keturunan, barung-barung atau sapo-sapo tersebut juga bertambah semakin banyak dan kemudian menjadi kelompok perumahan yang besar.
Seiring dengan pertambahan jumlah tersebut, kemudian timbullah ide atau gagasan dari penduduk untuk mendirikan rumah besar yang lebih kuat dan lebih tahan lama. Dengan mendirikan rumah tersebut mereka merasa keamanan lebih terjamin baik dari gangguan dari binatang buas maupun gangguan atau serangan pendatang yang berniat jahat.
Berkat kerja sama, kegigihan dan keseriusan mereka, maka akhirnya rumah besar tersebut berhasil dibangun dengan bentuk dan konstruksi yang spesifik. Bentuknya dibuat empat persegi panjang, atapnya tinggi dan di dalamnya terdiri dari beberapa jenis "jabu". Tiangnya dari kayu bulat yang sangat besar dan diambil dari hutan, dinding dari belahan kayu diikat dengan tali "ret-ret", atapnya dari ijuk dan diatas ujung atap dipasang tanduk. Bagian depat rumah dibuat beranda yang disebut "ture". Semua bahan untuk mebuat rumah besar tersebut diambil di hutan. Rumah besar yang berhasil didirikan itu di sebut rumah adat karo (Siwaluh Jabu).
B. Cara Mendirikan Rumah Adat Karo
Rumah adat karo terkenal dengan keindahannya, apalagi rumah tersebut dibuat oleh tukang yang ahli. Mendirikan rumah adat karo dianggap pekerjaan yang sangat besar dan sangat berat. Karena untuk menyelesaikan satu rumah memakan waktu yang cukup lama sekitar 1 tahun. Oleh karena itu cara mendirikannya secara bertahap dan selalu diikuti oleh tenaga gotong royong masyarakat.
Modal utama keberhasilan dalam mendirikan rumah adat tersebut ialah kebersamaan pemilik dan gotong-royong. Kegiatan gotong-royong tersebut dikaitkan dengan sistem kekeluargaan. Unsur penggerak ialah sangkep sitelu dan unsur pembantu ialah masyarakat yang tinggal di kampung tersebut. Upaya mendirikan rumah adat juga dianggap sebagai salah satu kegiatan untuk memenuhi ketentuan adat. Unsur adat itu sendiri dipengaruhi oleh unsur kepercayaan. maka tidak mengherankan bila dalam kegiatan mendirikan rumah adat tidak pernah terlepas dari unsur kepercayaan masyarakat. Cara mendirikan rumah adat tersebut meliputi beberapa tahap di antaranya adalah sebagai berikut :
B.1. Padi-padiken Tapak Rumah
Awalnya beberapa keluarga yang hendak mendirikan rumah adat, mencari dan menentukan lokasi tapak rumah yang bakal dibangun. Setelah pertapakan itu diperoleh dan dianggap baik letaknya, barulah diadakan satu acara yang nama acara tersebut ialah "padi-padiken tapak rumah". Adapun tujuan dari acara ini adalah untuk mengetahui apakah tapak itu membawa berkah, serasi, dantidak menimbulkan malapetaka dikemudian hari bagi para penghuninya.
Untuk mengetahui apakah tapak itu baik biasanya dipanggil dukun, bila dukun mengatakan tapak itu baik maka dimulailah proses awal pembangunan rumah. Namun, jika dukun tersebut mengatakan tanah pertapakan itu tidak baik, maka keluarga yang hendak membangun rumah adat tadi akan mencari pertapakan yang baru.
B.2. Ngempak
Setelah mendapat pertapakan yang baik, selanjutnya keluarga-keluarga yang hendak mendirikan rumah tersebut mencari dan menetapkan satu hari yang baik melalui seorang dukun, untuk pergi ke hutan mengambil bahan kayu yang akan digunakan untuk membangun rumah adat tersebut.
dalam penebangan tersebut dukun pun sangat berperan kerena disini dukun berperan untuk menentukan kayu yang baik untuk ditebang, disamping itu penebangan pertama biasanya dilakukan oleh dukun. Jika dukun tersebut mengatakan bahwa kayu tersebut baik untuk digunakan, maka penebangan selanjutnya dapat diteruskan oleh orang lain tanpa melalui upacara-upacara lagi,
B.3. Ngerintak Kayu
Setelah kayu yang diperlukan itu telah selesai ditebang tetapi masih berada di hutan, maka kemudian pihak pendiri rumah membagi-bagikan sirih kepada warga kampung sebagai lambang undangan minta bantuan menarik kayu dari hutan.
Demikianlah pekerjaan tersebut dilakukan secara gotong royong oleh penduduk secara bertahap sampai semuanya selesai dan dikumpulkan pada tempat yang telah ditentukan. Karena kayu yang ditarik tersebut sangat besar dan sangat berat, dan melalui jalan yang sangat curam dan mendaki maka penarikan kayu tersebut harus dibarengi dengan semangat yang tinggi dan mempersatukan tenaga. Agar tenaga menjadi satukekuatannya maka dibuatlah nyanyian yang berbunyi " Olee,, kata la lompat, ola kita kisat-kisat ari aron, mela la seh i rumah nake, ula kari kita sipudina o aron, lompat-lompat si sayak katak.." yang menyanyikan lagu ini harus gadis. Makna dari nyanyian tersebut adalah pemberi semangat kepada para pekerja yang menarik kayu sampai ke tempat membangun rumah.
Setelah pekerjaan menarik kayu selesai, biasanya diadakan jamuan makan bersama yang dihadiri oleh para penarik kayu dan tukang ahli yang mengerjakan rumah tersebut. Adapun biaya jamuan makan ini ditanggung bersama oleh keluarga yang hendak mendirikan rumah tersebut.
B.4. Pebelit-belitken
Sebelum tukang memulai pekerjaannya, biasanya terlebih dahulu diadakan suatu acara yang dinamakan pebelit-belitkan yang dihadiri oleh keluarga-keluarga yang hendak mendirikan rumah, anak beru, senina, dan kalimbubu (sangkep sitelu) dan tidak tertinggal tukang yang akan mengerjakan rumah tersebut.
Pada acara ini yang dibicarakan ialah mengenai upah tukang ahli, kapan rumah itu mulai dikerjakan, perkiraan kapan selesai dan apa saja yang menjadi tanggung jawab pihak keluarga yang mendirikan rumah di luar penyediaan bahan. dengan kata lain acara ini bertujuan untuk mengikat suatu perjanjian antara keluarga pendiri rumah dengan tukang ahli dengan disaksikan oleh sangkep nggeluh dan sangkep sitelu.
B.5 Mahat
Beberapa hari setelah acara pebelit-belitken, tukang ahli telah dapat melakukan tugasnya. Bahan-bahan kayu yang telah tersedia mulai diukur dan dikupas dengan 'beliung" semacam kapak. Kemudian pekerjaan berikutnya diteruskan dengan pekerjaan "mahat" atau membuat lubang. Sewaktu mahat masing-masing pemilik rumah mengambil tenaga lima orang pembantu dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula tukang ahli memberikan petunjuk, kemudian pemahatan yang pertama dilakukan oleh dukun dan untuk selanjutnya diserahkan kepada semua pekerja.
B.6. Ngampeken Tekang
Setelah tiang besar didirikan di atas batu pondasi, demikian juga peralatan kayu besar di bagian bawah, maka pekerjaan tukang ahli dianggap telah selesai setengah. Dengan demikian pekerjaan dapat dilanjutkan dengan "ngampeken tekang". Ngampeken tekang artinya mengangkat dan menaikkan belahan balok panjang berfungsi menahan dan sebagai tempat tutup tiang sebelah atas yang letaknya dibuat memanjang. Pekerjaan itupun harus disertai tenaga gotong royong oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah itu.
B. 7. Ngampeken Ayo
Setiap rumah adat yang akan dibangun harus memiliki 'ayo". yang dimaksud dengan ayo adalah bagian depan dari atap rumah tersebut yang terbuat dari anyaman bambu diberi corak dengan cat buatan sendiri berbentuk segi tiga. Bayu-bayu atau anyaman bambu dijepit dengan kayu di sebelah pinggirnya dan dikerjakan sebelum diangkat dan dipasangkan. setelah ayo rumah itu selesai dikerjakan, kemudian dengan dibantu beberapa orang pekerja ayo tersebut diangkat dan dipasangkan dengan cara mengikatnya sesuai dengan petunjuk tukang.
B.8. Memasang tanduk
Wlaupun semua bagian-bagian rumah tersebut telah selesai dipasang atau dikerjakan, namun jika tanduknya belum dipasangkan maka rumah tersebut belum boleh dianggap selesai secara sempurna. Oleh karena itu pemasangan tanduk pada rumah tersebut menjadi suatu keseharusan dan tidak dapat diabaikan begitu aja.
Adapun tanduk itu terdiri dari sepasang tanduk kerbau yang letaknya dipasang dipuncak atap. pemasangannya harus malam hari sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Dasar dari tempat melekatnya tanduk itu terbuat dari tali ijuk dilapisi dengan semacam perekat dan di warna dengan cat putih. Saat peletakan tanduk kebau, biasanya sang tukang mengatakan " adi muas kam, minemken ku lawit simbelang, adi melihe kam nggagat kam ku deleng simeratah". artinya " bila kau haus minumlah ke laut yang luas, bila kau lapar makanlah di gunung yang hijau" dengan mengucapkan ini maka diyakini bahwa keluarga yang tinggal nantinya di rumah ini tidak akan mendapatkan musibah.
C. Susunan Jabu dalam Rumah adat Karo
Pada dasarnya rumah adat karo terdiri dari delapan jabu atau terdiri dari delapan kelamin. Susunan jabu tersebut diatur sesuai dengan kedudukan dan fungsi keluarga yang tinggal di rumah itu. Jabu sebagai tempat tinggal satu keluarga dan setiap jabu di huni oleh satu keluarga masih memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Adapun susunan jabu dalam rumah adat karo adalah sebagai berikut :
C.1. Bena Kayu
Sebagai tempat kedudukan bangsa tanah, derajatnya sebagai pemimpin sekaligus anggota jabu-jabu di dalam rumah itu. Berfungsi memberi keputusan atas segala permasalahan yang timbul di tengah-tengah rumah tersebut.
C.2. Ujung Kayu
Sebagai tempat kedudukan anak beru jabu bena kayu. Penghuni jabu ini bertindak mewakili jabu bena kayu untuk menyampaikan perintah-perintah jabu bena kayu yang menyangkut kepentingan anggota rumah tersebut. Dengan kata lain orang yang mendiami tempat ini dapat dikatakan pembantu utama jabe bena kayu.
C.3. Lepar Bena Kayu
Tempat kedudukan pihak atau senina jabu bena kayu. Fungsi jabu ini di sebut juga jabu "sungkun berita", yang adapun tugasnya adalah meneliti dan menyampaikan berita yang diperoleh dari luar.
C.4. Lepar ujung kayu
Tempat kedudukan pihak kalimbubu dari jabu bena kayu. menurut fungsinya jabu ini disebut juga "simangan minem", karena kedudukannya sangat disegani dan dihormati.
C.5. Sedapurken Bena Kayu
sebagai tempat kedudukan anak beru menteri jabu bena kayu. Sesuai dengan fungsinya disebut juga jabu "peninggel-ninggel", yg artinya mendengarkan. Jadi tugasnya mendengarkan segala pembicaraan dan keputusan di dalam suatu musyawarah anggota rumah adat tersebut. Selain dari itu jabu ini juga bertindak sebgai saksi untuk berbagai kepentingan anggota rumah tersebut.
C.6. Sedapurken Ujung kayu
Yaitu sebagai tempat kedudukan anak atau saudara jabu lepar ujung kayu. jabu ini disebut juga jabu "ariteneng" atau ketenangan. jabu ini dianggap sebagai pemberi ketentraman dan ketenangan hidup bagi seluruh jabu di dalam rumah adat tersebut.
C.7. Sedapurken Lepar Ujung Kayu
Sebagai tempat kedudukan guru atau dukun. Jabu ini berkewajiban memberi tanda-tanda baik dan buruk yang bakal menimpa penghuni rumah tersebut.
C.8. Sedapurken Lepar Bena Kayu
yaitu sebgai tempat kedudukan anak atau saudara penghuni jabu ujung kayu. Jabu ini disebut juga jabu "singkapur belo" dengan kewajiban menyediakan dan menyuguhkan belo kepada orang yang darang atau tamu, selanjutnya menanyakan hubungan perkauman yang disebut dalam bahasa karo "ertutur". Selain itu tugasnya adalah sebagai pembantu jabu bena kayu untuk menjamu tamunya dan secara umum semua tamu penghuni rumah itu.
Jika kita melihat judul yang tertera diatas, makaakan terlintas di dalam benak kita akan sebuat tempat tinggal yang mempunyai bentuk khas yang berasal dari Tanah Karo. Rumah adat Siwaluh Jabu, memang merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat karo untuk rumah adat mereka tersebut. Rumah adat siwaluh jabu jika diartikan ke dalam bahasa indonesia mempunyai arti rumah yang dihuni oleh delapan keluarga, dimana kedelapan keluarga yang menghuni rumah tersebut umumnya masih memiliki pertalian darah atau hubungan kekeluargaan yang sangat dekat.
Di dalam rumah tersebut, tata letak tempat tinggal kedelapan keluarga tersebut diatur menurut aturan adat yang masih melekat pada masyarakat karo. Penataan letak tempat tinggal masing-masing keluarga diatur sesuai dengan klafikasi (kelas-kelas) sosial yang pada orang karo masih berlaku sampai sekarang yaitu anak beru, kalimbubu, sembuyak dan senina. Untuk hal ini akan di bahas secara mendetail di dalam tulisan ini.
Rumah adat Siwaluh Jabu ini masih dapat kita jumpai di tanah Karo, tepat nya di desa lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. di desa ini masih dapat kita temukan beberapa rumah adat yang sudah berumur ratusan tahun akan tetapi masih berdiri dengan kokoh.
Desa lingga merupakan desa yang terletak sekitar 4,5 km dari kota Kabanjahe. Desa tersebut berada pada ketinggian 1300 m dari permukaan laut dengan luat 2624 Ha. Desa lingga berbatasan dengan desa Surbakti di sebelah utara, Desa Kacaribu di sebelah Selatan, Desa kaban di sebelah Timur dan Desa Nang Belawan di sebelah barat. Pola pemukiman masyarakat di desa tersebut adalah pola menyebar mengikuti jalan raya. Penduduk desa lingga sekitar 2.945 jiwa yang terdiri dari 793 kepala keluarga.
Di desa tersebut sebagian besar penduduknya memeluk agama kristen Protestan dan sebagian lagi memeluk agama islam, akan tetapi masih terdapat beberapa warga yang memeluk suatu aliran kepercayaan yang dalam bahasa karo di sebut dengan istilah pemena atau parbegu.
Sejarah terbentuknya Rumah Adat
Pada awalnya masyarakat yang tinggal di Tanah Karo biasanya mendirikan rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggal masing-masing rumah tangga. Bentuk rumah tersebut sangat sederhana seperti pondok (gubuk) yang dalam bahasa karo di sebut barung atau sapo. Bahan yang digunakan untuk mendirikan barung ini adalah bahan-bahan lainnya yang masih sangat mudah di temukan di hutan. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya penduduk dan mulai hadirnya para pendatang, secara langsung berpengaruh terhadap bertambahnya jumlah barung-barung yang ada. Dari situasi seperti itu kemudian muncul ide untuk mendirikan rumah yang lebih besar dan lebih tahan lama untuk mereka tempati bersama. Mereka berpendapat bahwa dengan mendirikan rumah yang lebih kokoh dan tahan lama tersebut maka keamanan mereka akan lebih terjamin. Untuk lebih melihat tentang apa-apa saja hal yang berhubungan seputar rumah adat siwaluh jabu, kita dapat membacanya pada hasil penelitian di bawah ini.
Uraian Hasil Penelitian
A. Sejarah terbentuknya Rumah Adat
Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di suatu daerah di wilayah Tanah karo mendirikan rumah-rumah kecil sebagai tempat tinggalnya (satu keluarga). Bentuk rumah tersebut masih sangat sederhana seperti pondok (gubuk) dalam bahasa Kari dinamakan barung atau sapo, bahan-bahan yang digunakan mudah diambil di hutan sekitar tempat tinggal penduduk. karena bertambahnya penduduk dan karena adanya pendatang baru dan bertambahnya keturunan, barung-barung atau sapo-sapo tersebut juga bertambah semakin banyak dan kemudian menjadi kelompok perumahan yang besar.
Seiring dengan pertambahan jumlah tersebut, kemudian timbullah ide atau gagasan dari penduduk untuk mendirikan rumah besar yang lebih kuat dan lebih tahan lama. Dengan mendirikan rumah tersebut mereka merasa keamanan lebih terjamin baik dari gangguan dari binatang buas maupun gangguan atau serangan pendatang yang berniat jahat.
Berkat kerja sama, kegigihan dan keseriusan mereka, maka akhirnya rumah besar tersebut berhasil dibangun dengan bentuk dan konstruksi yang spesifik. Bentuknya dibuat empat persegi panjang, atapnya tinggi dan di dalamnya terdiri dari beberapa jenis "jabu". Tiangnya dari kayu bulat yang sangat besar dan diambil dari hutan, dinding dari belahan kayu diikat dengan tali "ret-ret", atapnya dari ijuk dan diatas ujung atap dipasang tanduk. Bagian depat rumah dibuat beranda yang disebut "ture". Semua bahan untuk mebuat rumah besar tersebut diambil di hutan. Rumah besar yang berhasil didirikan itu di sebut rumah adat karo (Siwaluh Jabu).
B. Cara Mendirikan Rumah Adat Karo
Rumah adat karo terkenal dengan keindahannya, apalagi rumah tersebut dibuat oleh tukang yang ahli. Mendirikan rumah adat karo dianggap pekerjaan yang sangat besar dan sangat berat. Karena untuk menyelesaikan satu rumah memakan waktu yang cukup lama sekitar 1 tahun. Oleh karena itu cara mendirikannya secara bertahap dan selalu diikuti oleh tenaga gotong royong masyarakat.
Modal utama keberhasilan dalam mendirikan rumah adat tersebut ialah kebersamaan pemilik dan gotong-royong. Kegiatan gotong-royong tersebut dikaitkan dengan sistem kekeluargaan. Unsur penggerak ialah sangkep sitelu dan unsur pembantu ialah masyarakat yang tinggal di kampung tersebut. Upaya mendirikan rumah adat juga dianggap sebagai salah satu kegiatan untuk memenuhi ketentuan adat. Unsur adat itu sendiri dipengaruhi oleh unsur kepercayaan. maka tidak mengherankan bila dalam kegiatan mendirikan rumah adat tidak pernah terlepas dari unsur kepercayaan masyarakat. Cara mendirikan rumah adat tersebut meliputi beberapa tahap di antaranya adalah sebagai berikut :
B.1. Padi-padiken Tapak Rumah
Awalnya beberapa keluarga yang hendak mendirikan rumah adat, mencari dan menentukan lokasi tapak rumah yang bakal dibangun. Setelah pertapakan itu diperoleh dan dianggap baik letaknya, barulah diadakan satu acara yang nama acara tersebut ialah "padi-padiken tapak rumah". Adapun tujuan dari acara ini adalah untuk mengetahui apakah tapak itu membawa berkah, serasi, dantidak menimbulkan malapetaka dikemudian hari bagi para penghuninya.
Untuk mengetahui apakah tapak itu baik biasanya dipanggil dukun, bila dukun mengatakan tapak itu baik maka dimulailah proses awal pembangunan rumah. Namun, jika dukun tersebut mengatakan tanah pertapakan itu tidak baik, maka keluarga yang hendak membangun rumah adat tadi akan mencari pertapakan yang baru.
B.2. Ngempak
Setelah mendapat pertapakan yang baik, selanjutnya keluarga-keluarga yang hendak mendirikan rumah tersebut mencari dan menetapkan satu hari yang baik melalui seorang dukun, untuk pergi ke hutan mengambil bahan kayu yang akan digunakan untuk membangun rumah adat tersebut.
dalam penebangan tersebut dukun pun sangat berperan kerena disini dukun berperan untuk menentukan kayu yang baik untuk ditebang, disamping itu penebangan pertama biasanya dilakukan oleh dukun. Jika dukun tersebut mengatakan bahwa kayu tersebut baik untuk digunakan, maka penebangan selanjutnya dapat diteruskan oleh orang lain tanpa melalui upacara-upacara lagi,
B.3. Ngerintak Kayu
Setelah kayu yang diperlukan itu telah selesai ditebang tetapi masih berada di hutan, maka kemudian pihak pendiri rumah membagi-bagikan sirih kepada warga kampung sebagai lambang undangan minta bantuan menarik kayu dari hutan.
Demikianlah pekerjaan tersebut dilakukan secara gotong royong oleh penduduk secara bertahap sampai semuanya selesai dan dikumpulkan pada tempat yang telah ditentukan. Karena kayu yang ditarik tersebut sangat besar dan sangat berat, dan melalui jalan yang sangat curam dan mendaki maka penarikan kayu tersebut harus dibarengi dengan semangat yang tinggi dan mempersatukan tenaga. Agar tenaga menjadi satukekuatannya maka dibuatlah nyanyian yang berbunyi " Olee,, kata la lompat, ola kita kisat-kisat ari aron, mela la seh i rumah nake, ula kari kita sipudina o aron, lompat-lompat si sayak katak.." yang menyanyikan lagu ini harus gadis. Makna dari nyanyian tersebut adalah pemberi semangat kepada para pekerja yang menarik kayu sampai ke tempat membangun rumah.
Setelah pekerjaan menarik kayu selesai, biasanya diadakan jamuan makan bersama yang dihadiri oleh para penarik kayu dan tukang ahli yang mengerjakan rumah tersebut. Adapun biaya jamuan makan ini ditanggung bersama oleh keluarga yang hendak mendirikan rumah tersebut.
B.4. Pebelit-belitken
Sebelum tukang memulai pekerjaannya, biasanya terlebih dahulu diadakan suatu acara yang dinamakan pebelit-belitkan yang dihadiri oleh keluarga-keluarga yang hendak mendirikan rumah, anak beru, senina, dan kalimbubu (sangkep sitelu) dan tidak tertinggal tukang yang akan mengerjakan rumah tersebut.
Pada acara ini yang dibicarakan ialah mengenai upah tukang ahli, kapan rumah itu mulai dikerjakan, perkiraan kapan selesai dan apa saja yang menjadi tanggung jawab pihak keluarga yang mendirikan rumah di luar penyediaan bahan. dengan kata lain acara ini bertujuan untuk mengikat suatu perjanjian antara keluarga pendiri rumah dengan tukang ahli dengan disaksikan oleh sangkep nggeluh dan sangkep sitelu.
B.5 Mahat
Beberapa hari setelah acara pebelit-belitken, tukang ahli telah dapat melakukan tugasnya. Bahan-bahan kayu yang telah tersedia mulai diukur dan dikupas dengan 'beliung" semacam kapak. Kemudian pekerjaan berikutnya diteruskan dengan pekerjaan "mahat" atau membuat lubang. Sewaktu mahat masing-masing pemilik rumah mengambil tenaga lima orang pembantu dilengkapi dengan peralatannya. Mula-mula tukang ahli memberikan petunjuk, kemudian pemahatan yang pertama dilakukan oleh dukun dan untuk selanjutnya diserahkan kepada semua pekerja.
B.6. Ngampeken Tekang
Setelah tiang besar didirikan di atas batu pondasi, demikian juga peralatan kayu besar di bagian bawah, maka pekerjaan tukang ahli dianggap telah selesai setengah. Dengan demikian pekerjaan dapat dilanjutkan dengan "ngampeken tekang". Ngampeken tekang artinya mengangkat dan menaikkan belahan balok panjang berfungsi menahan dan sebagai tempat tutup tiang sebelah atas yang letaknya dibuat memanjang. Pekerjaan itupun harus disertai tenaga gotong royong oleh keluarga-keluarga yang mendirikan rumah itu.
B. 7. Ngampeken Ayo
Setiap rumah adat yang akan dibangun harus memiliki 'ayo". yang dimaksud dengan ayo adalah bagian depan dari atap rumah tersebut yang terbuat dari anyaman bambu diberi corak dengan cat buatan sendiri berbentuk segi tiga. Bayu-bayu atau anyaman bambu dijepit dengan kayu di sebelah pinggirnya dan dikerjakan sebelum diangkat dan dipasangkan. setelah ayo rumah itu selesai dikerjakan, kemudian dengan dibantu beberapa orang pekerja ayo tersebut diangkat dan dipasangkan dengan cara mengikatnya sesuai dengan petunjuk tukang.
B.8. Memasang tanduk
Wlaupun semua bagian-bagian rumah tersebut telah selesai dipasang atau dikerjakan, namun jika tanduknya belum dipasangkan maka rumah tersebut belum boleh dianggap selesai secara sempurna. Oleh karena itu pemasangan tanduk pada rumah tersebut menjadi suatu keseharusan dan tidak dapat diabaikan begitu aja.
Adapun tanduk itu terdiri dari sepasang tanduk kerbau yang letaknya dipasang dipuncak atap. pemasangannya harus malam hari sesuai dengan kebiasaan dan kepercayaan masyarakat. Dasar dari tempat melekatnya tanduk itu terbuat dari tali ijuk dilapisi dengan semacam perekat dan di warna dengan cat putih. Saat peletakan tanduk kebau, biasanya sang tukang mengatakan " adi muas kam, minemken ku lawit simbelang, adi melihe kam nggagat kam ku deleng simeratah". artinya " bila kau haus minumlah ke laut yang luas, bila kau lapar makanlah di gunung yang hijau" dengan mengucapkan ini maka diyakini bahwa keluarga yang tinggal nantinya di rumah ini tidak akan mendapatkan musibah.
C. Susunan Jabu dalam Rumah adat Karo
Pada dasarnya rumah adat karo terdiri dari delapan jabu atau terdiri dari delapan kelamin. Susunan jabu tersebut diatur sesuai dengan kedudukan dan fungsi keluarga yang tinggal di rumah itu. Jabu sebagai tempat tinggal satu keluarga dan setiap jabu di huni oleh satu keluarga masih memiliki pertalian keluarga satu sama lain. Adapun susunan jabu dalam rumah adat karo adalah sebagai berikut :
C.1. Bena Kayu
Sebagai tempat kedudukan bangsa tanah, derajatnya sebagai pemimpin sekaligus anggota jabu-jabu di dalam rumah itu. Berfungsi memberi keputusan atas segala permasalahan yang timbul di tengah-tengah rumah tersebut.
C.2. Ujung Kayu
Sebagai tempat kedudukan anak beru jabu bena kayu. Penghuni jabu ini bertindak mewakili jabu bena kayu untuk menyampaikan perintah-perintah jabu bena kayu yang menyangkut kepentingan anggota rumah tersebut. Dengan kata lain orang yang mendiami tempat ini dapat dikatakan pembantu utama jabe bena kayu.
C.3. Lepar Bena Kayu
Tempat kedudukan pihak atau senina jabu bena kayu. Fungsi jabu ini di sebut juga jabu "sungkun berita", yang adapun tugasnya adalah meneliti dan menyampaikan berita yang diperoleh dari luar.
C.4. Lepar ujung kayu
Tempat kedudukan pihak kalimbubu dari jabu bena kayu. menurut fungsinya jabu ini disebut juga "simangan minem", karena kedudukannya sangat disegani dan dihormati.
C.5. Sedapurken Bena Kayu
sebagai tempat kedudukan anak beru menteri jabu bena kayu. Sesuai dengan fungsinya disebut juga jabu "peninggel-ninggel", yg artinya mendengarkan. Jadi tugasnya mendengarkan segala pembicaraan dan keputusan di dalam suatu musyawarah anggota rumah adat tersebut. Selain dari itu jabu ini juga bertindak sebgai saksi untuk berbagai kepentingan anggota rumah tersebut.
C.6. Sedapurken Ujung kayu
Yaitu sebagai tempat kedudukan anak atau saudara jabu lepar ujung kayu. jabu ini disebut juga jabu "ariteneng" atau ketenangan. jabu ini dianggap sebagai pemberi ketentraman dan ketenangan hidup bagi seluruh jabu di dalam rumah adat tersebut.
C.7. Sedapurken Lepar Ujung Kayu
Sebagai tempat kedudukan guru atau dukun. Jabu ini berkewajiban memberi tanda-tanda baik dan buruk yang bakal menimpa penghuni rumah tersebut.
C.8. Sedapurken Lepar Bena Kayu
yaitu sebgai tempat kedudukan anak atau saudara penghuni jabu ujung kayu. Jabu ini disebut juga jabu "singkapur belo" dengan kewajiban menyediakan dan menyuguhkan belo kepada orang yang darang atau tamu, selanjutnya menanyakan hubungan perkauman yang disebut dalam bahasa karo "ertutur". Selain itu tugasnya adalah sebagai pembantu jabu bena kayu untuk menjamu tamunya dan secara umum semua tamu penghuni rumah itu.