Hukuman anak Nakal
Bagaimana kah menghukum anak yang nakal??
Memberikan hukuman pada anak memang baik, namun jika di lakukan dengan cara yang salah ,, maka akan memberikan dampak yang sebaliknya. Nah, bagaimana sebaiknya?
Memberikan hukuman pada anak memang baik, namun jika di lakukan dengan cara yang salah ,, maka akan memberikan dampak yang sebaliknya. Nah, bagaimana sebaiknya?
Menurut penelitian, menurut penelitian antara Kritikan dengan pujian dalam sehari perbandingannya 46 : 7 . artinya lebih banyak kritikan kita berikan kepada anak dari pada pujian. Duh, betapa "malang"nya si kecil!
Tapi, kenapa, sih, orang tua menghukum anak? Ada dua alasan, seperti dipaparkan psikolog Ery Soekresno.
Pertama, karena orang tua punya target atau standar tingkah laku untuk anaknya, "Namun ternyata standar itu tak dilakukan oleh anak."
Kedua, ada tingkah laku tertentu yang ingin dihentikan oleh orang tua. "Mungkin tingkah laku itu baik, tapi karena berlebihan, jadi harus dihentikan."
Pertama, karena orang tua punya target atau standar tingkah laku untuk anaknya, "Namun ternyata standar itu tak dilakukan oleh anak."
Kedua, ada tingkah laku tertentu yang ingin dihentikan oleh orang tua. "Mungkin tingkah laku itu baik, tapi karena berlebihan, jadi harus dihentikan."
Selain itu, lanjut Ery, orang tua juga sering menghukum anak karena tak punya alternatif lain untuk menghentikan suatu tingkah laku anak.
HUKUMAN "SESUAI" KESALAHANNYA
Menurut Ery, hukuman sudah bisa diberikan sejak sedini mungkin, yakni saat anak mulai membangkang. "Misalnya, nggak mau mandi, nggak mau makan, dan sebagainya. Pokoknya, apa saja enggak! Nah, itu berarti ia sudah mulai membangkang."
Namun dalam memberi hukuman, Ery mengingatkan, haruslah disesuaikan dengan "kesalahan" si anak. Misalnya, anak asyik menonton VCD sampai lupa waktu. Nah, hukumannya adalah ia dilarang menonton lagi. "Tapi jangan langsung melarangnya nonton VCD selama 3 bulan, misalnya. Itu namanya sewenang-wenang. Cukup misalnya, kalau hari ini nonton terlalu lama maka besoknya ia tak boleh nonton lagi."
Kemudian, beri anak kesempatan. Misalnya, setelah dihukum sehari, esoknya ia diperbolehkan menonton VCD lagi namun dibatasi cuma menonton satu judul. "Kita lihat, apakah anak bisa menepati janji. Kalau ternyata enggak bisa, esoknya jangan izinkan si anak menonton lagi." Kalau besok ia bisa menepati janji, berilah bonus boleh menonton dua judul.
Yang harus diperhatikan, ujar Ery, saat memberi hukuman kita juga harus melihat diri sendiri. Maksudnya, tega apa enggak. "Kalau enggak tega, ya, jangan beri hukuman yang berat-berat. Nanti kita malah jadi enggak konsekuen." Akibatnya, kita bisa dijadikan bulan-bulanan oleh anak. Celaka, kan!
Sering terjadi, kita suka mengancam anak, "Awas, kalau Kakak nakal lagi, nanti Bunda pergi." Tapi sering pula ancaman tersebut tak kita lakukan. Nah, cara seperti ini, menurut Ery, akan membuat anak memandang rendah ancaman. "Ah, paling Bunda cuma ngomong doang," begitu pikir si anak. "Jangan salah, lo, kemampuan anak untuk mengobservasi gerak tubuh dan mimik orang tua sangat tajam," kata Ery yang tak setuju orang tua menerapkan ancaman.
Jadi, tandas Ery, kalau memang kita sedang marah, ya, marahlah beneran. Jangan kita marah tapi muka tersenyum. Sebaliknya, jangan pula kita bilang sayang tapi nyubit atau memukul. "Itu, kan, nggak sinkron. Orang tua harus belajar membedakan antara marah dan sayang."
Yang tak kalah penting, tambah Ery, jangan pernah memberi label jika ada tingkah laku anak yang tak sesuai. "Orang tua harus memisahkan tingkah laku dan pelakunya. Tapi yang terjadi, kadang orang tua tak sadar dan membenci pelakunya."
DISIPLIN
Sebenarnya Ery lebih setuju kita menerapkan konsekuensi ketimbang hukuman. Sebab, konsekuensi berkaitan dengan disiplin, tak demikian halnya dengan hukuman. "Orang tua sering menyamakan kedua hal ini, padahal sebenarnya berbeda sekali.
Hukuman adalah kontrol dari luar, sedangkan disiplin adalah kontrol dari anaknya sendiri," terangnya.
Hukuman adalah kontrol dari luar, sedangkan disiplin adalah kontrol dari anaknya sendiri," terangnya.
Disiplin atau disciple dalam bahasa Latin berarti belajar. Jadi, disiplin memberikan pelajaran kepada anak tentang bagaimana bertingkah laku yang seharusnya. "Dalam disiplin ada aturan, komunikasi dan penguat positif. Kalau aturan dijalankan dengan baik, anak akan mendapat hadiah. Misalnya, dipuji, dipeluk dan sebagainya, yang bisa memperkuat tingkah laku baik si anak." Sebaliknya, bila anak tak menjalankan aturan, ia akan mendapat konsekuensi.
Dengan disiplin, kita juga sekaligus menyatakan harapan kita kepada anak. "Biasanya anak akan merasa nyaman, tenang, dan damai, karena ia tahu apa yang diharapkan oleh orang tuanya." Misalnya, "Bunda ingin Kakak membereskan mainan setelah bermain." Atau sebelum bertamu ke rumah orang, kita bisa bilang, "Kita akan bertamu di rumah orang. Kalau belum dipersilakan, Kakak enggak boleh mengambil makanannya dulu, ya."
Disiplin harus diterapkan sejak dini dengan memperkenalkan beberapa aturan. Misalnya, melarang anak menyentuh stop kontak. "Tapi untuk anak yang masih dini, sebaiknya ruanganlah yang didisiplinkan," ujar Ery. Maksudnya, kita harus menciptakan lingkungan yang aman buat anak. Misalnya, kalau kita ingin vas bunga tak dipecahkan oleh anak, maka pindahkan vas tersebut ke tempat yang lebih aman. "Daripada orang tua bolak-balik bilang jangan ke anak."
Lain halnya pada anak yang lebih besar, orang tua harus mulai memberi aturan. Misalnya, "Kakak tak boleh memukul Adik karena dipukul itu sakit. Konsekuensinya, kalau Kakak memukul Adik berarti Kakak harus bermain sendiri." Atau, anak melempar mainannya, katakan, "Tidak boleh melempar-lempar mainan, karena mainan bisa rusak. Kalau Kakak melempar lagi, akan Mama ambil mainan itu untuk disimpan."
Jadi, tandas Ery, kita harus selalu berada dalam posisi membantu anak untuk bertingkah laku baik. "Jangan langsung memberi hukuman. Tapi ajarkan sebab-akibatnya, bahwa kalau ia bertingkah laku tertentu maka konsekuensinya begini."
KONSEP DIRI NEGATIF
Hukuman, terang Ery, hanya memberi tahu anak tentang kesalahannya tapi tak memberi tahu bagaimana ia seharusnya bertingkah laku. "Anak hanya tahu bahwa ia salah, tapi setelah itu so what, lalu apa? Ia tak diajarkan harus bagaimana."
Apalagi jika anak sampai diberi hukuman fisik yang juga disertai kata-kata menyakitkan. "Itu bisa membuatnya sakit hati, merasa direndahkan dan tak diberi kesempatan untuk memperbaiki tingkah lakunya." Biasanya anak akan tumbuh menjadi pendendam lantaran ia tak pernah didengar dan dihargai. "Mereka juga cenderung tak bisa menyelesaikan masalah dengan baik tapi dengan hukuman juga."
Yang lebih parah, hukuman dapat merusak konsep diri anak. "Anak jadi memiliki konsep diri negatif sehingga membuatnya tak percaya diri. Bawaannya takut melulu, enggak berani tampil, takut salah, dan sebagainya. Ia merasa bahwa yang ia miliki adalah kejelekan. Ia tak bisa menemukan aspek positif dari dirinya," papar Ery.
Ery mengingatkan, usia 3 sampai sekitar 6 tahun merupakan usia pembentukan (formative years) dan biasa disebut sebagai masa keemasan (golden years) seorang anak. "Masa ini tak mungkin terulang," tukasnya. Nah, bila di masa ini anak sering dihukum berarti ia banyak dilarang. Otomatis, kebutuhan anak untuk menjelajah, berinisiatif dan memupuk rasa ingin tahu menjadi terhambat. "Anak jadi tak punya inisiatif dan tak punya pendirian."
Dampak lainnya, anak menjadi conform, selalu berpendapat sama dengan orang lain. "Ia takut berbeda dengan orang lain. Karena kalau berbeda, ia takut diomeli." Disamping, potensi anak tak terealisir. "Anak jadi tak kreatif. Ia akan takut mencoba karena sudah penuh dengan ancaman."
sedangkan menurut penulis sendiri point yang paling utama dalam membimbing anak adalah dengan memberikan sugesti sugesti positif dalam diri anak ,,, Pola bahasa yang tepat merupakan kunci dalam mengarahkan anak,,,
mari kita analisa kata-kata ini :
JANGAN bayangkan seekor anak gajah yang belalai nya panjang dan telinganya lebar...
Bagaimana ?? apakah kita sebagai orang tua malah membayangkan anak gajah tersebut ?? benar bukan ?? itu arti dalam pikiran kita ,, terutama pada pikiran anak sebenarnya tidak mengenal perintah negatif,, jadi sebaiknya berikan saran yang bersifat positif,,,,
bagaimana dengan pernyataan :
Coba bayangkan seekor anak bebek berwarna putih dengan jalan yang lenggak lenggok.
dengan membayangkan bebek tersebut apakah anda membayangkan anak gajah ???
Jadi mana lebih baik : pernyataan JANGAN MALAS ya nak ,, atau JADI ANAK RAJIN ya nak ,,
mungkin kita sudah tau jawaban nya ,,,
sedangkan menurut penulis sendiri point yang paling utama dalam membimbing anak adalah dengan memberikan sugesti sugesti positif dalam diri anak ,,, Pola bahasa yang tepat merupakan kunci dalam mengarahkan anak,,,
mari kita analisa kata-kata ini :
JANGAN bayangkan seekor anak gajah yang belalai nya panjang dan telinganya lebar...
Bagaimana ?? apakah kita sebagai orang tua malah membayangkan anak gajah tersebut ?? benar bukan ?? itu arti dalam pikiran kita ,, terutama pada pikiran anak sebenarnya tidak mengenal perintah negatif,, jadi sebaiknya berikan saran yang bersifat positif,,,,
bagaimana dengan pernyataan :
Coba bayangkan seekor anak bebek berwarna putih dengan jalan yang lenggak lenggok.
dengan membayangkan bebek tersebut apakah anda membayangkan anak gajah ???
Jadi mana lebih baik : pernyataan JANGAN MALAS ya nak ,, atau JADI ANAK RAJIN ya nak ,,
mungkin kita sudah tau jawaban nya ,,,
POPULER DI KALANGAN TEMAN
Lain halnya dengan disiplin, anak akan tahu apa konsekuensi dari tingkah lakunya. "Sehingga anak akan selalu memandang bahwa berbuat baik itu menyenangkan dan berbuat tak baik itu tak menyenangkan," bilang Ery.
Merujuk data penelitian, orang tua yang banyak melatih anak dengan batasan-batasan dan konsekuensi, biasanya akan memiliki anak yang lebih populer di kalangan teman-temannya. "Karena mereka tahu apa yang harus mereka kerjakan, kontrol dirinya bagus, tak mudah diombang-ambingkan orang."
Anak-anak yang demikian, lanjut Ery, memiliki prinsip dan biasanya kelak menjadi pemimpin. "Mereka tahu bahwa mereka punya kelebihan tapi juga punya kekurangan. Berbeda dengan anak-anak yang sering dihukum, tahunya cuma dirinya jelek saja."
Akhirnya Ery menyarankan kita agar mencoba untuk lebih sabar dan lembut dalam menghadapi anak. "Ini memang susah. Tapi ingatlah, kesabaran kita akan berbuah bahwa anak kita juga akan menjadi orang yang sabar."
Jika anak nakal.. Maka yang salah adalah ?????
Jika anak nakal.. Maka yang salah adalah ?????
cara menghukum anak nakal, menghukum anak yang nakal, cara menghukum anak yang nakal, menghukum anak nakal, cara menghukum anak nakal, cara menghukum anak nakal, solusi anak nakal, memarahi anak di depan umum, memarahi anak 2tahun, memarahi anak dalam islam, memarahi anak yatim, memarahi anak dengankata-kata, memarahi anak umur 2 tahun, memarahi anak umur 3 tahun, memarahianak balita, memarahi anak menurut islam, memarahi anak usia 2 tahun, memarahianak, memarahi anak saat belajar, memarahi anak autis, akibat memarahi anak, akibat memarahi anak balita, akibat memarahi anak berlebihan, adab memarahi anak, ayah memarahi anak, akibat memarahi anak yatim, akibat memarahi anak kecil, cara memarahi anak anjing, memarahi anak berlebihan, memarahi anak bayi, memarahianak buah, efek memarahi anak balita, cara memarahi anak balita, dampak memarahianak bayi, dampak memarahi anak bayi, memarahi anak dengan bijak, memarahi anakyang benar, cara memarahi anak, cara memarahi anak yang benar, cara memarahianak yang benar, cara memarahi anak dalam islam, cara memarahi anak denganbaik, cara memarahi dengan benar, cara memarahi anak usia 2 tahun, cara memarahianak yg baik. memarahi anak dengan memukul, memarahi anak dengan suara keras, hukummemarahi anak dalam islam, hukum memarahi anak dlm islam, efek memarahi anak, efek memarahi anak 2tahun, efek memarahi anak kecil, etika memarahi anak, ibu memarahi anak, larangan memarahi anak dalam islam, cara memarahi anak secara islami, jangan memarahianak, jangan memarahi anak kecil, larangan memarahi anak, memarahi anak tanpamemukul
0 komentar:
Posting Komentar