Nilai Nama Pada Masyarakat karo
1. Pendahuluan
Nama ? Apalah arti sebuah nama ? kata masyarakat modern. Nama itu di buat dan diberikan kepada seseorang untuk membedakannya dengan orang lain; untuk memudahkan anggota keluarga/masyarakat memanggilnya, menyuruhnya bila perlu. Nama itu dibuat untuk dipakai, untuk disebut, demi kepraktisan dalam hidup sehari-hari.
Tetapi apakah hal itu berlaku bagi semua masyarakat dibawah kolong langit ini, termasuk masyarakat karo? Tidak, sama sekali tidak.
Pada masyarakat karo ungkapan “apalah nama” tidak berlaku sama sekali. Nama bukan hanya mempunyai nilai praktis, tetapi juga mengandung nilai magis. Nama tidak dapat disebut seenaknya saja, ada aturan-aturan yang harus ditaati.
Pada masyarakat karo sering kita dengar ucapan “ La tengka nggelar-gelari, turah kari jaung bas igung” yang berarti: “dilarang menyebut-nyebut nama (orang), tumbuh nanti jagung pada hidung”. Ucapan tersebut dipergunakan oleh orang tua untuk menakut-nakuti, untuk mengingatkan, untuk mendidik anak-anak agar jangan menyebut nama orang lain; terlebih nama-nama orang yang lebih tua dari kita; nama orang-orang yang dalam kekerabatan lebih tinggi derajatnya, orang yang harus dihormati, sekalipun mungkin mereka lebih muda usianya dari pada kita.
Menyebut nama orang lebih tua, orang yang patut dihormati sangat terlarang pada masyarakat karo. Dapat mendatangkan akibat buruk, pada orang yang bersangkutan, pada orang yang menamai maupun orang yang dinamai.
Orang yang suka ngelar-gelari adalah orang yang tidak tahu adat, orang yang di benci oleh masyarakat. Oleh karena perbuatannya yang tidak senonoh itu maka banyak orang yang membencinya dan menyumpahinya, agar dia dikutuki oleh roh nenek moyang.
Sebaliknya orang yang igelar-gelari, orang yang disebut-sebuti namanya, dapat menanggung akibat jelek, misalnya megelut tendina” tersinggu rohnya; kecil hati jiwanya. Dengan demikian dia dapat menderita sakit, sebab dia tidak dihormati, tidak disegani oleh orang-orang yang seharusnya menghormatinya.
Hal-hal yang jelek ini harus dihindarkan. Lalu bagaimana kalu kita harus menyebut nama orang yang harus dihormati?. Pendek kata, bagaimana halnya kalau seseorang anak harus menyebut nama ayahnya? Agar tendi “roh” sang ayah tidak tersinggung atau sakit hati, maka sebelum menyebutkan namanya haruslah didahului oleh semacam ucapan yang merupakan mantranya.
Contoh :
Teks :
Gelar bapangku em kap, -- ola melus bulung-bulung ikerangen, ola mengembur lau ibas uluna, ola bernungen manuk iasuhi, ola birih kambing ipermakan, ola macem pola iriai, ola lambang page isuan – si Dame.
Terjemahan :
Nama ayahku adalah – Jangan layu dedaunan di hutan, jangan keruh air pada sumbernya, jangan sakit-sakit ayam dipelihara, jangan mencret kambing digembalakan, jangan asam nira disadap, jangan hampa padi yang di tanam – si Dame.
Bahkan antara pemuda-pemudi yang sedang berkasih-kasihan, yang saling menghormati, bila mereka berhubungan dengan surat biasa pula menggunakan ucapan/mantra seperti tertera diatas, sebelum menyebutkan nama kekasihnya itu.
Dari ucapan atau mantra tersebut dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa akibat jelek dari kebiasaan nggelar-gelari atau menyebut nama orang yang patut dihormati secara serampangan” itu antara lain :
1. Dedaunan di hutan dapat layu
2. Air di sumbernya dapat keruh
3. Ayam yang dipelihara dapat sakit/mati
4. Kambing yang digembalakan dapat sakit perut/mencret/mati.
5. Air nira yang disadap dapat menjadi asam
6. Buah padi yang ditanam dapat hampa (kosong buahnya).
Akibat-akibat jelek ini menyangkut kehidupan masyarakat, dan oleh karena itu tak usah kita heran kalau masyarakat membenci orang-orang yang suka nggelar-gelari.
Memang dari segi pemikiran praktis masyarakat desa dapatlah dimengerti bahwa kalau namanyapun tidak dihormati apalagi orangnya. Mereka beranggapan bahwa jauh lebih mudah menghormati nama daripada orangnya. Kalau melakukan yang mudahpun tidak mau, apalagi melakukan yang lebih susah!.
Itulah sebabnya maka salah satu nasihat orang tua kepada anaknya adalah : “ola nggelar-gelari”, turah kari jaung ibas igung”, jangan suka menyebut-nyebut nama orang yang patut dihormati, tumbuh kelak jagung di hidung.
Bila sepasang suami istri telah dianugrahi anak, maka anak pertama atau anak sulung merupakan penggelarenken bagi mereka. Yang disebut dengan penggelarenken adalah “nama anak pertama atau anak sulung yang dipergunakan untuk/sebagai panggilan bagi sang bapak dan sang ibu”.
Marilah kita umpamakan sepasang suami istri yang mempunyai anak sulung yang bernama jendamalem. Maka penggelarenken sang ayah adalah Pa jendamalem “pak jendamalem” dan penggelarenken sang ibu adalah nande jendamalem atau Ame Jendamalem “Mak jendamalem”.
Pasangan suami istri ini memang mempunyai nama masing-masing. Orang-orang yang lebih tua atau lebih tinggi derajat kekerabatannya dari mereka ini dapat saja langsung menyebut atau memanggil nama mereka. Tetapi sebaliknya orang-orang yang lebih muda atau lebih rendah derajat kekerabatannya, harus memanggil/menyebut suami istri ini dengan penggelarenken mereka, sesuai dengan hubungan kekerabatan yang sebenarnya.
Misalnya : orang-orang yang berkakak kepada mereka, memanggil mereka sebagai berikut :
- Kaka pa Jendamalem “ abang Pak Jendamalem”
- Kaka Nande Jendamalem “ kakak Mak Jendamalem”
Yang ber-ipar : silih Pa Jendamalem, “Ipar Pak Jendamalem”
Yang berpaman : bengkila Pak Jendamalem “ Paman Pak Jendamalem”
Yang berbibi : bibi nande Jendamalem, “ bibi Nande Jendamalem”
dan sebagainya.
Perlu dicatat bahwa antara suami dan isteri pun penggelarenken ini biasa dipergunakan. Si istri memanggil suaminya Pa Jendamalem; Sebaliknya suami memanggil istrinya Nande Jendamalem, dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah, dengan menggunakan penggelarenken itu, maka dapatlah dihindarkan penggunaan nama atau gelar seseorang dengan tidak sewajarnya beserta akibat-akibat jelek yang mungkin timbul karenanya.
Yang dimaksud dengan gelar urun-urun adalah nama tambahan, nama main-main disamping nama yang sebenarnya. Biasanya nama semacam ini diberikan kepada orang yang belum kawin dan ataupu kepada orang yang sudah kawin tapi belum atau tidak memperoleh anak (jadi tak ada penggelarenken yang dapat dipergunakan).
Pemberian gelar urun-urun kepada seseorang dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, antara lain:
a. Berdasarkan singkatan merga
b. Dengan sinonim
c. Dengan antonym
d. Dengan cirri-ciri khusus
berikut ini akan dibicarakan satu persatu:
4.1 Berdasarkan (singkatan) marga
Pada masyarakat karo terdapat merga silima atau panca marga, yaitu Ginting, KaroKaro, Perangin-angin, Tarigan, dan Sembiring. Setiap anggota masyarakat karo tergolong kepada salah satu merga “marga” ini.
Salah satu cara memberikan gelar urun-urun adalah dengan atau singkatan marga yang bersangkutan. Gelar urun-urun jenis ini bersifat umum, artinya setiap orang yang mempunyai marga tertentu memperoleh gelar urun-urun yang sama.
Sang pria memperoleh gelar urun-urun yang didahului oleh kata “mama” dan sang wanita “nande”
Contoh :
Ginting : untuk laki-laki : mama iting / Mama Ginting
Untuk perempuan : nande iting / Nande Ginting
Karokaro : untuk laki-laki : mama karo
Untuk perempuan : nande karo
Peranginangin : untuk laki-laki : mama nangin
Untuk perempuan : nande nangin
Sembiring : untuk laki-laki : mama biring
Untuk perempuan : nande biring
Tarigan : Untuk laki-laki : mama tigan
Untuk perempuan : nande tigan
4.2 Dengan sinonim
Pada umum nya nama-nama orang karo mengandung pengertian atau makna tertentu. Dan biasanya nama-nama itu diambil dari kata-kata atau hal-hal yang umum dalam kehidupan sehari-hari (barulah setelah masuknya pengaruh agama Kristen, agama islam, serta peradapan modern hal tersebut mengalami perubahan)
Salah satu cara untuk memberikan gelar urun-urun itu adalah dengan sinonim (atau kata-kata atau bersamaan artinya) nama orang tersebut. Untuk itu haruslah terlebih dahulu diketahui apa arti nama orang itu, dan kemudia harus dicari sinonimnya. Buat sang pria didahului oleh kata pa “pak” dan sang wanita oleh kata Ame (atau Nande) “mak”.
Agar lebih jelas, berikut ini kita sertakan beberapa contoh :
Jore “beres” : pa sikap (sikap “beres”)
Ame sikap
Galang “besar” : Pa mbelin (mbelin “besar”)
Ame mbelin
Melam “gurih” : pa Ntabeh (ntabeh “enak”)
Ame ntabeh
Tabeh “enak” : pa senang (senang “senang/enak”)
Ame senang
Jile “cantik” : pa Randal (randal “baik”)
Ame randal
Atau : pa Mehuli (mehuli “baik”)
Ame mehuli
Beluh “pandai” : Pa pentar (pentar “pintar”)
Ame pentar
4.3 Dengan Antonim
Dalam memperbincangkan sesuatu, kita ingin mengetahui persamaan atau perbedaan bahkan pertentangan yang terdapat antara yang diperbandingkan itu.
Cara lain untuk memberikan gelar urun-urun kepada seseorang adalah dengan jalan mencari antonym (atau kosokbali atau lawan kata) nama orang tersebut. Hal ini dimungkinkan oleh banyaknya kata keadaan (atau adjektif) yang dipergunakan sebagai nama oleh orang karo. Disini ternyata bahwa dalam pemberian nama terkandung pula harapan-harapan dari pihak orang tua.
Contoh :
Mbentar “putih” : Pa Mbiring (mbiring “hitam”)
Ame mbiring
Mbur “gemuk” : Pa kertang ( kertang “kurus”)
Ame kertang
Gedang “ Panjang” : Pa gendek (gendek “pendek”)
Ame gendek
Ciho “Jernih” : Pa Gembur (gembur “keruh”)
Ame gembur
Jingkat “rajin” : Pa detdet (detdet “lambat”)
Ame detdet
Turah “tumbuh” : Pa Ruah (Ruah “cabut”)
Ame Ruah
Beluh “pandai” : Pa Bebe (bebe “dungu”)
Ame Bebe
4.4 Dengan ciri-ciri khusus
Setiap orang mempunyai cirri-ciri tertentu. Ciri-ciri seperti itu dapat pula dipergunakan sebagai gelar urun-urun, sekalipun tidak ada hubungannya dengan nama yang sebenarnya.
Misalnya ada seseorang yang bernama beluh “pintar”, tetapi karena tubuhnya agak pendek, maka gelar urun-urunnya dibuat oleh masyarakat adalah pa Gendek atau Ame gendek (gendek “pendek”)
Demikianlah terdapat gelar urun-urun seperti :
Pa/ame laga Man (laga man “kuat makan”)
Pa/ame Diker (Diker “pelit”)
Pa/Ame Jingkat (Jingkat “rajin”)
Pa/Ame Cirem (Cirem “senyum”) dan lain lain.
4.5 Dengan hubungan erat
Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi bahwa kalau kita menyebut sesuatu kita lantas teringat sesuatu yang lain. Keduanya itu saling berhubungan erat. Dengan cara inipun dapat pula dibuat gelar urun-urun seseorang.
Contoh :
Meja “meja” : Pa/Ame kursi
Tilam “kasur” : pa/Ame Bantal
Belo “sirih” : Pa/Ame Kapur
Tarum “atap” : Pa/Ame Sapo (sapo “pondok”) dan lain-lain.